Berbagai kalangan meminta DPR untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ”omnibus law”. Alasannya, RUU itu dinilai tidak matang sehingga berpotensi menimbulkan karut-marut peraturan.
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law memiliki sejumlah permasalahan mendasar pada naskah akademis. Kesalahan konseptual ataupun teoretis mendasar menjadikan penerjemahannya dalam pasal-pasal pun menjadi bermasalah. DPR kembali diminta menghentikan pembahasan karena RUU ini tidak matang sehingga berpotensi menimbulkan permasalahan, di antaranya menambah karut-marut peraturan.
Salah satu temuan persoalan dalam Naskah Akademis RUU Cipta Kerja terkait dengan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang hendak mengubah Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meski tetap menggunakan kata pertanggungjawaban mutlak, RUU Cipta Kerja menghapus kata-kata ”tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” pada Pasal 88 UU No 32/2009.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat mempelajari RUU Cipta Kerja, Wakil Dekan Bidang Akademis Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Andri Gunawan Wibisana menemukan argumen pada naskah akademis yang menjelaskan penghapusan frasa tersebut. ”Di sini, penyusun naskah akademis gagal (dengan menyatakan) dalam pertanggungjawaban pidana itu harus ada unsur kesalahan, padahal (pasal) ini bicara soal perdata,” katanya dalam diskusi virtual Implikasi RUU Omnibus Law Cipta Kerja terhadap Pembangunan Berkelanjutan dan Perlindungan Ekosistem yang diselenggarakan Fakultas Hukum UI bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), baru-baru ini.
Ia pun menemukan argumen yang keliru tersebut juga persis sama dengan alasan yang pernah dipakai asosiasi perusahaan saat mengajukan uji materi Pasal 88 dan sejumlah pasal lain dalam UU No 32/2009 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut catatan Kompas, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) pernah melakukan uji materi Pasal 88 dan tiga pasal lain pada UU No 32/2009 ke Mahkamah Konstitusi (Kompas, 30 Mei 2017).
Andri mengingatkan, saat itu (meski akhirnya penggugat mencabut uji materi), hakim MK menasihati pengacaranya bahwa tanggung jawab mutlak sudah umum digunakan di banyak negara. Lebih lanjut, dipertanyakan kemiripan argumen yang pernah dipakai ke MK tersebut juga ada dalam Naskah Akademis RUU Cipta Kerja.
”Seharusnya (penyusunan UU) bersih dari kepentingan macam-macam. Ini tidak fair karena sejak awal publik tidak bisa masuk (terlibat dalam pembahasan RUU di eksekutif), tetapi ternyata kepentingan-kepentingan begitu bisa masuk,” katanya.
Sarat kepentingan tersebut juga ditunjukkan pada temuan terkait pasal-pasal yang membuat pemidanaan korporasi tak bisa dijalankan. Temuan tersebut pada perubahan Pasal 98, 99, 102, 103, 104, 109, dan 110 pada UU Nomor 32 Tahun 2009. Perubahan pasal ini dilakukan dengan menghapus denda sehingga sanksi pidana pokok yang tersedia bagi pasal tersebut hanya berupa penjara.
”Di sini ada kegagalan pemahaman sanksi pidana dan administrasi. Apabila hanya penjara, tidak mungkin lagi ada pidana bagi korporasi yang mencemari lingkungan. Denda sangat penting untuk memungkinkan korporasi sebagai sanksi pidana karena sanksi pidana bagi korporasi tidak bisa berupa kurungan atau penjara,” ujarnya.
Ia pun menemukan ketidakkonsistenan terkait pemidanaan ini pada Pasal 100, 101, 105, 106, 107, dan 108 UU No 32/2009 (yang tidak diubah oleh RUU Cipta Kerja). Dalam pasal-pasal ini, pemidanaan tetap dapat dikenakan pertanggungjawaban korporasi.
Andri pun menemukan pengaturan yang membuat operasional kegiatan usaha yang membahayakan publik, semisal kejadian pencemaran lingkungan, tidak bisa langsung diproses secara pidana. Ini karena pemerintah harus mengenakan sanksi administratif terlebih dahulu pada kegiatan usaha yang sebenarnya kegiatannya telah mencemari lingkungan.
Ini ditunjukkan pada sanksi pidana, termasuk untuk delik materiil (Pasal 98-99), pengelolaan limbah B3 tanpa izin (Pasal 102), pengelolaan limbah B3 yang tidak sesuai peraturan (Pasal 103), dan pembuangan limbah tanpa izin (Pasal 104). Sanksi atas pelanggaran ini hanya dapat dijatuhkan jika pelaku tidak membayar denda administratif.
