Multidisiplin ilmu pengetahuan bisa dipakai untuk meneliti dan membantu menjaga tradisi lisan yang saat ini mulai ditinggalkan. Sentuhan berbagai bidang keilmuan akan ”menyegarkan” tradisi lisan tersebut.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI—Pertunjukan seni lipet gandes dalam acara Betawi Bersastra di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Rabu (7/8/2019).
Tradisi lisan merupakan obyek penelitian yang terbuka bagi multidisiplin ilmu pengetahuan. Berbagai bidang ilmu yang mengeroyok topik kebudayaan ini akan memperluas cara pandang serta memberi informasi yang menyegarkan bagi upaya pelestariannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Daerah Istimewa Yogyakarta Heddhy Shri Ahimsa-Putra dalam sesi lokakarya daring ”Kajian Tradisi Lisan”, Kamis (23/7/2020), di Jakarta mengatakan, kajian penelitian multidisiplin akan bermanfaat untuk menghasilkan pandangan holistik dan komprehensif mengenai tradisi lisan dari budaya suatu masyarakat tertentu.
Sebagai contoh, Halaehili dalam masyarakat Sentani, Papua, yang merupakan nyanyian duka. Ini biasa dinyanyikan warga setempat saat ada warga yang meninggal.
”Ketika dibedah, lirik nyanyian mengisahkan tentang pemikiran perempuan, makna kampung, dan moyang bagi warga Sentani. Maka, alangkah menarik tradisi lisan Halaehili ditelaah lebih mendalam menggunakan multidisiplin ilmu pengetahuan, seperti antropologi dan sosiologi,” ujarnya.
Heddhy menyampaikan, salah satu tantangan meneliti tradisi lisan adalah pengumpulan data. Peneliti harus menguasai bahasa lokal sehingga mudah masuk ke lingkup dan konteks pelaku budaya. Sensitivitas yang tinggi memicu penggalian data lebih aktif.
Tradisi lisan yang akan punah tetap perlu diteliti sehingga khazanah pengetahuan yang terkandung tidak hilang. Meski demikian, pewarisan konten tradisi lisan dari satu generasi ke berikutnya tidak bisa dipastikan sama. Konten yang hilang seperti ini tidak bisa dihindari.
”Sebagai fenomena terbuka, tradisi lisan bisa diteliti multidisiplin ilmu pengetahuan. Seberapa dalam pendekatan seperti itu dipakai akan sangat tergantung kebutuhan peneliti. Hal yang harus diperhatikan adalah selalu menampilkan ’ke-lisan-an’ dari tradisi lisan,” katanya.
Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Jawa Barat Ruhaliah menyampaikan, penelitian mengenai tradisi lisan terus berjalan. Akan tetapi, terkadang disiplin ilmu pengetahuan yang dipakai berjalan sendiri-sendiri.
Di Jawa Barat, misalnya, terdapat dongeng Sangkuriang atau Tangkuban Parahu. Ketika dongeng hanya disajikan sebagai cerita, menurut dia, manfaatnya mungkin tidak banyak.
Akan tetapi, ketika dongeng itu diteliti dari segi farmasi, ada bagian kisah Dayang Sumbi awet muda karena makan bongborosan/tunas tanaman berumbi. Cerita rakyat ini pun membawa dampak positif lanjutan, yaitu memberikan informasi bahwa bongborosan mengandung zat anti penuaan dini. Penelitian ini dilakukan di Korea Selatan.
Ruhaliah memandang ada sejumlah tantangan pelestarian tradisi lisan saat ini. Pertama, kurangnya minat generasi muda menggunakan, mewarisi, dan peduli melalui penelitian. Mereka lebih suka teknologi karena tradisi dianggap kuno.
Kedua, tempat melaksanakan tradisi semakin tidak ada karena sekarang sangat jarang rumah yang memiliki pekarangan. Padahal, pekarangan rumah merupakan salah satu tempat untuk pewarisan tradisi.
Ketiga, fungsi rumah sekarang umumnya hanya tempat istirahat sehingga berpotensi melunturkan tradisi mendongeng, permainan anak, dan bentuk tradisi lisan lainnya. ”Tradisi lisan yang berkaitan dengan masakan semakin menghilang. Misalnya, karena ada katering, pewarisan kuliner kepada anak dan saudara jadi menghilang,” ujarnya.
Tantangan lainnya adalah pengaruh agama terhadap budaya dan tradisi. Lalu, kehidupan manusia modern yang sering kali dikejar rutinitas dan target pekerjaan sehingga waktu untuk mewariskan tradisi lisan berkurang.
Dosen Arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Kemas Kurniawan, menceritakan, arsitektur Nusantara juga turut berkembang karena tradisi lisan. Arsitektur Nusantara menggunakan bahasa visual. Namun, arsitektur seperti ini oleh para pelaku arsitektur Barat umumnya malah dimarjinalkan.
”Tradisi arsitektur di Tanah Air adalah sesuatu yang diturunkan mulai dari pengetahuan sampai keahlian membangun,” ujarnya.
Kemas mencontohkan struktur kayu pada bangunan arsitektur Nusantara biasa dirakit atau disambung. Masyarakat tradisi mengenal ada papan laki dan papan bini untuk merakit struktur.
Oleh MEDIANA
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 24 Juli 2020