Mikroorganisme terus dimanfaatkan secara luas bagi kepentingan manusia dan alam. Para peneliti meyakini pemanfaatan mikroorganisme ini menjadi solusi bagi tantangan dunia mendatang terkait kerusakan dan pencemaran lingkungan serta adaptasi perubahan iklim.
Pemilihan mikroorganisme yang tepat hingga teknik penanganannya hingga kini masih diutak-atik para peneliti untuk memperoleh peran dan potensi maksimalnya. Di sisi lain, temuan-temuan ini perlu diperluas agar aplikatif dan menjawab tantangan di lapangan.
“Penelitian seperti ini (mikroorganisme) perlu waktu untuk dipakai secara luas,” kata Witjaksono, Kepala Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kamis (27/9/2018) di Bogor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO–Anggota Tim Ekspedisi Serayu mencari mikroorganisme bentos atau hewan yang hidup di hulu Sungai Serayu di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Selasa (28/7/2015). Sungai Serayu yang berhulu di Kabupaten Wonosobo, melintasi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, dan Cilacap.
Ditemui di sela-sela Simposium Internasional terkait Bioremediasi, Revegetasi, Biomaterial, dan Konservasi (ISBIOREV-2018) ini, Witjaksono menyebutkan produk pemanfaatan mikroorganisme yang telah dipakai luas masyarakat yaitu pupuk organik hayati. Pupuk itu jadi media mempercepat penyerapan akar tanaman karena membenahi susunan kimia tanah di lahan bekas tambang timah di Bangka, Bangka Belitung (Kompas, 22 Mei 2018).
Di sisi lain, bagi pemulihan lahan tercemar, sejak lama dikenal bioremediasi dan revegetasi. Bioremediasi dilakukan memanfaatkan mikroorganisme senyawa pencemar.
Sementara revegetasi, penanaman tanaman pada lahan tercemar, misalnya area bekas tambang. Area tambang yang biasanya memiliki keasaman tinggi dan komposisi tanah berantakan itu “dinetralkan” dengan mengerahkan mikroorganisme tertentu, lalu baru ditanami tumbuhan pionir atau perintis untuk menyerap logam berat.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Witjaksono, Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Foto diambil 27 September 2018.
Witjaksana mengakui, tantangan para peneliti adalah penanganan pada tanaman yang mengandung logam berat tersebut. “Bagaimana mengestrak logam berat serta mengumpulkannya masih menjadi kendala.
Perubahan iklim
Pemanfaatan mikroorganisme pun, lanjut Witjaksana, bisa membantu dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Contohnya, membuat tanaman menjadi lebih tahan terhadap salinitas.
Hal itu mengacu pada riset ahli revegetasi dan ektomikoriza dari Totori University Jepang, Norihiro Shimamura. Risetnya berhasil mengawinkan jamur ektomikoriza untuk mendapatkan kelebihan-kelebihan sifatnya.
Kemudian, interaksi jamur ini dengan tanaman pinus akan menyebabkan tanaman lebih tahan terhadap salinitas dan kondisi ekstrim seperti genangan air. Hasil risetnya pun mengindikasikan tingkat toleransi jamur akan salinitas ini berkaitan erat dengan tingkat toleransi tumbuhan pinus.
Peneliti dari Puslit Biologi LIPI Prof I Made Sudiana menunjukkan mitigasi atau pengurangan risikoperubahan iklim juga terjawab melalui pemanfaatan lahan miskin hara yang ditumbuhi alang-alang di Nusa Tenggara Timur. Mereka memanfaatkan mikroorganisme untuk meningkatkan kandungan hara agar dapat ditanami sorgum.
Riset bersama Jepang – Proyek SATREPS – sejak 2016 ini pun diharapkan juga menjawab kebutuhan energi. Dalam risetnya, limbah biomassa sorgum dimanfaatkan sebagai bimoaterial, misalnya sebagai bahan kayu lapis serta biopelet setelah ditingkatkan kandungan ligninnya.
PRESENTASI I MADE SUDIANA–Bagan Proyek SATREPS yang dipaparkan peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI Prof I Made Sudiana, Kamis (27/9/2018) di Bogor, Jawa Barat. Kerjasama penelitian ini ingin memanfaatkan lahan tak produktif berupa alang-alang di NTT untuk tanaman sorgum yang dimanfaatkan untuk pangan dan biomaterial.
Selain itu, sorgum bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan monosodium glutamat (MSG) dan asam sitrat. “Targetnya tahun 2021 sudah bisa tercapai semua,” kata dia.
Pemulihan lahan
Dalam riset lain, I Made Sudiana menunjukkan, mikroorganisme masih bisa muncul pada lahan bekas terbakar. Sedikitnya dalam jangka waktu enam tahun pada lahan bekas terbakar mulai ditemukan bakteri actinomycets.
”Setelah kebakaran itu, mikroorganisme akan recover (pulih) seperti semula, mulai banyak lagi setelah enam tahun. Actinomycetes ada dan bisa untuk pionir agar (lahan) cepat pulih,” katanya.
Tantangan lain berupa tumpahan minyak di laut lewat bioremediasi. Saat ini produk bioremediasi umumnya memakai produk luar negeri. ”Itu (produk luar negeri) long term (dampak jangka panjang) tak tahu karena itu makhluk asing (bagi media lingkungan). Makanya kini LIPI ambil dari kita sendiri,” katanya.
Koleksi bakteri
Ia menambahkan, LIPI memiliki ribuan koleksi bakteri yang memiliki banyak manfaat, di antaranya mendegradasi minyak. Satu di antaranya adalah bakteri dari genus Alcanivorax yang memiliki kemampuan mendegradasi alkana dengan rentang jumlah karbon tinggi dan minyak mentah emulsi tinggi dibandingkan dengan genus lain.
Meski menjanjikan, penerapan riset ini di lapangan tak mudah. Aplikasi teknologi bioremidiasi dan revegetasi membutuhkan kerja sama jaringan riset antara akademisi, pemerintah, dan industri.
”Kombinasi ilmu pengetahuan dan kemampuan teknis dari industri serta kebijakan manajerial yang strategis akan menghasilkan inovasi penyelamatan lingkungan efektif dan berkelanjutkan di semua lini,” katanya.
Berkaca dari pengalaman sukses pupuk organik hayati, LIPI memberi lisensi bagi perusahaan. Selain itu, LIPI juga ditantang langsung menjawab masalah di lapangan. ”Dulu kami kerja melulu di laboratorium. Kini kami harus aktif melihat soal apa di perusahaan, misalnya, lalu kami kerjakan di laboratorium,” kata I Made Sudiana.
Meski mikroorganisme memiliki banyak manfaat dan Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman makhluk renik tinggi, jenis-jenis itu belum terlindungi dengan baik. Pihak LIPI mengusulkan agar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya direvisi dengan memasukkan perlindungan dan pemanfaatan mikroorganisme.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 28 September 2018