Pembangunan infrastruktur untuk transportasi laut dan udara menjadi kunci konektivitas Kepulauan Indonesia. Sebagian besar infrastruktur ini berada di zona pesisir rawan bahaya gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi
Pembangunan infrastruktur untuk transportasi laut dan udara menjadi kunci konektivitas Kepulauan Indonesia. Namun, sebagian besar infrastruktur ini berada di zona pesisir rawan bahaya gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang harus dimitigasi risikonya.
”Indonesia punya banyak infrastruktur vital di pesisir, terutama pelabuhan dan bandar udara. Dengan tingginya investasi di dua sektor ini, kita perlu memperhitungkan risiko bencananya,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam lokakarya bertema ”Penguatan Rantai Peringatan Tsunami ke Infrastruktur Vital” di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jakarta, Rabu (20/11/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO–Pekerja sedang beristirahat di pengerjaan proyek Bandara Internasional Yogyakarta, di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (21/2/2019).
Lokakarya yang diinisiasi Komisi Oseanografi Antarpemerintah Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (Intergovernmental Oceanographic Commission of United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization /IOC-UNESCO) ini diikuti oleh para pakar dari 13 negara.
Selain bertujuan menyelamatkan masyarakat, mitigasi bencana juga untuk mengurangi risiko kerugian ekonomi dari kerusakaan infrastruktur dan moda transportasi. ”Saya senang BMKG mengambil inisiatif untuk memperkuat rantai peringatan dari pusat peringatan ke infrastruktur kritis ini,” kata Budi Karya.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, sepanjang 59.531 kilometer garis pantai di 249 kota di Indonesia berada di zona rawan tsunami. Sebanyak 3,7 juta jiwa penduduk tinggal di zona rawan ini. ”Sekalipun kerentanannya tinggi, bukan berarti kita tidak bisa membangun. Kita harus memperkuat mitigasinya,” ungkapnya.
Riset oleh Barbara Neumann di jurnal PLOS One (2015) juga menyebutkan, Indonesia merupakan satu dari lima negara di Asia dengan jumlah penduduk paling banyak tinggal di pesisir yang rentan bencana alam, baik oleh peningkatan muka air laut karena perubahan iklim, banjir, maupun tsunami.
Seiring waktu, risiko bencana tsunami di Indonesia meningkat karena tren pertumbuhan kota-kota ke arah pesisir. Apalagi, lima tahun terakhir pemerintahan Joko Widodo memprioritaskan pembangunan infrastruktur di pesisir demi mendukung tol laut dan pengembangan kawasan pantai. ”Kita baru menyelesaikan satu bandara di selatan Jawa yang ada di zona rawan tsunami, yakni Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo,” kata Dwikorita.
Bandara itu sudah dikaji dan dimitigasi. ”Desain terminal, landas pacu, dan lain sebagainya sudah dirancang untuk menghadapi gempa dengan kekuatan M 8,8 dan tsunami dengan ketinggian 10 meter,” ungkapnya.
Di bandara tersebut juga dibangun perangkat penerima peringatan dini tsunami (warning receiver system/WRS) yang terhubung dengan BMKG. Dengan demikian, jika terjadi gempa berpotensi tsunami, empat menit kemudian ada peringatan dini.
KOMPAS/GESIT ARIYANTO–Bandara Sendai, Jepang, Kamis (26/10). Bandara ini mengalami sejumlah penyesuaian pascatsunami Maret 2011 dan menjadi salah satu tempat belajar tim pembangunan proyek Bandara Internasional Yogyakarta, di Kulon Progo.
Namun, ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, menilai, upaya mitigasi yang dilakukan harus dievaluasi kembali mengingat besarnya risiko. Berdasarkan pemodelan yang dilakukannya, gempa dari zona megathrust di selatan Jawa berpotensi memicu tsunami dengan ketinggian 10-15 meter di sekitar Bandara Internasional Yogyakarta. Waktu tiba tsunami diperkirakan 30-35 menit setelah gempa bumi.
