Tidak banyak yang tahu bahwa monyet terkecil di dunia ada di Indonesia, tepatnya di hutan lindung Kotamobagu, Kabupaten Bolaangmongondow, Sulawesi Utara. Panjang badan monyet Tarsius itu hanya 10 cm, meskipun sudah dewasa. Gerakannya sangat lincah. Binatang ini kini di bawah pengawasan Badan Pengembangan Wallacea yang didirikan Prof Dr Ing B.J. Habibie, Ibnu Sutowo, Prof Dr Gunawan Satari, dan Drs Yan Mokoginta. Pelindung badan pengembangan satwa langka ini adalah Ibu Tien Soeharto. Yang menarik, konon air liur Tarsius bisa dijadikan obat penangkal AlDS. Benarkah itu?
GAGASAN untuk melindungi satwa langka di hutan lindung Kotamobagu itu muncul dari Drs Yan Mokoginta, mantan anggota DPR RI yang lahir di Kotamobagu pada 1930. “Ketika masih kanak-kanak di desa, saya belum bisa melihat bahwa desa saya itu memiliki kekayaan alarn yang luar biasa besarnya,” tutur Yan kepada Jawa Pos di rumahnya kemarin.
Ada dua jenis monyet yang sangat kontras di hutan lindung Kotamobagu seluas sekitar 325 ribu hektare itu. Monyet Macaca Nigra setinggi satu meter yang beratnya sama dengan manusia dewasa, dan yang satunya lagi monyet Tarsius sebesar bungkus rokok yang beratnya hanya sekitar dua ons itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tarsius sangat langka di dunia. “Bahkan, para ahli hewan dari AS, Jepang, Inggris, Australia, Filipina, dan Malaysia yang pernah mengadakan penelitian di hutan Kotamobagu beberapa tahun lalu sepakat menyatakan bahwa Tarsius adalah monyet terkecil di dunia,” katanya.
Menyadari kekayaan alam di desanya, pada 1987 Yan yang lulusan ITB jurusan Farmasi Biologi 1957 ini bersama dengan beberapa temannya mendirikan Yayasan Perguruan Tinggi Kotamobagu. “Tujuannya, kami ingin mendirikan perguruan tinggi yang mengarahkan perhatian ke lingkungan hidup,” katanya.
Maka, lahirlah Universitas Dumoga Bone di Kotamobagu yang memiliki tiga fakultas, yakni Fakultas Ekonomi (berwawasan lingkungan hidup), Fakultas Pertanian, dan Fakultas Kehutanan. Yan mengarahkan hutan lindung Kotamobagu menjadi semacam laboratorium hidup bagi para mahasiswanya. “Ternyata berhasil. Para mahasiswa kami jadi sering masuk hutan untuk penelitian,” katanya.
Monyet Tarsius adalah objek penelitian yang menarik bagi mahasiswa. Monyet ini ternyata binatang malam Padahal, semua hewan bangsa primata adalah binatang siang. Monyet Tarsius adalah perkecualian.
Meskipun badannya sangat kecil, hewan ini tergolong sangat berbahaya. Sebab, ludah monyet ini mengandung racun yang lebih hebat dibanding bisa ular. Jika manusia digigit monyet Tarsius, ia hanya memiliki waktu sekitar setengah jam untuk mencari upaya menahan bisanya. Lebih dari setengah jam dari saat digigit dan tidak mendapatkan pertolongan dapat dipastikan korban akan meninggal dunia.
Ketika Yan masih kanak-kanak, binatang ini sangat ditakuti penduduk setempat. Penduduk yang kena gigitan jenis kera yang satu ini, beberapa saat kemudian lantas meninggal. Sebab, saat itu puskesmas di sana belum ada. Penduduk yang digigit Tarsius akan dilarikan ke rumah sakit di Manado yang jaraknya Sekitar 200 kilometer. Ya, jelas, korban gigitan Tarsius akan rnati di tengah perjalanan sebelum sampai Manado.
