Penyelenggaraan Sensus Penduduk (SP) 2020 merupakan upaya untuk mewujudkan satu data. Hal ini merupakan momentum untuk mengatasi masalah inkonsistensi dalam perencanaan pembangunan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Hitung mundur pelaksanaan Sensus Penduduk 2020 secara online (dalam jaringan/daring) di laman http://sensus.bps.go.id ditampilkan di ruang pemantauan Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa (4/2/2020). Sensus Penduduk 2020 secara daring akan dilaksanakan pada 15 Februari – 31 Maret 2020. BPS menargetkan sebanyak 30 juta atau 30 persen penduduk Indonesia akan berpartisipasi dalam sensus daring tersebut. Bagi masyarakat yang tidak atau belum mengikuti sensus daring akan disensus secara manual (didatangi ke tempat tinggal) pada 1-31 Juli 2020. Sensus bertajuk #MencatatIndonesia ini hasilnya akan menjadi acuan Pemerintah dalam merencanakan pembangunan baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Presiden Jokowi dalam Pencanangan Sensus Penduduk (SP) 2020 di Istana Negara (24/1/2020) menyebutkan bahwa saat ini data adalah “a new oil”, bahkan lebih berharga dari minyak (Kompas, 26/1/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernyataan Presiden atas mahalnya data itu barangkali didasari atas target pembangunan yang kerap tak sesuai dengan sasaran. Dalam konteks itu, ketika target lebih kecil dari sasaran akan menyebabkan tak seluruh penduduk tercakup dalam program pembangunan, sebaliknya ketika target lebih besar dari sasaran akan menyebabkan pemborosan.
Adapun salah satu faktor penyebab melesetnya sasaran pembangunan itu ialah akibat penggunaan data penduduk yang kurang sesuai dengan peruntukannya, terutama di daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana terdepan program pembangunan. Sasaran pembangunan di suatu daerah berpotensi meleset ketika penduduk yang menjadi target pembangunan tidak sesuai dengan penduduk secara de facto di daerah itu.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Pegawai Badan Pusat Statistik mengamati papan informasi hasil simulasi sementara Sensus Penduduk 2020 secara online (dalam jaringan/daring) di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa (4/2/2020). Simulasi ini digelar sebagai persiapan Sensus Penduduk 2020 secara daring yang akan dilaksanakan pada 15 Februari – 31 Maret 2020.
Potensi melesetnya sasaran pembangunan terjadi karena data penduduk yang digunakan untuk perencanaan bersifat de jure, yakni berdasarkan dokumen keterangan diri, seperti KTP dan Kartu Keluarga. Hal ini bersesuaian dengan Pasal 58 Ayat 4 Butir (b) UU No 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang menyebutkan bahwa pemanfataan data kependudukan untuk perencanaan pembangunan.
Inkonsistensi
Namun, penggunaan data penduduk secara de jure berpotensi tak sama (lebih kecil atau lebih besar) dengan penduduk secara de facto secara kewilayahan. Adapun faktor penyebabnya ialah perpindahan penduduk yang tidak mengurus dokumen kepindahan dari daerah asal dan tidak mencatatkan diri di daerah tujuan. Jika seseorang tercatat di suatu daerah tapi bertempat tinggal di daerah lain dan tidak mengurus dokumen sesuai batas waktu kepindahan, orang itu masih tercatat di daerah asal.
Kekurangpedulian dalam mengurus dokumen kepindahan akan menyebabkan jumlah de facto penduduk di suatu daerah akan menjadi lebih besar daripada jumlah de jure penduduknya. Ini bisa terjadi ketika migrasi masuk lebih besar daripada migrasi keluar dari daerah itu, atau terjadi migrasi neto positif. Sebaliknya, jumlah de facto penduduk di suatu daerah akan menjadi lebih kecil daripada jumlah de jure penduduknya jika terjadi migrasi neto negatif atau migrasi masuk lebih kecil daripada migrasi keluar.
