Sampah plastik ukuran mikro jenis styforoam mendominasi temuan riset di Teluk Banten. Itu bisa menguatkan justifikasi ilmiah para pengambil keputusan untuk membatasi pemakaian sampah plastik sekali pakai.
Sampah plastik berukuran mikro jenis styforoam atau polystyrene mendominasi temuan penelitian terbaru di Teluk Banten. Temuan itu hampir serupa dengan publikasi riset sebelumnya yang menjumpai dominasi plastik jenis styrofoam pada sembilan sungai yang mengalir di Teluk Jakarta.
Hasil kajian ilmiah ini diharapkan menguatkan justifikasi ilmiah para pengambil keputusan untuk tak ragu membatasi penggunaan sampah plastik sekali pakai, khususnya styrofoam. Pengurangan sampah melalui regulasi pembatasan jadi kebutuhan mengingat sampah jenis ini tak memiliki nilai ekonomi di masyarakat yang sebagian di antaranya akan berakhir di sungai dan laut, alih-alih di tempat pemrosesan akhir (TPA).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada jurnal Science of the Total Environment, enam peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan seorang peneliti dari Chinese Academy of Sciences menulis hasil riset berjudul “The First Occurance, Spatial Distribution and Characteristics of Microplastic Particles In Sediments from Banten Bay, Indonesia”. Hasil riset itu pada Jumat (13/12/2019) selesai proofreading (koreksi) dan mendapat penomoran jurnal yang akan terbit pada 25 Februari 2020.
Hasil riset menunjukkan, 40 persen dari mikroplastik yang ditemukan berupa styrofoam disusul 14 persen jenis cellophane (plastik untuk bungkus makanan). “Yang paling banyak jenis styrofoam ini seperti hasil riset kami di Teluk Jakarta yang juga keluar publikasi ilmiahnya kemarin (11 Desember 2019),” kata Muhammad Reza Cordova, satu dari tujuh penulis yang juga peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Hanya berselang dua hari, nama Reza muncul dalam jurnal berbeda terkait riset sampah di laut.
Ia mengatakan hasil kajian ilmiah ini bisa jadi alasan kuat dan ilmiah bagi pemerintah daerah untuk berani mengambil kebijakan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai. Tidak hanya kantong plastik seperti dijalankan belasan kabupaten atau kota di Tana Air, ia mendorong agar daerah meniru Pemerintah Provinsi Bali yang melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai, sedotan plastik, dan styrofoam.
“Dari dua publikasi hasil riset kami, seharusnya DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat berani melangkah maju melarang penggunaan plastik sekali pakai,” katanya. Di Jawa Barat, baru Kota Bandung (meski penilaian KLHK Perda belum diimplementasikan sejak terbit 2012) dan Kota Bogor dan yang memiliki regulasi pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Di DKI Jakarta dan Banten, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota belum ada yang melangkah dalam kebijakan pengurangan serupa.
Di sisi lain, penelitian mereka pun membuktikan, semakin dekat ke daratan, jumlah mikroplastik kian tinggi. Itu berarti mikroplastik atau material plastik berukuran kurang dari 5 milimeter tersebut berasal dari sampah plastik di daratan. Hal ini menguatkan riset umum sebelumnya yang menyatakan 80 persen sampah di laut berasal dari daratan.
JURNAL SCIENCE OF THE TOTAL ENVIRONMENT–Hasil riset terbaru menunjukkan sejumlah kandungan mikroplastik di Teluk Banten. Ini dipublikasikan dalam jurnal Science of the Total Environment, berjudul “The First Occurance, Spatial Distribution and Characteristics of Microplastic Particles In Sediments from Banten Bay, Indonesia”. Grafis menunjukkan kian dekat daratan maka mikroplastik kian banyak.
Lebih kecil
Muhammad Reza Cordova mengatakan temuan mikroplastik di perairan Banten sejumlmah 101 – 431 partikel per kilogram berat kering. Sampel ini diambil pada 25 titik dengan jenis sedimen pasir dan lumpur.
Jumlah itu jauh lebih kecil dari referensi hasil riset di negara-negara maju. Ia mencontohkan di perairan Italia jumlah mikroplastik 672-2.175 partikel per kilogram berat kering, di China 560-4.0000 partikel, dan di Jepang 1.845-5.385 partikel. Di Singapura, hanya 12-63 partikel yang diduga Reza karena berada di Selat Malaka sehingga mencuci sampah, termasuk mikroplastik setempat.
Reza mengatakan jumlah mikroplastik di sedimen pesisir Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan negara lain antara lain disebabkan Indonesia “terlambat” mengenal dan mengintroduksi berbagai jenis plastik. Selain itu, tingkat konsumsi plastik di Indonesia masih kecil dan jauh tertinggal dibanding negara lain. Data dari Kementerian Perindustrian (2019), konsumsi plastik hilir Indonesia per kapita per tahun sekitar 22,5 kilogram, Thailand 42 kg, Malaysia 64 kg, Singapura 93 kg, dan di Eropa dan Amerika Serikat melebihi 100 kg.
Temuan partikel mikroplastik di perairan Indonesia yang relatif masih rendah ini menjadi harapan untuk menghilangkan dampak mikroplastik pada biota laut. Itu bisa dilakukan dengan meningkatkan pengelolaan sampah secara baik serta menjalankan perilaku pengurangan konsumsi plastik.
Pengurangan sampah
Menanggapi sejumlah riset ini, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar menyambut dengan baik. Ia pun sepakat agar pemerintah daerah bisa meningkatkan tingkatan pengurangan sampahnya dengan tak hanya melarang kantong plastik, tetapi juga styrofoam.
Selain menimbulkan sampah, penggunaan styrofoam untuk makanan – kata Reza Cordova – bisa memicu berbagai penyakit kanker. Apalagi bila styrofoam tersebut dibakar sembarangan sehingga menimbulkan senyawa dioksin dan furan yang membahayakan kesehatan.
Novrizal Tahar mengatakan Pemprov DKI Jakarta beserta kabupaten/kota di sekelilingnya bisa meniru Pemprov Bali yang melarang penggunaan plastik sekali pakai (single use plastic) seperti kantong plastik sekali pakai, sedotan plastik, dan styrofoam. Ia pun menambahkan cutlery (alat makan berupa sendok/garpu plastik sekali pakai) untuk dikurangi penggunaannya.
Langkah ini dinilai efektif dan membantu mengurangi beban pengelolaan sampah sehingga menurunkan risiko sampah tak terkelola yang mengalir ke sungai dan berakhir di laut. “Sudah saatnya Jakarta dan daerah penyangganya melangkah ke pengurangan sampah. Kita (pemerintah pusat) sudah punya visi single use bag, cutlery, styrofoam untuk phasing down (bertahap ditinggalkan),” ungkapnya.
Kepala LIPI Laksana Tri Handoko pun mendukung larangan pemakaian Styrofoam merupakan prioritas. “Hasil temuan teman-teman kami di LIPI, styrofoam itu paling banyak karena tidak laku. Kalau botol plastik harganya mahal jadi banyak yang mau ambil,” kata dia.
Ia mengatakan pengurangan sampah ini perlu diikuti persiapan infrastruktur pengolahan sampah misalnya penerapan teknologi insinerator mini pada klaster gedung dan kampung. Ia menekankan insinerator itu membutuhkan teknologi seperti plasma untuk mengurai dioksin, senyawa berbahaya yang timbul dari pembakaran tak sempurna plastik.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 14 Desember 2019