Andri mengatakan, RUU Cipta Kerja ini secara konseptual telah keliru dan membahayakan karena terdapat pembatasan partisipasi publik, terutama pembahasan dilakukan saat pandemi Covid-19. ”Jadi, seharusnya ditarik dulu, lah. Karena, kan, pembahasannya kemarin juga sangat terburu-buru, tertutup. Kita di publik tidak bisa masuk, sementara kalau di naskah akademis itu saya yakin ada kepentingan lain, terutama terkait strict liability,” katanya.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law tidak hanya disuarakan lewat aksi unjuk rasa, tetapi juga melalui coretan di dinding kota, seperti yang ditemui di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (18/3/2020). Sejumlah kalangan menilai proses pembahasan RUU Omnibus Law tersebut tidak transparan karena minim partisipasi masyarakat.
Minim referensi ilmiah
Kelemahan dalam Naskah Akademis RUU Cipta Kerja juga ditemukan ICEL. Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring menunjukkan, naskah akademis sangat minim referensi ilmiah. Ia mencatat hanya terdapat 9 buku dan 5 jurnal yang dinyatakan. ”Ini membuat kami jadi curiga, kok, tidak cermat untuk proyek sebesar ini,” katanya.
Temuan naskah akademis yang tak sinkron juga ditunjukkan saat pembahasan PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha atau lebih dikenal dengan PP OSS (online single submission). Naskah akademis berisi banyak apresiasi atas PP OSS ini tetapi kemudian dinilai masih lemah karena levelnya sebatas PP. Padahal PP—yang isinya juga kontroversial—ini mengandung sejumlah ”sanksi” bagi pemda jika tak menjalankannya, seperti pemotongan anggaran dan sebagainya.
Ia menyatakan, ICEL mendukung reformasi perundangan dan penyederhanaan perizinan. Namun, proses yang terjadi dalam omnibus law ini dinilainya tidak benar. ”Belajar dari permasalahan UU Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja dan lemahnya kosep yang dibangun secara umum, terutama dalam naskah akademis, sebaiknya (pembahasan) RUU Cipta Kerja tidak dilanjutkan,” katanya.
Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti ini, mempersulit masyarakat dan organisasi masyarakat sipil ataupun ahli untuk bertukar pikiran dengan DPR. Apalagi permasalahan RUU ini pada taraf mendasar, yaitu membongkar ulang naskah akademis.
Ilyas Asaad, perwakilan KLHK yang juga Ketua Tim Penyusunan UU No 32/2009 dan kini terlibat aktif dalam penyusunan omnibus law—terutama terkait perizinan berusaha—mengatakan, masukan-masukan ini menjadi catatan baginya. Ia mencatat sejumlah permasalahan mendasar, seperti penegakan hukum yang akan dibuat rumusan ulang dan disesuaikan.
Ia menampik omnibus law ini akan melemahkan perlindungan lingkungan hidup. Disebutkannya, RUU Cipta Kerja masih mencantumkan amdal (meski hanya untuk kegiatan usaha berisiko tinggi), izin lingkungan menjadi perizinan berusaha, dan persetujuan lingkungan yang tetap bisa dilakukan pengawasan. ”Maka, kita kawal betul prosesnya, jadi misalnya apakah strict liability ini lemah, kita tambahin,” ujarnya.
Rosa Vivien Ratnawati, perwakilan KLHK yang juga terlibat dalam penyusunan UU No 32/2009 dan kini menjabat Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 mengatakan, pihaknya pun membutuhkan masukan terkait pengawasan. Ini karena prinsip administrasi negara yang menyatakan pengawasan merupakan tanggung jawab pemberi izin.
Permasalahannya, dalam RUU Cipta Kerja, seluruh izin dari sejumlah sektor disatukan dalam izin usaha. Semisal, dalam izin usaha itu juga terdapat ”izin pertambangan” dan ”izin lingkungan” akan menimbulkan kebingungan akan siapa pihak yang harus melakukan pengawasan akan izin tersebut.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Suasana rapat antara pemerintah yang diwakili sejumlah menteri dan Badan Legislasi DPR membahas omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/4/2020). Rapat tersebut untuk mendengarkan penjelasan pemerintah mengenai RUU itu. Rapat tersebut digelar secara fisik dan virtual melalui konferensi video. Menteri yang hadir yaitu Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 24 April 2020