Melimpahnya sarjana pendidikan yang tidak terserap menjadi guru profesional tak hanya disebabkan minimnya kuota pengangkatan guru pegawai negeri sipil. Penyebab utamanya adalah mutu lulusan sarjana pendidikan itu sendiri tidak memadai.
Mereka adalah lulusan dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang sebagian besar berakreditasi C. Dari 421 LPTK, hanya 18 institusi yang terakreditasi A dan 81 institusi terakreditasi B.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, Senin (12/3), rendahnya mutu lulusan LPTK yang bekerja sebagai guru berdampak pada mutu pembelajaran di sekolah. Hal itu tampak dari hasil uji kompetensi guru (UKG) tahun 2015. Nilai rata-rata yang dicapai hanya 56,69. Materi yang diujikan mencakup pedagogik dan kemampuan profesional menguasai materi ajar. Kluster guru SD memiliki nilai rata-rata terendah, yaitu 54,33. Nilai rata-rata tertinggi diraih oleh kluster guru SMA, yaitu 61,74.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Imbas mutu guru juga tampak dari hasil tes The Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2015 yang menunjukkan Indonesia di peringkat bawah, yakni ke-64 dari 72 negara. Siswa Indonesia lemah di bahasa, sains, dan matematika.
Data dari Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nurzaman itu mengonfirmasi pantauan Kompas di lapangan.
Di kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Purnama, Jakarta Selatan, misalnya. Pada Rabu (7/3) malam, sesuai jadwal, perkuliahan mestinya digelar pukul 18.15-21.00 pada tiga kelas. Namun, karena hujan lebat, perkuliahan ditiadakan. ”Karena hujan, tidak ada mahasiswa yang datang,” kata Pembantu Ketua 1 Bidang Akademik STKIP Purnama Sumantri.
Di Universitas Palangka Raya (UPR), Kalimantan Tengah, juga tak dijumpai laboratorium khusus micro teaching untuk simulasi mengajar. Untuk menyiasatinya, dosen-dosen menggunakan kelas biasa. Simulasi belajar hanya diikuti satu kelompok mahasiswa yang diisi lima sampai enam orang.
Fansy Jebatur (21), mahasiswa semester VI di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, mengatakan, terkadang pada kuliah harian dosen menggabungkan dua kelas sehingga jumlah mahasiswa di kelas mencapai 60 orang. Padahal, idealnya program studi ilmu sosial maksimal hanya memiliki 40 mahasiswa dalam satu kelas.
Ketua Lembaga Penjaminan Mutu UPR Petrus Poerwadi mengatakan, LPTK membutuhkan berbagai laboratorium dan asrama khusus calon guru.
Masih lemah
Kepala Subdirektorat Pendidikan Vokasi dan Profesi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Edi Mulyono menilai pendidikan calon guru di LPTK masih lemah dalam penguasaan bidang ilmu dan kurangnya sarana/prasarana.
Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Sunaryo Kartadinata mengatakan, mengendalikan jumlah institusi dan lulusan LPTK harus segera dilakukan. Khusus untuk penyiapan profesi guru di tingkat PT, harus ada pembatasan dengan mengacu pada data kebutuhan guru sebagai faktor pengendali.
Sarjana pendidikan yang baru lulus untuk direkrut mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) pun banyak yang tidak memenuhi syarat. Hal tersebut bisa dilihat dari nilai batas lulus ujian tulis nasional (UTN) meliputi kompetensi pedagogik, bidang ilmu, dan bahasa Inggris.
Ketika batas lulus UTN dipatok 50, kelulusan sempat mencapai 93 persen. Ketika nilai batas lulus UTN dinaikkan menjadi 65, kelulusan mulai menurun menjadi 90 persen. Kemudian saat nilai batas lulus UTN dinaikkan menjadi 76, jumlah kelulusan melorot ke 67 persen.
Demikian juga hasil uji kompetensi nasional mahasiswa PPG ulang periode Desember 2017 di 24 LPTK yang diikuti 2.035 peserta. Hasilnya, tingkat tidak lulus sekitar 62 persen. Padahal, pesertanya merupakan guru yang sudah mengajar, juga peserta PPG terintegrasi (siswa SMA/SMK pilihan dari daerah yang dibiayai negara untuk kuliah S-1 Pendidikan dan PPG satu tahun di LPTK terbaik). Bahkan, sebagian adalah Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T).
Pakar pelatihan guru dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Itje Chodidjah, berpendapat, jika calon guru tak dididik dengan baik, dampaknya buruk bagi siswa di sekolah.
Pendiri Sekolah Cikal, Najelaa Shihab, cenderung memilih guru baru dari lulusan perguruan umum (non-kependidikan). Dari sekitar 50 pelamar dari LPTK, hanya satu yang lolos, baik seleksi tes kepribadian, kemampuan bahasa inggris, diskusi kelompok, demo mengajar, maupun observasi kelas.
”Sebetulnya guru di sekolah tidak harus lulusan LPTK. Untuk guru mata pelajaran SMP dan SMA, kami banyak mengambil dari lulusan PT umum yang berkualitas baik. Untuk SD, lebih banyak lulusan Psikologi,” kata Najelaa. Sekolah Cikal ada delapan cabang yang tersebar di daerah Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, dan Surabaya.
Ketua Asosiasi Rektor LPTK Negeri se-Indonesia yang juga Rektor Universitas Negeri Medan, Syawal Gultom, mengatakan, idealnya ada komitmen untuk membenahi LPTK yang terintegrasi mulai dari S-1 kependidikan hingga PPG. (IDO/ELN/DNE)
Sumber: Kompas, 13 Maret 2018