Sekitar 2,5 juta dari 14,03 juta hektar luas tanaman kelapa sawit di Indonesia terindikasi berada dalam kawasan hutan. Salah satu solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan itu adalah dengan skema perhutanan sosial yang dijalankan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan skema itu, model agroforestri sawit bisa dikembangkan.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Diskusi bertajuk Pojok Iklim dengan tema Memulihkan Hutan Bersawit, yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan atau usaha tani yang mengombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian ataupun perkebunan untuk meningkatkan keuntungan secara ekonomis maupun lingkungan. Pada sistem ini, terciptalah keanekaragaman tanaman dalam suatu luasan lahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tawaran untuk mengembangkan model agroforestri sawit dalam skema perhutanan sosial mengemuka dalam diskusi bertajuk Pojok Iklim dengan tema Memulihkan Hutan Bersawit, yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Hadir sebagai pembicara, yaitu Kepala Subdirektorat Penyiapan Hutan Kemasyarakatan Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial KLHK Tuti Herawati, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada Budiadi, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi Bambang Irawan, Country Programme Coordinator in Indonesia World Agroforestry (ICRAF) Sonya Dewi.
Bambang Irawan menjelaskan, agroforestri bisa menjadi solusi tingkat tapak atas keterlanjuran sawit berada dalam kawasan hutan. Namun, solusi itu tetap memerhatikan sejarah penguasaan lahan masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan masyarakat. Keberadaan tanaman sawit di areal perhutanan sosial juga diatur Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Diskusi bertajuk Pojok Iklim dengan tema Memulihkan Hutan Bersawit, yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
”Kelapa sawit yang diperkaya dengan tanaman lain dalam satu hamparan bisa mengembalikan fungsi hutan dan meningkatkan perekonomian masyarakat. Sebab, kelapa sawit juga bagian dari hutan,” katanya.
Bambang mencontohkan, di Jambi lazim dijumpai kebun sawit campur. Dalam satu hamparan lahan, kelapa sawit ditanam bersama tanaman petai, jengkol, ulin, dan sungkai. ”Hasil riset kami, produktivitas kelapa sawit di kebun campur itu memang menurun, tetapi nilai ekonomi yang didapat masyarakat meningkat karena mereka tidak hanya mengandalkan sawit,” ujarnya.
Menurut Budiadi, kelapa sawit bisa menjadi bagian dari ekosistem hutan. Untuk itu, strategi jangka benah bisa menjadi pilihan. Jangka benah ialah periode yang diperlukan untuk mencapai kondisi struktur hutan dan fungsi ekosistem yang diinginkan di masa datang, yakni dari kebun sawit monokultur bisa menjadi atau menyerupai hutan alami.
Paling rasional
Budiadi mengatakan, kebun sawit campur bisa dianggap sebagai pilihan paling rasional karena peluangnya diterima masyarakat tinggi. Praktik mencampur sawit dengan jenis tanaman lain sudah dilakukan masyarakat di Jambi dan Kalimantan Tengah. ”Ini bisa diterapkan pada kebun sawit rakyat yang lahannya tidak begitu luas,” katanya.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI–Seorang pekerja kebun PT Ramajaya Pramukti sedang merapikan janjang kosong yang diletakkan di sela-sela tanaman kelapa sawit pada Rabu (2/10/2019). Janjang kosong merupakan limbah pengolahan CPO yang dapat berfungsi meningkatkan hara tanah dan mengurangi pemakaian pupuk.
Tuti Herawati mengemukakan, dari 2,5 juta hektar tanaman sawit yang terindikasi berada dalam kawasan hutan, sekitar 800.000 ha dikuasai oleh perusahaan dan 1,7 juta ha adalah perkebunan rakyat.
Dalam Pasal 65 (h) Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016 juga disebutkan, di areal perhutanan sosial atau dalam usulan perhutanan sosial telah ada sawit sejak aturan itu diberlakukan, diperbolehkan selama 12 tahun sejak masa tanam dan di antara tanaman sawit ditanam pohon berkayu paling sedikit 100 batang per ha.
Menurut Sonya Dewi, agroforestri sawit tidak disarankan untuk dikembangkan di kawasan hutan yang berfungsi untuk perlindungan air. Kebun sawit campur juga tidak disarankan dikelola oleh perusahaan skala besar. ”Perlu penelitian lebih banyak pada berbagai konteks biofisik, kebijakan, dan sosial budaya-ekonomi petani di Indonesia,” katanya.
Oleh JUMARTO YULIANUS
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 31 Oktober 2019