Jumlah warga Kotamobagu yang tewas akibat monyet mini ini tidak sedikit. Bayangkan, jumlah Tarsius di hutan Kotamobagu saat ini diperkirakan 10 ribu ekor. Memang, belum pernah dilakukan sensus monyet Tarsius di sana. Tetapi, Yan yang lahir dan dibesarkan di pinggiran hutan itu memperkirakan jumlahnya sebanyak itu.
“Orang yang digigit atau menjadi korban monyet ini biasanya, ia harus keluar malam hari untuk suatu keperluan yang mendesak. Sebab, monyet mini ini hanya muncul pada malam hari,” katanya.
Pada siang hari Tarsius sangat jarang menampakkan diri. Gerakan monyet kecil ini sangat lincah. Ia mampu melompat sejauh sekitar lima meter. Mobilisasinya juga sangat cepat.
Pada malam hari Tarsius berpencar di hutan yang sangat luas itu. Mereka bergerak mencari makanan berupa buah-buahan. Pencarian makanan itu bisa menghantarkan mereka ke daerah pinggiran hutan yang berdekatan dengan rumah-rumah penduduk. Jika kebetulan ada penduduk keluar rumah dan sedang bernasib sial, bisa saja monyet ini melornpat ke tubuh dan menggigitnya. Setengah jam kemudian, korban tewas.
Menjelang matahari terbit, Tarsius bagai dikomando segera berondong-bondong masuk hutan. Mereka melompat dari satu pohon ke pohon lain, lantas ngumpet di pohon-pohon besar di tengah hutan. Sebagai binatang bertubuh kecil, mereka sangat menyadari bahaya jika berkeliaran di pinggir hutan pada siang hari. Bisa-bisa mereka digigit dan ditelan anjing,” kata Yan.
Uniknya, meskipun binatang ini sangat berbahaya, penduduk setempat gemar memburu binatang ini. Berbagai cara dilakukan orang untuk mendapat Tarsius, baik dalam keadaan hidup atau mati. Tujuannya adalah mengambil ludah Tarsius. “Tentu saja untuk dapat mengambil air ludahnya, Tarsiusnya harus dibunuh,” kata Yan.
Untuk apa air ludahnya? Air ludah Tarsius dicampur dengan daun-daunan lantas direbus. Cairan itu digunakan untuk obat. Bisa untuk menyembuhkan luka bakar, penyakit kulit, bahkan untuk penyakit dalam,” katanya.
Yan memperkirakan, air liur Tarsius ini berupa serum yang jika diproses bias memperkuat kekebalan tubuh manusia. “Bahkan, ada pendapat, air liur Tarsius bisa digunakan sebagai obat melawan virus HIV (virus penyebab AIDS yang menghilangkan kekebalan tubuh). Tetapi, pendapat ini masih perlu dibuktikan. Kita tunggu penelitiannya,” katanya.
Badan Pengembangan Wallacea akan melakukan penelitian secara serius untuk mengungkap kandungan air liur Tarsius. Setelah ditemukan komposisi kandungannya, dipikirkan cara memprosesnya menjadi obat.
“Kami menyadari bahwa penelitian ini bukan pekerjaan ringan. Dibutuhkan tenaga ahli dan sarana yang memadai. Lebih sulit lagi, sebagianbesar tenaga ahli kita enggan masuk hutan,” tutur Yan.
Untuk melakukan penelitian yang cukup penting itu, Badan Pengembangan Wallace masih mencari tenaga ahli yang dibutuhkan. “Setelah menemukan orang yang tepat, penelitian bisa segera dimulai,” jawabnya.
Diakuinya, dua program dari Badan Pengembangan Wallacea itu terasa kontradiktif. Di satu pihak, badan ini menangkar Tarsius dengan melarang setiap orang berburu monyet kecil ini. Di pihak lain, akan dilakukan penelitian untuk memproses air liur Tarsius menjadi obat, yang berarti membunuh Tarsius. Jika penelitian itu menghasilkan temuan, misalnya, air liur Tarsius betul-betul bisa dijadikan obat penangkal AIDS, bisa jadi keberadaan Tarsius kembali terancam. (djono w. oesman)
Sumber: Jawa Pos, Rabu Pon, 6 Oktober 1993