Kebakaran hutan dan lahan berbuah tragedi asap bagi lebih dari 40 juta jiwa di enam provinsi adalah bukti buruknya pengelolaan sumber daya alam.
Emil Salim, tokoh lingkungan dan Menteri Lingkungan Hidup 1978-1993, dalam sebuah forum di Jakarta mengingatkan agar kebakaran jadi pelajaran sehingga tak terulang pada pemanfaatan sumber daya alam lain. Ia geram ketika menyoroti rakusnya pabrik semen yang mengincar setiap jengkal ekosistem karst.
Bukan rahasia lagi, otonomi daerah yang pemimpinnya berorientasi pada kepentingan sesaat membuat eksploitasi sumber daya alam jadi pilihan mudah. Kemudahan memberikan izin kepada pebisnis penyokong kampanye politik dan pembiaran warga merambah agar populer menciptakan kompleksnya pengelolaan sumber daya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam jangka panjang, kehancuran lingkungan kian mengerikan. Kekayaan alam yang dikeruk dan dieksploitasi itu tak mungkin kembali. Sekali gambut dikeringkan dan terbakar, sangat sulit direhabilitasi. Sekali batubara, minyak, atau mineral logam dikeruk dari perut bumi, selamanya kekayaan itu hilang. Yang tersisa adalah nestapa.
Membahayakan
Kajian Program Pembangunan PBB (UNDP) berjudul “Pundi Dana Kedaulatan Sumber Daya Alam untuk Masa Depan Indonesia” yang diluncurkan pekan lalu menunjukkan keberadaan sumber daya alam di suatu daerah belum menjamin kesejahteraan masyarakat. Dicontohkan, Kalimantan Timur yang kaya minyak, gas, dan batubara memiliki Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) pada posisi ke-13 dari 33 provinsi. Ini lebih rendah dibandingkan dengan DKI Jakarta yang bisa dikatakan tak memiliki sumber daya alam.
Persiapan pengelolaan yang berkelanjutan masih jauh dari sempurna. Jika tanpa rem, eksploitasi sumber daya alam akan sangat berbahaya.
Meski tahun 2015 ekspansi komoditas-komoditas rakus lahan dan sumber daya alam agak melemah-karena nilai jual sawit dan batubara merosot-bukan tidak mungkin beberapa waktu mendatang kembali jadi primadona. Setidaknya, pengusaha sawit dan akasia masih memandang ekspansi sebagai solusi peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Menurut proyeksi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, setidaknya dibutuhkan 1,5 juta hektar lahan baru agar Indonesia bisa memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia, hanya dari sawit. Asumsinya, tahun 2020 sekitar 8 miliar manusia di bumi mengonsumsi minyak nabati sebanyak 234 juta ton. Dengan kata lain, guna memenuhi kebutuhan tersebut perlu tambahan suplai 6 juta ton per tahun.
Dari data itu, dalam setahun perlu dibuka lahan baru lebih dari 20 kali Jakarta yang luasnya 740 kilometer persegi. Dari mana areal itu didapat? Di mana saja, termasuk sasaran empuk adalah lahan rawa gambut yang dianggap tak bernilai dari sisi valuasi hitung-hitungan ekonomi kuno.
Beberapa data global seakan jadi pembenar Indonesia terus menghancurkan benteng-benteng alam rawa gambutnya. Menurut data Oil World Statistic (2014), minyak sawit menguasai 38 persen sumber minyak nabati dunia, disusul minyak kedelai (26 persen) dan minyak rapeseed (15 persen). Total minyak sawit global sebesar 57 juta liter dikuasai Indonesia 30 juta liter, disusul Malaysia dan sebagian kecil negara lain.
Meski persentase sawit mendominasi minyak nabati, dari sisi luasan, tanaman asal Afrika itu memanfaatkan 6 persen lahan perkebunan minyak nabati. Jauh lebih efisien daripada minyak kedelai (41 persen) dan minyak rapeseed (13 persen).
Perkebunan sawit pun mengklaim kontribusi sebesar 20 miliar dollar AS per tahun atau Rp 300 triliun per tahun (hampir seperenam pendapatan negara 2015 sebesar Rp 1.793 triliun) serta menjadi tumpuan hidup 4,5 juta keluarga.
