Kalau Untung Dapat Merah Delima
TIDAK semua orang tahu Desa Karang Sambung. Dimana dan ada apa di sana? Namun bagi masyarakat ilmiah —mahasiswa, dosen dan peneliti Indonesia, ASEAN atau bahkan dunia sekalipun— Desa itu sudah tidak asing lagi. Karang Sambung yang terletak 19 km sebelah utara Kota Kabumen ini dikenal Belanda sejak tahun 1920-an. Berdasarkan Keppres 32/1990, daerah seluas 300 km2 itu ditetapkan menjadi Cagar Ilmu Pengetahuan Geologi Nasional (CIPGN) Karang Sambung.
Kawasan tersebut menyimpan segudang misteri ilmiah dari sudut ilmu geologi. Ibaratnya, hampir setiap jengkal tanah mengandung berbagai jenis bebatuan yang menyimpan nilai ilmiah tinggi. Tetapi orang awam akan melihat bebatuan itu biasa-biasa saja. Tak beda dengan bebatuan di pinggir kali atau pinggir jalan.
Namun masyarakat ilmiah memandangnya lain. Dari jenis bebatuan itu, mereka bisa melihat kembali proses terjadinya bumi jutaan tahun lalu. Lalu mencoba merekonstruksikannya kembali menjadi satu cerita ilmiah yang sistematis tentang asal-usul bumi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Museum Alam
Desa ini memang khas, memiIiki kenampakan-kenampakan geologi sepanjang evolusi bumi mulai zaman kapur (sekitar 120 juta tahun lalu) hingga kini. Semuanya terekam dalam “museum alam” geologi Karang Sambung itu. Lihatlah kesana.
Dari batuan beku, sedimen dan metamorf, Anda akan memperoleh jawab bagaimana proses terbentuknya bumi jutaan tabun. Benarkah pulau Jawa dulu belum ada dan dari mana datangnya?
Jenis-jenis bebatuan di daerah itu memiliki ciri khas, langka, unik dan menarik. Bukan saja untuk kepentingan pendidikan dan penelitian, melainkan juga untuk kepentingan wisata geologi. Tidak mengherankan apabila sejak 1964 di kawasan ini didirikan Kampus Lapangan Geologi, dan tahun 1987 di sempurnakan menjadi Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Alam Geologi Karang Sambung (UPT LAGK).
Sejak menjadi UPT, tugasnya makin kompleks dan mencakup kepentingan luas. Yakni penelitian dan pengembangan pencarian bahan mineral secara geologi, geofisika, geokimia, teknik pemboran dan sistem penggalian.
“Dari jenis bebatuan itu, kita bisa mengenali alam ini. Dan dari batu pula kita bisa menentukan sumber mineral, seperti minyak dan sejenisnya,” kata Ka UPT Ir Toto AF Sumantri MSc. Itu sebabnya, bebatuan memiliki nilai ilmiah tinggi bagi para geolog.
Jutaan tahun lalu, Karang Sambung merupakan daerah pertemuan antara batuan dasar samudra dan batuan benua. Karena terjadi pancaran panas dari inti bumi, lempengan batuan samudra bergerak perlahan ke arah benua. Suatu saat terjadi tumbukan di antara keduanya, sehingga mengubah dasar laut menjadi daratan atau sebaliknya.
Berdasarkan kajian bebatuan, pada akhir zaman Kapur-Paleosen Tengah (sekitar 120 juta tahun lalu). Karang Sambung semula merupakan dasar samudra. Karena tumbukan antara lempeng Samudra Hindia-Australia dan lempeng Benua Eurasia, jenis bebatuan bercampur-aduk antara batuan dasar samudra dan benua, dengan ikatan struktur yang sangat kompleks. Batuan jenis ini kemudian kita kenal dengan nama melange.
Gerakan-gerakan semacam itu hingga kini masih ada, tetapi kecepatannya jauh berkurang. Berdasarkan penelitian, Benua Australia kini bergerak menuju pulau Jawa dengan kecepatan rata-rata 7 cm/tahun. Suatu saat nanti, entah kapan, benua itu akan menyatu dengan pulau tersebut.
Di Indonesia diprakirakan ada dua daerah lagi yang memiliki ciri-ciri seperti Karang Sambung. Yakni Merantus (Kalsel) dan Bantimala (Sulsel). Namun desa di Kebumen ini tercatat sebagai lokasi terbaik di ASEAN, bahkan dunia.
Batu Mulia
Berbagai jenis bebatuan di desa ini memang punya nilai ilmiah tinggi, sehingga cocok untuk penelitian dan pendidikan. Tetapi bebatuan tersebut juga mempunyai nilai ekonomis, sehingga dapat dikembangkan secara komersial.
