Meteor adalah partikel antariksa yang terbakar di atmosfer Bumi sehingga menghasilkan cahaya terang pada malam hari. Partikel tersebut umumnya berasal dari semburan komet saat bergerak mendekati Matahari. Meteor yang berukuran besar dan tidak habis terbakar, ketika sampai di Bumi disebut meteorit.
Namun, jangan salah. Meski harus dipastikan dari arah radian mana meluncurnya, kemungkinan besar meteorit ini tidak berasal dari Lyrid. ”Hujan meteor berasal dari semburan partikel yang tersebar sepanjang lintasan orbit komet. Partikel ini umumnya berukuran kecil sehingga habis terbakar di atmosfer,” kata Hendro Setyanto, alumnus Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung, yang sekarang mengembangkan observatorium keliling.
Kesetiaan Bumi mengitari Matahari sebagai induknya memang membuat Bumi tidak terbebas dari ancaman tabrakan dengan benda-benda langit, seperti asteroid, komet, dan meteor. Dengan kemajuan teknologi sekarang, ancaman bertambah lagi dari sampah antariksa. Ini berupa satelit bekas yang menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) jumlahnya lebih dari 15.000 benda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tergantung ukuran
Ancaman ini menjadi berat bila benda yang menabrak Bumi berukuran amat besar sehingga masih bersisa banyak ketika melewati atmosfer. Meteorit yang jatuh di Duren Sawit tinggal sebesar buah kelapa ketika menimpa rumah. Akan tetapi, banyak tabrakan lain yang dampaknya luar biasa.
Kejadian di Tunguska, 30 Juni 1908, adalah salah satu contohnya. Ledakan dahsyat di dekat Sungai Podkamennaya Tunguska, Rusia, telah memorakporandakan alam liar Siberia seluas 2.072 kilometer persegi. Ledakan itu terasa di sebagian besar kawasan Asia dan tercatat pada seismograf di Inggris. Penduduk melaporkan ada api menyala di langit dan jutaan pohon roboh di sekelilingnya.
Meski ekspedisi peneliti baru berlangsung tahun 1927, para ilmuwan hingga kini percaya ledakan terjadi pada ribuan kilometer di atas kawasan Siberia saat meteor besar memasuki atmosfer. Energi yang dilepas setara dengan 185 bom atom yang dijatuhkan Amerika di Hiroshima, Jepang. Dampaknya adalah pohon-pohon tegak dengan cabang-cabangnya dan kulit pohon yang terkelupas. Ciri kejutan gelombang panas ini baru terlihat lagi tahun 1945 di Hiroshima.
Peristiwa lain yang tidak kalah fenomenal adalah tabrakan Bumi dengan komet, 65 juta tahun silam. Berbagai simulasi ilmiah menunjukkan tabrakan membuat Bumi gelap selama beberapa bulan, mematikan sumber pangan para makhluk purba, dan melenyapkan dinosaurus dari muka Bumi.
Di Indonesia, peristiwa jatuhnya meteorit sebenarnya bukan barang baru. Catatan Lapan menunjukkan, sepanjang tujuh tahun terakhir ada beberapa kejadian meteorit, seperti di pinggir hutan Pontianak, Kalimantan Barat (2003); di lahan terbuka di Tegal, Jawa Tengah; dan di persawahan di Gianyar, Bali (2008). Sebelum kejadian Duren Sawit, yang terakhir adalah meteorit berdiameter 10 meter yang jatuh di perairan dekat Teluk Bone, Sulawesi Selatan (2009).
Sayang, sebagian meteorit yang seharusnya bisa menjadi obyek penelitian ini kurang terurus. ”Yang jatuh di Bima hilang. Yang jatuh di Temanggung, Jawa Tengah, dijarah orang tinggal sepertiga,” kata Hendro.
Meteorit, sebagaimana halnya fenomena langit lainnya, memang diinterpretasikan macam-macam. Di kalangan penggemar keris meteorit adalah salah satu bahan baku yang menentukan pamor berupa pola dan aura keris. Dengan teknik penempaan keris yang berbeda-beda, dihasilkan keris berpamor beras wutah yang dipercaya meningkatkan rezeki pemiliknya atau pamor ngulit semangka yang bermakna kesuburan.
”Yang paling banyak dicari adalah keris yang berpamor junjung drajat karena mempermudah naik pangkat dan pamor ujung gunung bagi yang ingin tercapai cita-citanya,” tutur Harianto, penggemar keris.
Hutan di Tunguska yang sudah lebat kembali sekarang banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku obat herbal dengan berbagai khasiat. Ada yang disebut meningkatkan stamina, sistem kekebalan tubuh, mengurangi stres, sampai menjaga keseimbangan jiwa.
Fenomena hujan meteor juga dipercaya membawa keberuntungan bagi yang melihatnya. Tak heran bila di Barat orang segera mengucapkan keinginannya begitu melihat meteor. Orang Jawa bahkan menganggap seseorang ”ketiban ndaru” bila mendapat rezeki tak terduga. Ndaru dalam bahasa Jawa berarti meteor.
Cintai semesta
Tanpa mengurangi rasa keprihatinan pada keluarga yang rumahnya tertimpa meteorit, harapan tentu tetap besar agar masyarakat tidak berubah kecintaannya mengamati berbagai peristiwa di langit. Apalagi peristiwa hujan meteor selalu menjadi atraksi tahunan karena saat be-revolusi mengitari Matahari, Bumi secara periodik juga melewati daerah reruntuhan komet.
Bulan Mei ini saja ada enam aktivitas hujan meteor mayor dan minor, mulai dari Eta Aquarids, Epsilon Aquilids, sampai Northern May Ophiouchids. Memang tak semua dapat diamati awam karena pada aktivitas minor biasanya tak banyak meteor yang muncul.
Meski demikian, masih banyak yang bisa dinikmati. Tahun 2010 paling tidak ada 11 hujan meteor utama. Sebutlah Geminid, Perseid, dan Leonid. Nama-nama tersebut menunjukkan arah kemunculan hujan meteor yang disebut radian. Bila arah radian berasal dari rasi Leo, akan disebut Leonid, demikian juga Geminid dari rasi Gemini dan Perseid dari rasi Perseus.
Kalau biasanya Leonid paling menarik karena banyak hujan meteor setiap jamnya—pernah mencapai 150.000 per jam tahun 1966—tahun ini kilatan cahaya dini hari akan didominasi Perseid karena puncak Leonid sudah lewat. Diperkirakan hujan meteor Perseid akan mencapai 60 meteor per jam tanggal 12-13 Agustus mendatang.
Dalam kondisi sekarang, mengamati fenomena alam menjadi penting karena bisa menumbuhkan kecintaan pada Bumi dan semesta. Bukankah selama ini Bumi tidak hanya terancam serbuan benda-benda langit, tetapi juga ulah manusia penghuninya?
Oleh karena itu, upaya Hendro lewat observatorium kelilingnya pantas dihargai. Dengan memahami posisi Bumi, moga-moga manusia bisa lebih menyayanginya. [AGNES ARISTIARINI]
Sumber: Kompas, Rabu, 12 Mei 2010 | 04:24 WIB