Jatuhnya pesawat Lion Air PK-LPQ di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, memang belum diinvestigasi lebih lanjut. Namun, dari sedikit fakta yang ada menunjukkan adanya anomali dimana terlihat pesawat jatuh secara tiba tiba dan vertikal. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan pesawat jatuh disebabkan stall dan jatuh dengan posisi spin.
Pendapat tersebut diungkapkan Pakar Penerbangan sekaligus mantan Regional Sales Director Airbus Jerman Henry Tedjadharma. “Kita hanya bisa menspekulasikan pola jatuh dari fakta-fakta yang ada,” kata dia saat dihubungi Selasa (30/10/2018).
Pola jatuh pesawat bisa dikaitkan dengan fenomena aerodinamika stall dalam posisi spin. Dalam istilah penerbangan, stall adalah kondisi ketika pesawat kehilangan daya angkat dan tiba-tiba turun secara drastis. Hal ini mungkin terjadi sesaat sebelum pesawat jatuh dari ketinggian 5000 kaki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Stall bisa terjadi ketika kecepatan terlalu rendah sekaligus dibarengi dengan sudut serang (angle of attack) yang tinggi. “Kombinasi kedua faktor tersebut dapat memicu stall akibat air stream disekitar sayap yang bertanggungjawab untuk menciptakan daya angkat pesawat tiba tiba hilang. Kondisi ini akan sulit dikontrol jika ketinggian pesawat masih rendah. Pesawat berpotensi jatuh dengan ekor terlebih dahulu,” jelasnya.
Pola jatuh pesawat yang sebaliknya akan berbeda jika stall dalam kondisi spin. Pada kondisi ini, pesawat akan berputar seperti spiral ke bawah.
Pilot pesawat Lion Air sempat meminta untuk kembali ke bandara (return to base) pasti dengan alasan teknis penting yang mendasarinya.
Dalam situasi ini Henry teringat pada kasus kecelakaan L-1011 Tristar dari maskapai Eastern Air Lines 401 yang terbang dari New York ke Miami, Amerika Serikat, pada 1972 dan jatuh ke laut secara perlahan tanpa disadari semua pilot di dalamnya yang sedang sibuk mencari solusi untuk mengeluarkan landing gear secara sempurna. Hal itu terjadi akibat dari kesalahan setting auto pilot dengan mode vertical speed saat holding flight.
“Hal tersebut mungkin terjadi jika kedua pilot perlu menanggulangi kondisi darurat sehingga tugas pokoknya yaitu memgendalikan pesawat menjadi terabaikan,” kata Henry.
Hal ini bisa dihubungkan dengan informasi dari AirNav Bandara Soekarno-Hatta yang menyatakan adanya permintaan pilot untuk return to base atau kembali ke Bandara Soekarno-Hatta sebelum hilang kontak (Kompas, 29/10/2018).
DOK PRIBADI–Henry Tedjadharma
Namun, setelah melihat adanya perubahan drastis dan acak dari ketinggian dan kecepatan pesawat dari data penerbangan Lion Air PK-LPQ yang terlacak di FlightRadar24, Henry menilai pesawat dikendalikan secara manual sebelum akhirnya hilang kendali.
Dari pemberitaan Kompas sebelumnya, Pesawat Lion Air PK-LPQ yang sedang dalam penerbangan tujuan Pangkal Pinang jatuh di lepas pantai Karawang, Jawa Barat. Pesawat itu lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 06.20.
Pesawat kemudian hilang kontak setelah 13 menit lepas landas pada posisi ketinggian sekitar 3.600 kaki. Setelah titik hilang ditemukan, serpihan badan pesawat hingga tubuh penumpang pesawat ditemukan tersebar di lepas pantai dalam radius sekitar 3 kilometer.
Beberapa spekulasi muncul dari pengakuan adanya gangguan teknis pada pesawat saat melakukan penerbangan rute Denpasar-Jakarta, Minggu sebelumnya. Sementara itu, pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 tersebut baru diterima pihak Lion pada 13 Agustus 2018. Rata-rata pesawat tersebut melakukan penerbangan 9-10 jam per hari. (ERIKA KURNIA)–ADHI KUSUMAPUTRA
Sumber: Kompas, 31 Oktober 2018