Selain dikenal sebagai mega-biodiversitas flora dan fauna, Indonesia juga menyimpan kekayaan ragam jenis mikroorganisme yang sangat penting untuk industri makanan.
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Prof Endang Sutriswati Rahayu menjelaskan tentang peluang mikroorganisme lokal sebagai bahan baku probiotik dalam Pre-Kronfrensi Pangan ASEAN ke-16 di Denpasar, Bali, Selasa (15/10). Kompas/Ahmad Arif
Selain dikenal sebagai mega-biodiversitas flora dan fauna, Indonesia juga menyimpan kekayaan ragam jenis mikroorganisme yang sangat penting untuk industri makanan. Namun potensi besar ini belum dioptimalkan karena lemahnya kerja sama riset antara dunia akademisi dengan industri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Potensi besar kekayaan jasad renik atau mikroorganisme untuk industri makanan ini disampaikan Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Endang Sutriswati Rahayu, dalam diskusi, menjelang Konferensi Pangan ASEAN yang ke-16 di Denpasar, Bali, Selasa (15/10).
Menurut Endang, berbagai kajian menunjukkan pentingnya gut microbiota atau mikroorganisme yang hidup di pencernaan dalam mendukung kesehatan tubuh. Beberapa peran penting jasad renik yang jumlanya mencapai miliaran di tubuh kita ini adalah menstimulasi sistem imun, selain membantu proses metabolisme.
Beberapa studi juga menunjukkan, mikrobiota pencernaan juga terkait dengan beragam persoalan kesehatan, mulai dari obesitas hingga risiko diabetes. Kesehatan bisa terganggu jika keseimbangan jumlah dan keberagaman mikrobiota ini terganggu.
Endang mengatakan, konsumsi makanan yang terfermentasi, contohnya susu yang terfermentasi Lactobacillus atau biasa disebut yogurt, memberikan efek baik bagi mirkrobiota usus. Makanan yang mengandung mikroorganisme hidup yang tetap aktif saat dikonsumsi hingga mencapai usus ini disebut probiotik.
“Selama ini probiotik sudah banyak ditemui di pasaran di Indonesia, dalam berbagai produk. Namun, belum ada yang bersumber dari probiotik dari bahan baku mikroorganisme lokal. Padahal, kita adalah negara mega biodiversity dan kita juga punya banyak makanan fermentasi yang bisa menjadi sumber probiotik ini,” katanya.
Oleh karena itu, sejak tahun 1995, Endang telah berupaya mengisolasi mikroorganisme lokal. Selain penghasil probiotik, mikroorganisme ini juga sebagai penghasil bacteriocin atau pengawet alami.
Dari sayuran dan buah-buahan lokal, feses bayi sehat, dan beragam makanan terfermentasi di Indonesia, bisa diiosolasi sekitar 500 isolat. Kemudian diseleksi sebagai culture starter, pengawet dan probiotik.
Dari 21 jenis makanan tradisional di Indonesia, didominasi oleh Lactobacillus plantarum. Ternyata hal ini juga ditemukan di feses manusia dengan sampel di Yogya dan Bali. “Ini menunjukkan bakteri ini L. plantarum merupakan bakteri yang sangat dominan di Indonesia, sehingga diperkirakan ini cocok untuk bahan probiotik di Indonesia,” ungkapnya.
Sejak tahun 2000, Endang dan tim peneliti UGM, mulai mengembangkan L. plantarum sebagai bahan probiotik. Pada waktu yang sama, beberapa peneliti di luar negeri, seperti Malaysia dan Taiwan juga mengembangkan L. plantarum yang diambil dari makanan fermentasi mereka, namun memiliki strain yang berbeda di Indonesia.
Kerja sama
“Sejak lima tahun terakhir, kami mulai bekerja sama dengan sejumlah industri untuk menerapkan probiotik lokal ini dan menerapkannya untuk beberapa produk makanan dan minuman, misalnya yogurt, coklat dan keju,” kata Endang.
Menurut dia, saat ini sudah ada industri yang mulai tertarik menggunakan bakteri L. planterum. Namun, sebagian besar industri di Indonesia cenderung hanya mau menerima produk jadi yang siap dipasarkan atau memilih impor probirotik dari luar negeri.
“Saat ini pemerintah memberi peluang dana riset dan ini patut diapresiasi. Namun, untuk mengembangkan hasil riset sehingga bisa jadi produk untuk dipasarkan butuh studi lanjutan termasuk riset pasar. Saya berharap industri besar di Indonesia mulai mengalokasikan dana untuk riset, ini misalnya di Jepang sudah mengalokasikan sebagian keuntungan untuk dana riset,” kata dia.
Sementara itu, Prof Purwiyatno Hariyadi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, peneliti perlu memahami perubahan tren fokus industri makanan. Jika pada tahun 1970-1980-an, fokus industri adalah memproduksi pangan dan efisiensi. Di antaranya dengan melakukan otomatisasi.
Sejak tahun 1990-2000, industri pangan mulai fokus pada memberikan pelayanan dan sejak 2000-2010 selain produksi dan pelayanan, juga mulai memperhitungkan aspek peduli pada kesehatan, lingkungan , dan petani.
“Saat ini, industri mulai fokus pada nutigenomic atau produk spesifik untuk tiap orang Dengan kemajuan layanan daring saa ini satu keluarga bisa pesan makanan yang berbeda,” ujarnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 16 Oktober 2019