Misteri Penurunan Produktivitas Padi

- Editor

Jumat, 3 Juli 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Antisipasi krisis pangan melalui penguatan stok beras domestik bukan opsi, tetapi suatu keniscayaan yang harus dilakukan pada sisa tahun kalender 2020 ini. Stok beras domestik dapat mencapai titik kritis di akhir tahun.

Penurunan kinerja produksi padi periode 2018- 2019 cukup merisaukan karena hal itu dikhawatirkan berlanjut sampai 2020. Menggunakan metode baru kerangka sampel area, Badan Pusat Statistik melaporkan luas panen padi turun 6,15 persen, dari 11,28 juta hektar menjadi 10,68 juta hektar.

Konversi lahan sawah yang dahsyat, terutama di sentra-sentra produksi padi, seperti pantai utara (pantura) Jawa, telah menurunkan luas lahan baku sawah amat signifikan. Produksi padi turun drastis 7,76 persen, dari 59,18 juta ton gabah kering giling/GKG (setara 33,94 juta ton beras) di 2018 menjadi 51,33 juta ton GKG (setara 31,29 juta ton beras) di 2019. Jadi, produktivitas padi turun 7,60 persen, dari 5,20 ton per ha menjadi hanya 4,81 ton per ha, suatu fenomena serius yang perlu dapat perhatian memadai.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Presiden Jokowi berkali-kali menyampaikan kepada para menterinya agar peringatan krisis pangan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tak dianggap ringan. Persoalan akses pangan (demand side) karena banyak orang kehilangan pekerjaan dan penurunan daya beli jangan sampai bersenyawa dengan persoalan ketersediaan dan produksi pangan (supply-side).

Produksi padi Januari-Mei 2020 tercatat 26,18 juta ton GKG karena musim panen raya telah selesai. Produksi padi Juni biasanya lebih kecil dari Mei karena petani bersiap untuk musim tanam berikutnya.

Penurunan produktivitas padi dapat terjadi pada tiga dimensi, yakni substansi teoretis, analitis-metodologis, dan dimensi empiris-kebijakan ekonomi pertanian.

Teori produktivitas
Secara teoretis, produktivitas diukur menggunakan rasio produksi atau output terhadap satuan input. Misalnya, produktivitas lahan adalah produksi pertanian dibagi dengan luas lahan, menggunakan ukuran ton per hektar. Produktivitas tenaga kerja adalah produksi pertanian dibagi satuan tenaga kerja, menggunakan ukuran ton per tenaga kerja.

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian, Yujiro Hayami (Jepang) dan Vernon Ruttan (AS) membangun suatu identitas produktivitas dan mengaitkannya dengan tingkat pembangunan suatu bangsa. Pembangunan pertanian dikatakan berhasil jika mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, meningkatkan pendapatan atau produktivitas tenaga kerja.

Sementara itu, rasio lahan terhadap tenaga kerja semakin lama semakin kecil karena tenaga kerja terus bertambah, sedangkan lahan nyaris konstan. Implikasinya, peningkatan produktivitas lahan perlu terus diupayakan agar lebih besar dari penurunan rasio lahan terhadap tenaga kerja.

Pembangunan pertanian memerlukan perubahan teknologi untuk meningkatkan produksi, sekaligus produktivitas lahan dan produktivitas tenaga kerja. Inovasi perubahan teknologi benih, pupuk, pestisida, alat-mesin pertanian, teknik budidaya, pertanian presisi, pertanian cerdas, penggunaan drone, teknik hemat air, modifikasi cuaca, dan lain-lain mampu meningkatkan produktivitas. Perubahan teknologi juga mensyaratkan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pertanian sehingga seluruh kapasitas produksi pertanian juga ikut meningkat.

Penurunan produktivitas padi boleh jadi karena kapasitas produksi pertanian Indonesia memang sudah menurun. Pertambahan produktivitas padi mulai mendatar (levelling-off), pada kondisi kapasitas produksi sekarang. Produktivitas padi Indonesia 5,2 ton/ha itu sebenarnya lebih tinggi dari produktivitas padi di Thailand (3,1 ton/ha), Myanmar (3,8 ton/ha), Filipina (4 ton/ha), dan Malaysia (4,1 ton/ha), tapi lebih rendah dari Vietnam (5,8 ton/ha), Jepang (6,6 ton/ha) dan China (7,0 ton/ha).

Secara teori, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk meningkatkan produktivitas padi dan kapasitas produksi dalam negeri secara umum, dengan perubahan teknologi yang lebih unggul.

Analitis-metodologis
Penurunan produktivitas padi mungkin terjadi karena luas baku sawah yang terlalu besar, sehingga luas panen padi juga besar. Luas panen pada metode kerangka sampel area (KSA) dibangun menggunakan basis luas baku sawah, yang diestimasi dengan empat peta dasar, yaitu (1) peta rupa bumi, (2) peta administrasi, (3) peta baku sawah, dan (4) peta tutupan lahan.

Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) melakukan sinkronisasi data luas baku sawah dan verifikasi lapangan di beberapa provinsi sentra produksi padi. Pada 2019, luas baku sawah ditetapkan 7,46 juta hektar (Kepmen ATR No 686/SK-PG.03.03/XII/2019, tanggal 17 Desember 2019) atau naik 358.000 hektar dari 7,10 juta hektare pada 2018 (Kepmen ATR No 399/Kep-23.3/X/2018 tanggal 8 Oktober 2018).

Angka luas baku sawah 7,10 juta hektar itu sempat menghebohkan akhir 2018 karena terdapat penurunan amat signifikan dari luas baku sawah 2013 seluas 7,75 juta hektar (SK Kepala BPN No 2296/Kep-100.19/IV/2013 tanggal 23 April 2013). Fenomena konversi lahan sawah 600.000 hektar selama lima tahun atau 120.000 hektar per tahun menjadi sangat sensitif di tahun politik.

Pada 2019 itu, produksi padi turun 7,76 persen menjadi 51,33 juta ton GKG, lebih besar dibandingkan penurunan luas panen 6,15 persen. Akibatnya, produktivitas padi tinggal 4,81 ton per hektar, suatu penurunan yang sangat tidak biasa.

Secara metodologis, Kelompok Kerja (Pokja) Data Pangan di Forum Masyarakat Statistik (FMS) juga sedang me-review metode seleksi sampel segmen sawah yang diukur lebih lanjut. Pada prinsipnya, penarikan sampel secara titik pasti berbeda dengan penarikan sampel secara busur dan secara garis, karena algoritmanya juga berbeda.

Metode pelaporan fase pertumbuhan padi menggunakan telepon pintar Android secara real-time oleh petugas lapangan kepada server KSA di BPS tampak cukup akurat. Akan tetapi, sampel segmen sawah dan metode pengukuran sampel produksi secara ubinan mungkin saja masih mengandung bias secara metodologis.

Empiris-kebijakan
Pada periode 2018-2019 itu, pemerintah masih gencar melaksanakan upaya khusus peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai (upsus pajale). Hampir semua jajaran birokrasi pertanian di seluruh Indonesia ditarget untuk meningkatkan luas tambah tanam (LTT) padi, jagung, dan kedelai. Peningkatan LTT tanpa perbaikan sistem produksi atau budi daya pertanian yang baik (GAP) jelas menurunkan produktivitas.

Peningkatan produksi padi dapat ditempuh dengan strategi intensifikasi seperti aplikasi benih unggul, kombinasi pupuk kimia, pupuk organik dan pupuk biologi, penggunaan alat-mesin pertanian efektif, penanggulangan hama dan penyakit tanaman terpadu, manajemen air irigasi dan drainase, dan lain-lain.

Ekonomi produksi padi juga memerlukan dukungan kebijakan di luar usaha tani, seperti pembiayaan pertanian, peningkatan akses pasar, kepastian pembelian gabah petani dengan insentif harga memadai, penjaminan harga jual petani dan kepastian usaha.

Demikian pula, sistem agribisnis padi memerlukan rekayasa sosial-kelembagaan petani untuk meningkatkan skala usaha, melalui aplikasi teknologi mekanis, traktor tanam, mesin panen terpadu (combined harvester) dan efisiensi pascapanen, penggilingan dan pengolahan hasil dalam skema agroindustri yang mampu meningkatkan nilai tambah dan penciptaan lapangan kerja.

Singkatnya, penurunan produksi padi terjadi pada dimensi teoretis, analitis-metodologis dan empiris-kebijakan secara sendiri-sendiri dan bersamaan.

Strategi jalan keluarnya adalah kombinasi dari peningkatan kapasitas produksi, perbaikan akurasi penarikan sampel segmen luas panen berikut pengukuran produksi dalam sampel ubinan, dan integrasi sekian teknik budidaya, manajemen usaha tani, dan kebijakan pendukung yang dibutuhkan.

Antisipasi krisis pangan melalui penguatan stok beras domestik bukan opsi, tetapi suatu keniscayaan yang harus dilakukan pada sisa tahun kalender 2020 ini. Stok beras domestik dapat mencapai titik kritis pada periode November 2020 sampai Februari 2021. Stabilisasi harga beras menjadi amat krusial karena kenaikan harga eceran beras dapat meningkatkan garis kemiskinan.

Bustanul Arifin, Guru Besar Unila, Ekonom Senior Indef dan Ketua Forum Masyarakat Statistik.

Sumber: Kompas, 3 Juli 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB