Diluncurkannya mobil listik tenaga surya (MLTS) karya tim peneliti mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) hari Minggu lalu (Kompas, 20/11) membuat industri mobil di tanah air mendapat angin segar. Walau karya ini mungkin tidak sepenuhnya orisinal, kualitas dan keuletan mahasiswa harus dihargai. Karena ini bisa memacu semangat kaum muda Indonesia lainnya untuk berkreasi di bidang teknologi. Sedangkan penghargaan itu akan timbul bila kita mengenal karya mereka.
Mobil listrik sebenarnya bukanlah hal yang baru. Prof Ayrton adalah yang pertama membuat mobil listrik pada 1888, hanya terpaut dua tahun dengan mobil pertama yang diakui dunia, karya Carl Benz pada 1886. Di AS mobil listrik telah beredar di pasaran sekitar tahun 1891, dibuat oleh William Morrison dari Iowa. Ia berhasil menciptakan rekor ketahanan dengan berjalan tanpa berhenti selama 13 jam dengan kecepatan rata-rata sekitar 24 km/jam. Selanjutnya di AS banyak bermunculan mobil-mobil listrik lain. Misalnya, mobil listrik ringan Waverly yang muncul di jalan-jalan raya New York pada 1904, disusul mobil listrik buatan Baker Brougham pada 1912. Namun semua mobil ini belum menggunakan sumber tenaga dari sel surya (solar cell), seperti MLTS.
Di Jepang, mobil listrik pertama dibuat berdasarkan percobaan di sekolah menengah industri atas di Kobe (1924). Model pertama untuk pesiar 6 orang ini adalah modifikaSi dari mobil bermotor bakar. Lalu pada 1929, panitia penelitian mobil listrik dibentuk dalam lingkungan Perhimpunan Ahli Listrik Jepang. Pekerjaan lalu diteruskan oleh maskapai pabrik pesawat terbang Nakajima dan Yuasa Battery Company, yang merupakan awal perkembangan mobil listrik di Jepang awal abad ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di berbagai negara maju, sekarang banyak perusahaan mobil maupun listrik sedang mengembangkan dan meneliti mobil listrik. Antara lain, General Motor, General Electric, Chrysler, Nissan, Mazda, Mitsubishi, dan sebagainya. Data tahun 1987 menunjukkan, di Jepang saja ada 11.869 mobil listrik dari berbagai Jenis dan ukuran.
Sistem kerja
Pada prinsipnya, mobil listrik bergerak dengan memanfaatkan energi listrik yang tersimpan dalam baterai. Energi listrik itu disalurkan untuk menjalankan motor listrik (lihat bagan sistem kerja mobil listrik). Motor listrik yang berputar itu dihubungkan ke poros penggerak roda, lewat mekanisme transmisi dan persneling, sehingga roda pun berputar dan menjalankan mobil listrik tersebut. Agar mobil ini bisa dikendalikan dengan baik, tentu saja dibutuhkan peralatan kendali seperti kemudi dan rem. Selain itu, untuk mengontrol putaran motor listrik, dibutuhkan alat kontrol elektronis chopper.
Agar pengemudi bisa memantau mekanisme kerja mobilnya, ia juga perlu dilengkapi instrumen pengukur. Seperti, voltmeter (pengukur tegangan baterai), amperemeter (arus), RPM-meter (frekuensi putaran motor), wattmeter (daya), temperatur meter (suhu), speedometer (kecepatan mobil), dan odometer (jarak yang ditempuh).
Lalu dari mana datangnya energi listrik di baterai itu? Sumbernya tentu banyak. Antara lain dari listrik PLN. Sedangkan pada kasus MLTS, sumber ini ditambah satu lagi, yakni sel surya. Sel surya bekerja berdasarkan prinsip fotovoltaik, yakni mengubah secara langsung sinar matahari yang mengenai modul-modul menjadi energi listrik. Modul adalah panel yang berisi beberapa sel surya, yang disusun secara seri dan atau paralel, agar bisa menghasilkan arus dan tegangan sesuai dengan yang diinginkan. Arus yang dihasilkannya adalah arus searah (DC). Pada MLTS, modul-modul yang menghasilkan daya 330 Wattpeak (daya puncak) ini dipasang di atas pengemudi dan secara langsung terkena sinar matahari (lihat gambar).
