Pengobatan Jantung Bebani Ekonomi
Metode penanganan penyakit jantung terus berkembang. Salah satunya penggunaan stent bersalut obat yang larut dalam pembuluh darah. Dengan intervensi minimal invasif tersebut, pasien memiliki peluang kesembuhan lebih tinggi dan efek samping pun jauh berkurang.
Terkait hal itu, Kamis (17/3), pakar kardiologi intervensi asal Indonesia, Prof Dr Teguh Santoso SpPD KKV SpJP, Prof Dr Hanafi B Trisnohadi SpPD SpJP, dan Dr Linda Lison SpJP, mendapat kehormatan memperagakan kemampuan mereka secara langsung kepada para dokter ahli kardiologi dari sejumlah negara. Intervensi kardiologi itu disiarkan langsung dan disaksikan sekitar 6.000 peserta China Interventional Therapeutics (CIT), di Beijing, Tiongkok.
Para panelis ahli dari sejumlah negara itu berinteraksi dengan tim bedah di Indonesia. Tim bedah dari Rumah Sakit Medistra, Jakarta, itu menangani dua pasien penyakit jantung koroner kompleks dengan bioresorbable scaffold (BRS). Demonstrasi penanganan dua pasien jantung itu berlangsung sekitar dua jam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pasien pertama adalah perempuan berusia 52 tahun yang terkena penyakit jantung akibat hipertensi. Ia dianjurkan menjalani bedah jantung, tapi tak mau karena ada risiko terkena serangan jantung. Pasien kedua adalah pria berusia 53 tahun yang kena penyakit jantung akibat diabetes melitus, hipertensi, dan komplikasi penyakit lain serta sebelumnya ditolak bedah oleh dokter RS di luar negeri.
Teguh Santoso menjelaskan, BRS merupakan teknologi baru penanganan jantung jenis stent. Selama ini stent digunakan untuk menahan dan menghilangkan penyempitan pembuluh darah demi memperlancar pasokan darah ke jantung. Metode BRS diterapkan di Indonesia sejak beberapa tahun lalu.
“Saya tak punya data pastinya, tapi saya pernah berjumpa dengan perusahaan pembuat BRS di Amerika Serikat. Mereka bilang, dari total penjualan, 85 persennya di Indonesia, jumlahnya mendekati ribuan,” ujarnya.
Larut dalam tubuh
Perbedaan BRS dengan stent lainnya adalah kemampuan BRS untuk larut dalam tubuh. Berbeda dengan stent berbahan metal, BRS memakai bahan PLLA (poly leuctic acid) yang lambat laun bisa larut dalam tubuh. “Saat memasang BRS pada pembuluh darah disertakan obat. Bahan PLLA ini bisa larut dalam tubuh seiring berjalannya waktu dan tak beracun,” kata Teguh.
Setelah dipasang di tubuh pasien, BRS larut dalam 3-6 bulan dan hilang sepenuhnya di tubuh dalam 2-5 tahun, bergantung pada kondisi pasien. Selain itu, BRS yang saat ditempel juga bersalut obat itu membuat pembuluh darah kembali mengembang seperti sebelum ada gangguan. “Ini lebih aman dari stent karena metal bisa bergerak, patah, dan mengganggu operasi bypass,” ucapnya.
Namun, Teguh menilai BRS belum sepenuhnya sempurna. “Obatnya ditempel di dinding metal agar meresap di dinding pembuluh darah, tapi polymer-nya kerap tak bisa larut. Dalam jangka panjang, itu bisa bermasalah, menimbulkan reaksi hipersensitifitas, serta peradangan pembuluh darah,” ujarnya.
Saat ini harga BRS sekitar Rp 25 juta per unit atau setara dengan dua stent. Namun, menurut Teguh, sedikit perusahaan asuransi di Indonesia yang mau menanggung biaya pemasangan BRS. “Pasien yang dipasangi BRS tetap harus menjaga pola makan, bergaya hidup sehat, dan tak merokok,” katanya.
Teknologi penanganan jantung di Indonesia diyakini terus berkembang. “Banyak metode baru penanganan jantung, misalnya katup bocor harus dioperasi, lalu ada teknologi tanpa operasi. Ke depan, kian banyak teknologi dan bisa diterapkan untuk menyembuhkan pasien di Indonesia,” ucap Teguh.
Menurut Direktur Rumah Sakit Medistra Susi Bolang, pihaknya berusaha mengikuti perkembangan teknologi dan metode pengobatan terbaru. “Tujuannya agar pasien selalu memiliki alternatif. Selalu ada jalan,” katanya seusai demonstrasi penanganan dua pasien penyakit jantung koroner kompleks di RS Medistra, Jakarta, kemarin.
Penyakit jantung terjadi karena pasokan aliran darah ke jantung terganggu akibat penyempitan pembuluh darah. Penyempitan itu disebabkan, antara lain, kerak di pembuluh darah, penimbunan lemak, atau kelainan pembuluh sempit. Itu dipicu rokok, pola makan tak sehat, kurang berolahraga, dan bawaan.
Menurut penghitungan Forum Ekonomi Dunia, 5 jenis penyakit tak menular di Indonesia, yakni penyakit kardiovaskular, seperti jantung dan stroke, kanker, paru, diabetes, serta gangguan kesehatan jiwa, pada 2012-2030 menimbulkan kerugian 4,47 triliun dollar AS atau Rp 58.000 triliun (Kompas, 20 Mei 2015). (C11)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2016, di halaman 13 dengan judul “Metode Terapi Kian Maju”.