Tanaman industri
Di sektor pemenuhan kebutuhan kayu untuk berbagai tujuan industri, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mencatat target pencapaian 160 juta meter kubik kayu dari hutan tanaman industri (HTI) dan 29 juta hektar dari pengelolaan hutan alam (HPH). Tahun 2014, pemerintah menargetkan pengembangan HTI hingga 15 juta hektar guna memenuhi produksi kayu.
Ekspansi ini jauh meningkat dari luasan HTI 10 juta hektar pada tahun 2013. Dari luasan itu, baru 5,7 juta hektar yang ditanami karena sebagian difungsikan sebagai kawasan hutan dengan stok karbon tinggi ataupun biodiversitas tinggi, serta kewajiban menyediakan tanaman kehidupan bagi masyarakat.
Meski demikian, jika Indonesia berhasil membangun 5 juta hektar HTI dengan daur lima tahun (per tahun dipanen 1 juta hektar), maka dihasilkan 25 juta-30 juta meter kubik. Itu dengan asumsi pemanenan 25-30 meter kubik per tahun. Jadi, jika dikembangkan lagi untuk menyediakan 160 juta meter kubik kayu untuk industri pulp selama lima tahun mendatang, setidaknya butuh 15 juta hektar lagi sebagai lokasi HTI.
Indonesia terobsesi merajai industri pulp yang hingga kini peringkat ke-9 dengan total produksi domestik 6,7 juta ton dari total produksi global 181 juta ton. Itu jauh di bawah Amerika Serikat, Finlandia, dan Brasil. Padahal, praktisi industri pulp mengklaim iklim Indonesia merupakan modal besar mengalahkan negara subtropis, seperti AS dan Finlandia, yang memiliki masa panen 10-40 tahun. Masa panen itu jauh lebih panjang dibandingkan dengan Indonesia yang bisa memanen pada usia 4-5 tahun.
Di sisi lain, komoditas kehutanan itu memberi kontribusi 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia serta menyerap 3,8 juta pekerja dan 6 persen ekspor Indonesia. Bank Dunia mencatat, PDB Indonesia 888,5 miliar dollar AS.
Angka-angka fantastis dari nilai ekonomi sawit dan akasia memang menggiurkan. Namun, perlu diingat, kondisi tata kelola hutan dan lahan di Indonesia yang masih buruk serta perilaku korup membuat ekspansi besar-besaran sangat berisiko.
Ratusan kasus konflik tenurial (lahan hutan) antara pemerintah-pengusaha-masyarakat lokal/adat serta kasus kebakaran lahan/hutan berulang-ekses perluasan lahan perkebunan dan hutan monokultur-menimbulkan korban jiwa tak sedikit serta menyiksa 45 juta warga di enam provinsi. Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan, menurut data Bank Dunia, mencapai Rp 221 triliun.
Para pemilik modal menunjukkan niat baik dengan menyerap teknologi terkini untuk mengelola rawa gambutnya. Namun, fakta di lapangan, berbagai praktik terbaik pengelolaan lahan rawa gambut tak menjadikan perusahaan raksasa mampu mencegah kebakaran. Pengelolaan itu tak menjamin gambut tak terbakar, entah sengaja maupun akibat rembetan/lontaran api.
Ancaman banjir atau genangan air pada rawa gambut juga muncul karena tekanan berlebih pada rawa gambut. Tanaman menjadi miring dan tak ekonomis lagi, bahkan busuk karena tergenang yang berujung bangkrut. Jika itu terjadi, kontribusi pemasukan ratusan triliun rupiah itu berisiko petaka lebih besar: hantaman ekonomi akibat kredit macet dan lainnya.
Sedikit melegakan-meski bukan hal baru dan masih sebatas pernyataan informal-saat Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen penghentian pemberian izin baru di lahan gambut serta meninjau ulang izin-izin di atasnya.
Moratorium atau mengambil napas sejenak untuk mengevaluasi pengelolaan sumber daya alam kita agaknya perlu dilakukan pada sektor lain, termasuk tambang. Itu agar pengelola negeri ini lebih bijak mengelola alam. Tahun ini bisa menjadi momentum perbaikan.(ICHWAN SUSANTO)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul “Momentum Bijak Mengelola Sumber Daya Alam”.