Keputusan perusahaan global menghentikan sementara kerjasama iklan dengan Facebook menjadi bukti media sosial tidak bisa sepenuhnya menggantikan fungsi media massa. Ini momentum bagi media massa untuk mengambil peran.
Disrupsi yang memukul media konvensional karena kehadiran platform digital global diyakini tidak total, dan akan mencapai keseimbangan baru. Salah satu indikator adalah ketika sejumlah perusahaan besar global menghentikan sementara kerjasama iklan mereka dengan Facebook, yang membuktikan bahwa media sosial tidak bisa sepenuhnya menggantikan fungsi media massa.
Sistem algoritma yang menjadi keunggulan komparatif media sosial dibandingkan media konvensional, kini menjadi titik lemah karena ketidakmampuan platform media sosial menghentikan hoaks dan ujaran kebencian. Ini menjadi momentum bagi media konvensional untuk mengambil peran, baik dalam menyediakan informasi maupun bangkit dari keterpurukan karena disrupsi digital.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Facebook, Google, Amazone memang masih akan menguasai iklan, tetapi publik dan pengiklan masih membutuhkan media massa sebagai sesuatu yang memiliki kemampuan yang tak tergantikan oleh media sosial,” kata anggota Dewan Pers Agus Sudibyo dalam dalam diskusi daring bertema New Equilibrium: Fajar Baru untuk Media Jurnalistik, Rabu (1/7/2020), di Jakarta.
Meskipun begitu, kata Agus, media konvensional harus dapat menyajikan informasi yang tidak disajikan media sosial. Kelemahan-kelemahan media sosial dengan informasi yang seringkali tidak terkonfirmasi dan tidak jelas sumbernya atau informasi yang sekadar fakta, harus menjadi titik tolak bagi media konvensional untuk memperbaiki diri.
Sayangnya masih ada media massa yang mengikuti gaya media sosial yang negatif, misalnya menyajikan berita tidak akurat, lebih mengutamakan kecepatan
“Sayangnya masih ada media massa yang mengikuti gaya media sosial yang negatif, misalnya menyajikan berita tidak akurat, lebih mengutamakan kecepatan. Contoh kasus 33 media online yang diadukan ke Dewan Pers karena membuat berita yang tidak akurat. Ini jurnalisme hit and run. Keseimbangan baru itu ada syaratnya, yaitu good content (konten berkualitas) dan juga membutuhkan ekosistem yang baik,” kata Agus.
Model bisnis baru
Menurut Endy Bayuni, mantan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post yang juga anggota Dewan Pengawas Facebook, untuk keberlanjutan media massa pertama-tama harus berpijak pada jurnalisme sebagai produk/layanan publik (public goods) yang layak dipertahankan. Pada masa pandemi Covid-19 ini banyak masyarakat yang kembali mengandalkan informasi dari media massa karena media massa mempunyai peran besar menyediakan informasi yang kredibel, dan karena itu layak dipertahankan.
Namun karena model bisnis tak bisa lagi bergantung pada iklan, media massa harus mencari model bisnis baru agar dapat bertahan. “New York Times berhasil dengan paywall (berita berlangganan) karena kualitasnya bagus sehingga orang mau membayar. Sampai sekarang di kita belum ditemukan model bisnis baru untuk media massa,” kata Endy dalam diskusi yang dimoderatori dimoderatori Imam Wahyudi, anggota Dewan Pers, tersebut.
Keseimbangan baru, kata wartawan senior Tempo Bambang Harymurti, adalah ketika jurnalisme berkualitas dan bisnis media yang sehat bisa sejalan. Dengan iklan yang tersedot ke platform media global, maka tantangannya adalah bagaimana membuat kepentingan jurnalisme berkualitas di Indonesia selaras dengan kepentingan platform media global seperti Facebook.
“Indonesia ini pasar nomor tiga terbesar Facebook setelah India dan Amerika Serikat. Seharusnya Indonesia mempunyai daya negosiasi yang besar dengan Facebook. Tentu kita tidak ingin minta Facebook memberi uang agar kita (media massa) bisa bertahan, tetapi memberi kail,” kata dia.
Bambang mengajukan empat kemungkinan kerja sama yang perlu dijajaki dengan Facebook agar tercipta ekosistem bisnis yang lebih adil. Pertama, Facebook memberi ruang agar ada tanda verifikasi bagi media yang mengikuti kode etik jurnalistik. Kedua, Facebook bekerja sama dengan Dewan Pers untuk membuat algoritma untuk mengecek ketaatan suatu artikel pada kode etik jurnalistik. Ketiga, Facebook berbagi data konsumen media. Ketiga, Facebook membuat perjanjian tarif iklan dengan masing-masing media massa, jika perlu melalui algoritma yang disepakati bersama.
Oleh YOVITA ARIKA
Editor: YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 2 Juli 2020