Upaya mitigasi melalui vegetasi dan peninggian gumuk pasir berpotensi mengurangi tinggi tsunami. Akan tetapi, di landas pacu tsunami tetap bisa mencapai ketinggian 5 meter. ”Dibutuhkan kombinasi berbagai mitigasi lain untuk mengurangi risikonya,” kata Widjo.
Selain ancaman gempa dan tsunami, lokasi Bandara Internasional Yogyakarta juga berada di zona rawan banjir dan likuefaksi. Peta Zona Kerentanan Likuefaksi DIY yang dikeluarkan Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM), yang dirilis tahun ini, menempatkan pesisir Kulon Progo sebagai kawasan dengan kerentanan likufekasi tinggi.
”Untuk likuefaksi, sepengetahuan kami belum ada upaya mitigasinya,” ujarnya. Melihat kompleksitas mitigasinya, Widjo menyarankan pemilihan lokasi bandara seharusnya dihitung dengan cermat. ”Jauh sebelum pembangunannya, kami sudah mengingatkan agar bandara di Yogya tidak persis di pinggir pantai,” ucapnya.
Selain Bandara Yogya, menurut catatan Kompas, setidaknya terdapat 16 bandara lain di Indonesia yang juga berada di zona rawan tsunami. Data rinci bisa dilihat di tabel. ”Pelabuhan kapal di Indonesia sebagian besar ada di zona bahaya gempa dan tsunami. Untuk tsunami kecil, pelabuhan-pelabuhan ini sudah didesain bisa bertahan, tetapi untuk tsunami besar harus diperkuat lagi,” kata ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Semedi Husrin.
Evaluasi juga harus dilakukan terhadap kesiapan sejumlah kawasan ekonomi khusus (KEK) di Indonesia yang ada di zona rawan bencana dan dalam serangkaian bencana pada 2018 terpapar cukup parah. Tiga KEK terdampak bencana itu adalah KEK Palu yang disiapkan menjadi pusat logistik terpadu dan industri pengolahan pertambangan di Sulawesi, KEK Tanjung Lesung (Banten) dan Mandalika (NTB) sebagai KEK Pariwisata, dan KEK Mentawai yang juga di zona rawan tsunami.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Direktur Utama PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau ITDC Abdulbar M Mansoer (kiri) menjelaskan maket rencana pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Mandalika atau The Mandalika yang akan menjadi lokasi sirkuit MotoGP 2021 kepada Presiden Joko Widodo bersama romobongan di Balawisata Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jumat (17/5/2019). Terkait persiapan pembangunan street circuit Mandalika, saat ini sudah dilaksanakan sejumlah kegiatan, di antaranya survei lokasi, topografi, pemasangan pagar, land clearing, dan penyusunan design sirkuit/homologasi.
Evakuasi mandiri
Akiko Yamanaka, President of the International Tsunami Disaster Prevention Society mengatakan, berdasarkan pengalaman tsunami Jepang 2011, masyarakat cenderung lupa dengan tsunami mematikan yang pernah terjadi di masa lalu. ”Di Jepang, masyarakat juga cenderung mengabaikan peringatan dini tsunami sekalipun sudah mendapatkannya. Tanggul tsunami yang dibangun di sepanjang pantai membuat masyarakat merasa aman,” ujarnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo mengatakan, dengan keterbatasan anggaran, tidak semua masyarakat di zona rawan bencana bisa memiliki akses terhadap teknologi peringatan dini tsunami. Oleh karena itu, perlu disiapkan edukasi dan mitigasi di level keluarga dan desa untuk mendorong evakuasi mandiri.
Menurut Doni, masyarakat harus diajarkan untuk segera menjauh dari pantai setelah gempa bumi tanpa harus menunggu peringatan dini tsunami dari pemerintah. Praktik evakuasi mandiri ini terbukti berhasil menyelamatkan masyarakat di Pulau Simeulue dari tsunami tahun 2004. Sekalipun ribuan rumah mereka hancur, jumlah korban jiwa di Simeulue sangat sedikit karena warga segera meninggalkan pantai setelah gempa.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 21 November 2019