Negara maju tempat asal eksportir material daur ulang yang menyertakan sampah serta limbah bahan beracun berbahaya ke Indonesia harus turut bertanggungjawab. Negara tersebut agar memperbaiki pengawasan dan mekanisme ekspor agar kejadian serupa tak terulang serta bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan maupun pencemaran di Indonesia akibat kontaminan sampah serta limbah tersebut.
Direktur Eksekutif Yayasan Ecoton Prigi Arisandi, Jumat (19/7/2019), di sela-sela melakukan protes di Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia di Jakarta, mengatakan negara maju tersebut tidak etis membuang sampah ke Indonesia. Apalagi sampah tersebut dikirim ke Indonesia belum memiliki pengelolaan sampah domestik yang baik sehingga menambah persoalan lingkungan di Indonesia.
DOKUMEN ECOTON–Aktivits Ecoton dan Bracsip (Brantas River Coalition To Stop Imported Plastic Trash) serta aktivis lain, Jumat (19/7/2019) beraksi di depan kantor Kedubes Amerika Serikat di Gambir, Jakarta. Mereka mendesak AS bertanggung-jawab atas sampah impor yang tercampur dalam impor material daur ulang di Jawa Timur serta sejumlah tempat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sampah dari luar negeri tersebut menjadi beban lingkungan di Mojokerto, Gresik, Surabaya di Jawa Timur, Karawang Jawa Barat, dan Serang di Banten. “Kami meminta negara-negara maju dari eksportir ini minta maaf, khususnya kepada masyarakat Jawa Timur,” kata Prigi yang organisasinya berbasis di Jawa Timur.
Hingga kini sebanyak 5 kontainer dikembalikan ke Amerika Serikat dari Surabaya. Penelusuran pelacakan dari nomor kontainer menunjukkan seluruh kontainer tersebut telah tiba di Seattle pada 17 Juli 2019. Pengiriman ini membutuhkan waktu 33 hari pelayaran setelah dikirim dari Pelabuhan Tanjung Perak dan transit di Pelabuhan Ningbo, China.
Saat ini, sejumlah 38 kontainer berisi material daur ulang dari Amerika Serikat masih tertahan di Tanjung Perak. Ia mengatakan di Jawa Timur terdapat 12 pabrik kertas yang menggunakan bahan baku sampah kertas impor dari negara lain. Dari 43 negara eksportir sampah kertas, sepuluh negara pengekspor sampah kertas terbanyak ke Jawa Timur adalah Amerika Serikat, Italia, Inggris, Korea, Australia, Singapura, Yunani, Spanyol, Belanda dan New Zealand.
Temuan hasil investigasi Brantas River Coalition To Stop Imported Plastic Trash (Bracsip) – Ecoton bagian dari Bracsip – menunjukkan bahwa impor sampah kertas disusupi oleh kontaminan sampah rumah tangga, khususnya sampah plastik, dengan persentase mencapai 30 persen. Indonesia saat ini berupaya memasukkan persentase impuritas atau kontaminan ini hingga maksimal 5 persen.
Namun Prigi Arisandi meminta agar negara eksportir membatasi kontaminasi plastik pada material daur ulang kertas bekas hanya di bawah 2 – 3 persen. “Amerika serikat sebagai negara maju pengekspor sampah kertas terbesar ke Indonesia agar melakukan inspeksi atas sampah-sampah kertas yang diekspor,” kata dia di sela-sela melakukan protes di Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, di Jakarta.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Yayasan Ecoton, Selasa (25/6/2019) di Jakarta, menunjukkan contoh sampah impor yang ditemukan sebagai pengotor dalam impor material industri daur ulang kertas bekas.
Lebih lanjut, ia meminta agar AS menghentikan ekspor jenis skrap kertas campuran (unsorted scrap paper HS Code 47079000). Ini karena jenis HS Code tersebut rawan diselundupi sampah-sampah rumah tangga.
Diminta konfirmasi sebelumnya terkait kontaminasi sampah dalam impor material daur ulang dari Amerika Serikat, Rakesh Surampudi Juru Bicara Kedutaan AS menyesalkan beberapa kontainer tiba di Indonesia dengan material daur ulang yang terkontaminasi.
“Kami menghormati hak pemerintah Indonesia untuk menegakkan peraturan lingkungan dan impornya, dan kami mengharapkan semua perusahaan AS untuk mematuhi peraturan lokal dan nasional dan pedoman industri,” kata dia dalam tanggapan tertulis.
Ia pun menekankan agar perilaku ilegal beberapa pedagang tak mengaburkan peluang Indonesia untuk mengembangkan manufaktur berdasarkan komoditas yang dapat didaur ulang. Banyak perusahaan Indonesia mengandalkan impor material berkualitas tinggi untuk menjaga pertumbuhan bisnis dan memperluas peluang kerja bagi orang Indonesia.
“Menggunakan bahan daur ulang berarti Indonesia tidak harus menebang lebih banyak pohon, mengekstraksi lebih banyak minyak, atau menggali lebih banyak tambang,” kata dia.
Setelah beraksi di depan Kedubes AS, Prigi dan kawan-kawan juga menyambangi Kementerian Perdagangan. Mereka meminta agar Kementerian Perdagangan memberikan peringatan dan sanksi kepada surveyor yang bertanggungjawab atas pemeriksaan, verifikasi, dan penelusuran teknis barang sebelum dikirim dari negara asal ke negara tujuan.
Ia pun meminta Kementerian Perdagangan memberikan notifikasi kepada negara-negara asal impor bermasalah. Tujuannya agar negara tersebut memberikan sanksi kepada eksportir setempat atas dugaan penyelundupan sampah dan limbah B3. (PANDU WIYOGA)
Oleh ICHWAN SUSANTO/ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas, 20 Juli 2019