Maka, jika data de jure kependudukan digunakan dalam target perencanaan pembangunan, itu akan menyebabkan terjadinya inkonsistensi dengan de facto penduduk sebagai sasaran pembangunan. Diperkirakan, ketidaksesuaian (mismatch) penduduk secara de facto dan de jure di setiap daerah akan semakin melebar di masa mendatang, berkaitan dengan mobilitas penduduk yang kian meningkat berkat kemudahan transportasi.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM) 04-02-2020–Pegawai Badan Pusat Statistik memantau lewat monitor pelaksanaan simulasi Sensus Penduduk Online 2020 di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Maka, atas dasar itu, untuk keperluan pembangunan amat diperlukan satu data kependudukan yang dapat merepresentasikan penduduk secara de facto dari suatu wilayah atau daerah. Pentingnya satu data itu juga bersesuaian dengan keputusan Presiden Jokowi yang ingin menerapkan satu visi presiden, tanpa visi lainnya dari kementerian dan lembaga dalam penyelenggaraan pemerintahan 2019-2024.
Dengan hanya menerapkan satu visi, setiap kementerian dan lembaga tentunya akan menggunakan satu data kependudukan, yang sekaligus dapat mengeliminasi inkonsistensi dalam perencanaan pembangunan sehingga target pembangunan sesuai dengan sasarannya. Penggunaan satu data itu juga amat bermanfaat bagi pengguna data lainnya atas kesimpangsiuran beragamnya data kependudukan.
Momentum satu data
Maka, dengan diselenggarakannya Sensus Penduduk (SP) 2020 untuk mewujudkan satu data, hal ini merupakan momentum untuk mengatasi masalah inkonsistensi dalam perencanaan pembangunan. Namun tentu dengan catatan, hal itu baru dapat dicapai jika satu data yang dihasilkan SP 2020 dapat merepresentasikan penduduk secara de facto menurut wilayah atau daerah.
Badan Pusat Statistik pada 2020 akan melaksanakan SP yang ketujuh sejak Indonesia merdeka. Sebelumnya, SP dilaksanakan pada 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010.
Berdasarkan laman bps.go.id, pelaksanaan SP 2020 akan menggunakan metode baru, metode kombinasi (combined method) dengan memadukan data registrasi penduduk dari Ditjen Dukcapil dan sensus penduduk. Data registrasi penduduk digunakan sebagai dasar pelaksanaan SP 2020.
SP 2020 akan dilakukan dalam tiga tahap. Pada 15 Februari-31 Maret akan dilaksanakan sensus penduduk online (SPO).
Pencacahan secara online didasarkan pertimbangan kian meningkatnya literasi penggunaan aplikasi teknologi komunikasi, seperti surat elektronik, dan telepon seluler. Diperkirakan, cara ini amat efektif untuk percepatan pelaksanaan sensus, penghematan biaya pewancara, dan faktor kesibukan responden.
Untuk responden yang tak memiliki kesempatan secara online, pencacahan dilakukan dengan wawancara pada Juli 2020. Selanjutnya, pada Juli 2021 sebagian penduduk yang telah terdata pada 2020, sebagai sampel populasi akan didatangi kembali untuk mengumpulkan keterangan lebih mendalam terkait kondisi sosial-ekonomi dan perumahan.
Namun, harapan menghasilkan satu data kependudukan dari SP 2020 itu bisa meleset karena kekurangpedulian sebagian penduduk yang tidak mencatatkan fakta keberadaan dirinya sesuai dengan daerah tempat tinggalnya saat pelaksanaan sensus berlangsung.
Untuk itu, amat diharapkan responden dapat memberikan keterangan yang benar, yang tak hanya menyangkut tempat tinggal tapi juga seluruh pertanyaan yang diajukan dalam SP 2020. Dengan cara itu, konsistensi target pembangunan akan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, dan mahalnya data menjadi sepadan.
(Razali Ritonga Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan. Alumnus Georgetown University, AS.)
Sumber: Kompas, 17 Februari 2020