Variasi dari tiga jenis batuan (beku, sidemen dan metamorf), yang muncul 30-120 juta tahun lalu, mejadikan kawasan ini sangat unik-dan langka.-Sebut saja batuan beku ultrabasa (peridotit dan serpentitit), ofiolit (gabro dan basalt) dan jenis batuan beku lainnya, dapat ditemukan di kawasan ini, baik berbentuk bongkahan kecil maupun besar.
Di daerah ini kita juga bisa menemukan batuan dasar samudra jutaan tahun lalu. Misalnya batuan sedimen klastik, bioklastik maupun nonklastik, yang terbentuk pada dasar samudra laut dangkal sekitar 30-80 juta tahun lalu. Pokoknya semua jenis batuan berwarna-warni tumplek-bleg di Karang Sambung.
Kita bisa mengolah dan menjadikannya sebagai bahan kerajinan. Misalnya batu selcis hijau, sekis mika atau sekis biru. Jenis batu ini tidak jarang digunakan sebagai batu permata. Jika digosok mengkilat dan memancarkan warna-warna unik dan menganggumkan. Mengapa tidak? Sebab, umur batu sekis mencapai 120 juta tahun.
Penggemar akik atau batu permata sering datang ke Karang Sambung, memburu batu garnet. Warna batu yang berasal dari perut bumi, dan keluar bersama lava, ini merah tua.
Tapi jangan harap Anda bisa mendapatkannya dengan mudah. Kalau toh ada, kata geolog Jan Sopaheluwakan, hanya kecil sekali dan tempatnya sangat susah. “Paling hanya sebesar ujung jari manis dan biasanya di tengah-tengah batuan yang besar yang sangat keras,” katanya.
Meskipun susah, Anda boleh mencobanya sembari rekreasi. Kalau beruntung malah bisa menemukan batu merah delima, yang konon mempunyai khasiat luar biasa. “Merah delima merupakan batu jenis mineral. Bisa juga kita temukan di sini,” kata Chusni Ansori, peneliti di UPT LAGK. Menurutnya, tak ada larangan membawa pulang berbagai jenis batu, “kalau hanya sebesar kepalan tangan” Misalnya jenis sekis yang berwarna unik. Atau marmer merah, hitam atau hijau yang sudah berumur 70 juta tahun.
Objek Wisata
Sesungguhnya, potensi Karang Sambung tidak saja untuk kegiatan ilmiah, tetapi juga untuk pengembangan geowisata, yakni objek wisata ilmu kebumian. Kawasan ini dikelilingi bukit-bukit menjulang, sampai ketinggian 523 meter di atas permukaan laut.
Di antara rangkaian bukit itu, terdapat lembah-lembah sempit dan memanjang. Di sepanjang perjalanan yang naik-turun dan penuh tikungan, kita bisa menikmati panorama Kali Luk Ulo yang meliuk-liuk bagaikan ular.
Pada waktu pagi, panorama daerah ini sangat indah. Bukit-bukitnya yang berbentuk runcing “primatik irreguler”, laksana bongkah-bongkah raksasa yang terpotong-potong lembah sempit. Pada sisi pandang lain, terlihat rangkaian gunung melingkar reguler dan menyerupai tapal kuda membentuk cekungan pengaliran dengan tonjolan-tonjolan Bukit Bujil dan Jati Bungkus.
Keindahan panorama ini juga diwarnai berbagai jenis batu melange, yang merupakan bagian terbesar dari isi kawasan itu. Anda juga bias menemukan dinding-dinding batu terjal aneka warna dan lipatan bantuan yang membentuk sinklin (puncak).
Tetapi upaya pengembangan daerah itu menjadi geowisata tidaklah mudah. Butuh waktu sejalan dengan peningkatan kesadaran ilmiah masyarakat tentang perlunya perlindungan terhadap daerah tersebut.
Geowisata merupakan program baru. Bagaimana kiat menarik masyarakat umum agar mengunjungi Karang Sambung, tidak saja menikmati panoramanya, tetapi menimba ilmu yang tersimpan di berbagai jenis bebatuan ini.
Inilah tantangan Pemda Jateng. Bagaimana mewujudkan gagasan baik itu menjadi satu kenyataan. Karang Sambung selain menjadi laboratorium alam geologi juga sebagai objek geowisata. “Menggugah kesadaran dan mengubah persepsi masyarakat itu tidak mudah. Tapi kalau kita mau kerja keras, dan berkat bantuah semua pihak termasuk pers, semuanya bisa terwujud,” ‘ kata Toto. (Murdhy-48)
Sumber: Suara Merdeka, 29 Agustus 1994