Coba tanyakan apa saja soal melon kepada Budi Setiadi Daryono. Tak jadi soal Anda mau bertanya mengenai jenis melon, hama penyakitnya, ataupun urusan gennya, Budi pasti bisa menjawabnya. Sebab, boleh dibilang dia adalah pakar melon satu-satunya di negeri ini.Waktu yang dihabiskan peneliti biologi dari Universitas Gadjah Mada itu untuk mengulik buah seukuran bola sepak tersebut juga tak pendek. Sejak 1997, Budi, yang ketika itu masih berstatus dosen muda, sudah mempelajari melon. Konsistensinya mengupas melon itulah yang membuat Budi terpilih sebagai pemenang penghargaan Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) pada 2007.
Bahkan Ketua Komite Seleksi ITSF untuk Penghargaan dan Hibah Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Suwarto Martosudirdjo menjulukinya Mr Melon. “Sejak masih mahasiswa (ia) terus bergerak di bidang melon, ini kriteria yang bagus sekali,” kata Suwarto. “Dia mungkin satu-satunya ahli melon di Indonesia pada saat ini. Masih muda lagi.”
Meski masih muda, lelaki kelahiran Tasikmalaya 38 tahun lalu ini sudah menghasilkan beberapa temuan baru yang diakui oleh dunia internasional. Temuan itu juga telah dipublikasikan di 15 jurnal nasional dan internasional. Ketertarikannya terhadap buah berkadar air tinggi ini bermula ketika dia baru keluar dari pekerjaannya di bidang sumber daya manusia di sebuah perusahaan ban di Jakarta dan kembali ke kampus sebagai dosen. “Saya 1 tahun 6 bulan di sana. Tak tahan, karena panggilan hati nurani saya memang (menjadi) peneliti,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Budi memilih meneliti melon karena buah famili Cucurbitaceae ini memiliki nilai ekonomis tinggi, tapi tidak ada satu pun breeder melon di dalam negeri. “Tidak ada orang yang mau memproduksi benih,” kata Budi. “Adanya kan impor dari Taiwan, Thailand, Cina, Jepang, dan Korea.”
Sebetulnya, di awal penelitiannya, Budi juga termasuk orang yang memanfaatkan benih impor tersebut. Pada saat itu dia mengembangkan kultivar melon berukuran besar dengan kandungan vitamin tinggi melalui teknik tetraploidisasi menggunakan colchicine. “Pada 1996, benih melon itu Rp 120 ribu, isi sekitar 300-400 benih,” katanya. “Sejak krisis ekonomi, harganya menjadi empat kali lipat.”
Selama 11 tahun meneliti melon, dosen Fakultas Biologi UGM itu berhasil menemukan melon tahan penyakit jamur tepung (powdery mildew) dan tahan cucumber mosaic virus (CMV) sampai melon berukuran besar yang kandungan vitamin dan nutrisinya lebih tinggi. Dia juga melakukan terobosan dengan melakukan karakterisasi biologis dan molekuler tobamovirus yang menginfeksi melon di Indonesia.
Prestasinya yang lain adalah ia menemukan dua isolator baru: kyuri green mottle mosaic virus (KGMMV) dan cucumber green mottle mosaic virus (CGMMV) di Indonesia. “Penemuan ini amat penting karena isolator itu hanya ada di Indonesia dan pertama di Asia Tenggara karena yang lain belum menemukan,” kata doktor genetika dan proteksi tanaman dari Tokyo University of Agriculture itu.
Penemuan tersebut memungkinkan para ilmuwan mendeteksi virus secara akurat dan cepat dengan mengembangkan analisis multiplex RT-PCR. Studi daya tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus itu juga membawa Budi menemukan dua gen baru, Creb-2 dan Prv-P, pada melon.
Hasil penemuan ini mempermudah pengembangan gen analog resisten pada melon untuk mendeteksi gen tahan virus pada tumbuhan itu. “Penemuan protein baru ini akan sangat berguna untuk pengembangan varietas tahan CMV,” katanya. “Saya bisa memetakan lokasi gen Creb-2 dan mengaplikasikan markah molekuler ini untuk mengembangbiakkan benih tahan virus.”