Kelebihan dan kelemahan
MLTS memiliki spesifikasi teknis: panjang 2,8 m, lebar 1.3 m, tinggi 1.57 m, dan Jarak antara poros roda 1,7. Jarak pijak depan 1.15 m dan jarak pijak belakang 1,1 m. Tingginya dari tanah 20 cm dan beratnya 500 kg. MLTS memiliki kecepatan maksimum 45 km/jam, meski pada uji coba hari Minggu sempat mencapai kecepatan lebih dari 50 km/jam. Ia memiliki radius putar minimum 0,25 m. Sistem pengeremannya yang terletak di roda belakang adalah rem cakram. Motor listriknya berkekuatan 4 PK, dengan rotor yang mampu berputar 1.400 kali per menit, dengan tegangan 110 Volt dan arus 35 Amp. Sel surya yang digunakan adalah enam modul tipe BP-255. Baterai yang dipakai tipe Yuasa N-58024.
MLTS memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan mobil dengan penggerak motor bakar. Pertama, karena tidak memakai bahan bakar fosil (bensin, solar, dan se6bagainya), berarti membantu pemerintah dalam diversifikasi energi dan menghemat pemakaian minyak bumi yang suatu saat akan habis.
Kedua, penggunaan energi listrik dengan baterai –yang bekerja berdasarkan reaksi kimia serta motor listrik tidak menimbulkan polusi udara. Kebisingan dan getaran motornya pun lebih kecil ketimbang motor bakar, yang selalu menghasilkan gas buangan (karbon monoksida), getaran, dan suara keras.
Ketiga, bagian yang perlu dirawat pada motor llstrik jauh lebih sedikit dibandingkan motor bakar. Perawatan pada motor listrik juga jauh lebih mudah. Selain itu, motor listrik dapat dijalankan seketika tanpa pemanasan dan memberi kesan lebih bersih ketimbang motor bakar.
Di samping kelebihannya, MLTS juga punya kelemahan. Dibandingkan mobil konvensional, daya jelajah MLTS lebih pendek karena kerapatan energi (muatan) baterainya amat terbatas. Kalau ingin meningkatkan daya jelajah, jumlah batere yang dibawa harus banyak dan membuat bobot kendaraan sangat berat. Selain itu, untuk mengisi batere lagi diperlukan waktu lama, bisa lima sampei delapan jam.
Cukup mahal
Harga sel surya sampai saat ini juga cukup mahal, sehingga belum ekonomis untuk diterapkan secara meluas. Tidak heran kalau pembangkit listrik tenaga fotovoltaik hingga saat ini umumnya hanya diterapkan untuk aplikasi khusus dan terbatas, misalnya untuk penelitian. Menurut data 1986, harga listrik dari sel surya itu bisa mencapai Rp 16.000 per Watt-peak. Jauh lebih mahal ketimbang sumber energi lain.
Selain itu, efisiensi sel surya umumnya rendah. Dari seluruh sinar matahan yang mengenai modul, hanya 10 sampai 15 persen yang dapat diubah jadi tenaga listrik. Sel surya yang kini banyak dipakai pada kalkulator saku punya efisiensi 15 persen. Unjuk kerja sel surya juga terpengaruh oleh panas. Makin panas suhu sel surya, efisiensinya makin menurun.
Namun beberapa kelemahan ini, dengan perkembangan teknologl terakhir, berusaha diatasi. Dengan makin majunya teknik pembuatan sel surya, diperkirakan harga sel surya akan makin murah, sehingga suatu saat akan mencapai tingkat harga yang ekonomis.
Dan segi efisiensi, peneliti di Electric Power Research Institute di Palo Alto, California, AS, menyatakan bisa membuat sel surya dengan efisiensi lebih dari 28 persen dan mungkin akan dicapai 30 persen. Meski secara teoritis tampaknya sulit mencapai tingkat efisiensi yang lebih besar lagi, ini sudah suatu kemajuan yang meningkatkan kemampuan bersaing sel surya. Dari segi baterai, kini juga sedang dikembangkan teknologi yang mampu meningkatkan kerapatan energi baterai.
Dengan semua perkembangan teknologi ini, diharapkan MLTS akan makin bisa diterima, baik secara teknis maupun –yang tidak kalah penting – ekonomis. Arti penting lain, yang tidak bisa diabaikan, karya mahasiswa ITS ini adalah langkah awal sebagai pemacu semangat di kalangan kaum muda untuk berlomba-lomba menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Niat baik ini kiranya perlu terus didukung berbagai instansi pemerintah dan swasta yang terkait, bukan hanya secara “moril” tetapi juga bantuan sarana dan dana. (Satrio Arismunandar)
Sumber: Kompas, 22 November 1989