Pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi biologi molekuler dalam membantu mengatasi masalah global ini. Indonesia diharapkan turut berpartisipasi memahami dan mengatasi persoalan kesehatan tersebut.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN—Ahli genetika manusia di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan Ketua Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof dr Herawati Supolo Sudoyo, PhD (kanan) menerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas di Jakarta, Jumat (28/6/2019). Penghargaan yang menjadi tradisi yang diinisiasi Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama pada 2008 itu merupakan bagian dari hari ulang tahun Harian Kompas ke-54.
Pandemi yang terjadi berulang telah melahirkan kemajuan ilmu pengetahun. Misalnya, flu spanyol pada 1918 menajamkan pengetahuan tentang epidemiologi penyakit menular, patologi, hingga vaksin dan obat-obatan. Pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi biologi molekuler dalam membantu mengatasi masalah global ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ilmu biologi molekuler saat ini menjadi salah satu landasan ilmiah untuk penanganan pandemi Covid-19,” kata Herawati Supolo Sudoyo, ilmuwan dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, saat menyampaikan orasi ilmiah “Sarwono Memorial Lecture” di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Jumat (28/8/2020). Orasi ini sendiri, menurut Tri Laksana Handoko, Kepala LIPI, merupakan tradisi keilmuan sekaligus puncak rangkaian acara peringatan Hari Ulang Tahun ke-53 LIPI.
Biologi molekuler mempelajari sistem kehidupan pada skala renik, seperti interaksi berbagai sistem dalam sel, misalnya DNA (Deoxyribo Nucleic Acid ), RNA (ribonucleic acid), dan sintesis protein. Dalam pandemi kali ini, ilmu ini menjadi kunci dalam pemeriksaan spesimen hingga upaya penemuan vaksin dan obat-obatan presisi.
Menurut Herawati, setidaknya ada empat terobosan yang menghaslikan revolusi dalam bidang bioteknologi kedokteran, yaitu ditemukannya struktur DNA pada tahun 1962 dan enzim restriksi yang menyebabkan terbukanya kemampuan untuk melakukan rekayasa genetika pada tahun 1970-an.
Terobosan lain yang menghasilkan hadiah Nobel Kimia untuk Kary Mullis (1993) berupa ditemukannya konsep penggandaan DNA secara in vitro yang dikenal sebagai Polimerase Chain Reaction (PCR), yang kini menjadi standar emas pemeriksaan spesimen Covid-19. Selain itu, ada satu temuan Howard M Temin, peraih Nobel untuk Fisiologi dan Kedokteran tahun 1975 yang mampu mengubah RNA menjadi DNA dengan menggunakan enzim.
“Keempat temuan ini yang bisa mengungkap informasi yang ada dalam DNA pada manusia dan berbagai mahluk hidup lainnya, seperti jasad renik, termasuk virus, sehingga kita bisa memahami Covid-19 kali lebih cepat dan baik,” tuturnya.
Saat pandemi flu spanyol, ilmuwan belum mengetahui secara pasti, bagaimana virus yang melayang di udara dapat menginfeksi manusia dari suatu tempat ke tempat lain dalam hitungan satu jam sampai beberapa hari setelah dihirup. “Ilmuwan menyebutnya saat itu crowd disease alias penyakit yang timbul karena kerumunan. Baru sekarang kita faham mekanismenya dengan jauh lebih baik, berkat ilmu biologi molekul,” kata Herawati.
Sebagai bagian dari komunitas ilmiah dunia, Indonesia diharapkan dapat berpartisipasi dalam memahami dan mengatasi pandemi ini. Di antaranya dengan turut menganalisis genomik terhadap virus SARS-CoV-2 yang ditemukan di Indonesia dan mendaftarkannya dalam bank data global. Selain untuk memahami riwayat perjalanan dan variasi dibandingkan SARS-CoV-2 di negara lain, ini juga menjadi bekal penting bagi riset vaksin dan obat-obatan.
KOMPAS/AHMAD ARIF—Prof Herawati Supolo Sudoyo (tengah) dan tim Lembaga Eijkman tengah menuju Kampung Somlak, Distrik Joutu, Kabupaten Asmat, Papua untuk pengambilan DNA, Kamis (15/8). Kajian ini untuk melengkapi pemetaan asal-usul dan migrasi manusia Indonesia, selain mempelajari kerentanan dan daya tahan terhadap berbagai penyakit terkait genetik.
Peran sejarah
Sekalipun kemajuan ilmu biologi molekul juga membantu upaya identifikasi virus hingga percepatan pembuatan vaksin dan obat-obatan, menurut Herawati, kita tetap tidak bisa melupakan sejarah. Penanganan wabah juga butuh lintas disiplin ilmu, terutama yang sangat dibutuhkan saat ini aspek epidemiologi.
Sejak flu spanyol, ilmuwan telah menyimpulkan, penularan virus tidak hanya dari pernapasan, yang bisa dikurangi risikonya dengan memakai masker, tetapi juga dari kontak dengan tangan, hidung dan mulut. Dari satu individu ke individu lainnya. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi isolasi dan karantina yang ketat guna memperlambat penyebaran. Inilah obat terbaik saat ini untuk mengatasi pandemi, sembari menunggu vaksin.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro, yang menjadi penanggap juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas disiplin. “Kedokteran harus dikaitkan dengan ilmu lainnya dan lingkungan di sekitarnya. Ini seperti ditunjukkan Herawati saat melakukan riset lapangan tentang genetika manusia Indonesia. Saat ini, kita mencari cara mengatasi pandemi, dan lintas disiplin sangat dibutuhkan, mulai dari aspek engineering sampai ilmu sosial,” kata dia.
Khusus untuk aspek sejarah, menurut Bambang, saatnya Indonesia mengajarkan tentang sejarah wabah. “Kurikulum sejarah kita lebih banyak mengajarkan tentang perang, tetapi belum banyak soal wabah. Padahal, pandemi flu Spanyol dan wabah-wabah lain telah membunuh lebih banyak dibandingkan perang. Setidaknya, kalau masyarakat belajar pandemi akan lebih waspada dan hati-hati,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan, pandangan dan pengalaman panjang Herawati dalam bidang biologi molekuler serta penelitian dasar mengenai SARS-CoV-2 diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi peneliti-peneliti Indonesia.
Oleh AHMAD ARIF
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 29 Agustus 2020