Begitu pentingnya temuan itu sehingga komite seleksi ITSF menganggap Budi menerima penghargaan tersebut, menyisihkan lima finalis bidang biologi lainnya. Budi juga menerima uang hadiah Rp 60 juta yang akan digunakannya untuk mengisi laboratoriumnya di UGM, “yang besar tapi kosong.” Uang itu juga disisihkan sebagian untuk mengongkosinya mengikuti beberapa konferensi ilmiah untuk menunjang penelitiannya. “Dana ini akan saya gunakan untuk membiayai riset saya berikutnya karena ini masih perlu dikembangkan,” ujarnya.
Dengan modal penelitian melon sebagai tumbuhan model, Budi akan mengaplikasikan temuan itu untuk memeriksa tembakau Temanggung, jagung Madura, dan padi lokal. “Saya akan mengecek keaslian tembakau itu melalui karyotyping,” ujarnya. “Kita harus mengumumkan bahwa Indonesia punya banyak plasma nutfah asli.”
Meski semua hasil penelitiannya itu berguna bagi masyarakat, khususnya para petani, pemerintah belum menunjukkan perhatian terhadap karya Budi dan peneliti muda lainnya. “Tujuan utama saya bukan produk, tapi yang terpenting bangsa ini harus mandiri, salah satunya dari benih,” katanya.
Kendala terberat yang dirasakan Budi sebagai seorang peneliti adalah regulasi yang terlampau berat. Untuk memperoleh sertifikasi atas benih tahan penyakit dan virus yang diciptakannya, Budi harus melakukan penanaman benih itu di 32 lokasi atau sedikitnya 16 lokasi dalam dua musim. “Mengecek pertumbuhan benih itu di 16 lokasi dalam dua musim bagi kami tidak mudah,” ujarnya.
Percobaan di 16 lokasi membutuhkan dana tak sedikit. Untuk satu lokasi bisa keluar Rp 5-6 juta sehingga sedikitnya harus ada dukungan dana Rp 160 juta. “Mana mungkin? Saya seorang dosen, duit dari mana,” katanya.
Mengakali peraturan itu, Budi menitipkan benih kepada kelompok tani dan mahasiswanya di sejumlah daerah. Di Sukoharjo dan Kulonprogo telah ditanam melon tahan jamur tepung. Di Ngawi, Madiun, dan Sumbawa, melon tahan viruslah yang diuji coba. “Silakan ditanam dan buahnya dijual, saya hanya perlu datanya saja, karena saya peneliti bukan pebisnis,” ujarnya. TJANDRA DEWI
———
Perbedaan di Antara Melon
Melon amat menyegarkan ketika didinginkan karena sebagian besar isinya adalah air. Namun, kandungan nutrisinya amat beragam antara satu melon dan yang lain, termasuk dengan kerabatnya, semangka.Per 100 gram
Kalori | Vitamin C (mg) | Beta Karoten (mg) | Potassium (mg) | |
---|---|---|---|---|
Cantaloupe | 35 | 42 | 2 | 310 |
Honeydew | 35 | 25 | sedikit | 270 |
Semangka | 32 | 10 | 0,2 | 120 |
Melon Kaya akan Karoten
Melon jenis cantaloupe, yang berdaging jingga, amat bermanfaat dikonsumsi pada musim kemarau yang panas dan kering. Kandungan beta karotennya yang tinggi baik untuk melindungi kulit.
Di mana beta karoten itu? Terutama pada daging melon yang berwarna jingga.
Cara kerja? Tubuh mengubah beta karoten menjadi vitamin A, yang dikumpulkan di kulit dan membantu melindungi tubuh dari sinar matahari yang merusak.
Cantaloupe juga tinggi vitamin C dan potasium.
MCT
Sumber: Koran Tempo, 21 Februari 2008