Masyarakat di sekitar Sungai Waeapo dan Teluk Kayeli di Pulau Buru, Maluku, yang tercemar merkuri perlu mendapat perhatian serius pemerintah. Konsumsi air dan binatang air dari wilayah itu harus dihentikan sampai kandungan merkuri di air dan biota perairan itu memenuhi ambang batas aman. Jika itu tak dilakukan, kesehatan warga jadi taruhan.
Merkuri jadi satu-satunya logam berbentuk cair. Merkuri anorganik dipakai untuk memisahkan emas dari tanah. Pembuangan limbah merkuri sembarangan membuat merkuri masuk ke sungai, teluk, dan lautan. Merkuri pun mengendap di sedimen dasar perairan.
Endapan merkuri itu bisa dimakan plankton, tingkat terbawah rantai makanan di perairan. Sejak masuk metabolisme makhluk hidup, merkuri anorganik berubah jadi metil merkuri yang merupakan merkuri organik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai logam berat, merkuri amat sulit diurai dalam tubuh makhluk hidup, termasuk manusia, sehingga tertinggal di tubuh selamanya. Karena itu, merkuri di plankton berpindah ke serangga air atau binatang air kecil lain yang makan plankton itu. Demikian juga saat hewan air kecil dimakan ikan lebih besar. Akibatnya, ikan besar di puncak rantai makanan mengandung merkuri lebih besar daripada hewan kecil perairan.
“Itu membuat sejumlah negara membatasi perdagangan dan konsumsi ikan hingga besaran ukuran tertentu,” kata ahli kimia pangan, yang juga Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, Nuri Andarwulan, Sabtu (14/11).
Paparan merkuri juga ditentukan habitat dan pola gerak binatang air. Dalam perjalanan dari sungai ke laut, merkuri menurun konsentrasinya akibat bertambahnya volume air dan luasan wilayah. Jadi, ikan di tingkat rantai makanan sama di sungai dekat tambang emas punya kadar merkuri lebih besar daripada di muara atau teluk.
Selain itu, binatang air dengan pola gerak terbatas, seperti udang, kerang, dan kepiting, punya kadar merkuri lebih tinggi daripada ikan dengan kemampuan jelajah tinggi. Binatang dengan gerak terbatas terpapar merkuri tinggi sepanjang hidup, sedangkan hewan berdaya jelajah tinggi bisa mengurangi paparan merkuri pada dirinya.
Riset Domu Simbolon dari Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan IPB dan rekan, dalam Kandungan Merkuri dan Sianida pada Ikan yang Tertangkap dari Teluk Kao, Halmahera Utara, di jurnal Ilmu Kelautan, September 2010, menyebut, kadar merkuri ikan di Teluk Kao yang tercemar penambangan emas tinggi. Merkuri lebih banyak terkonsentrasi di hati dibandingkan daging ikan.
Ikan di perairan tercemar merkuri biasanya punya tumor dan luka di lapisan kulit luar. Jika ikan yang terpapar bahan kimia beracun itu dikonsumsi manusia, itu memicu akumulasi merkuri pada tubuh dan menimbulkan berbagai penyakit.
Gangguan kesehatan
Merkuri masuk tubuh manusia lewat beragam cara. Selain dari air dan bahan pangan tercemar, merkuri masuk melalui saluran pernapasan atau kulit.
Sumber cemaran merkuri beragam, mulai dari penambangan emas, pembakaran batubara di pembangkit listrik tenaga uap, industri, hingga penambangan batu sinabar yang mengandung 70-80 persen merkuri. Merkuri ada di kerak Bumi yang dilepaskan ke permukaan lewat letusan gunung api. Selain itu, merkuri dipakai pada bahan tambalan gigi (amalgam), baterai, lampu neon, termometer, dan kosmetik pemutih kulit.
Konsultan Gastroenterologi- Hepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta Ari Fahrial Syam mengatakan, merkuri yang masuk lewat makanan atau minuman mengenai saluran cerna. Lalu, merkuri ke lever atau hati menuju jantung dan di pompa hingga beredar ke seluruh tubuh.
Hal itu membuat merkuri tertimbun di banyak organ tubuh, mulai dari kulit, rambut, otak, hingga ke janin lewat plasenta. Paparan merkuri di janin, khususnya di trimester pertama, mengganggu pembentukan janin, memicu kebutaan dan organ tubuh tak lengkap.
Penyebaran merkuri ke seluruh tubuh membuat deteksi merkuri di tubuh mudah dilakukan dengan memeriksa darah dan rambut. Itu bisa dilakukan di laboratorium tertentu.
Kasus terbesar akibat penggunaan merkuri terjadi di Minamata, Jepang, pada 1950-an. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, lebih dari 50.000 orang terpapar merkuri hingga kadar tertentu, lebih dari 2.000 orang terjangkit penyakit Minamata yang menimbulkan kerusakan otak, kelumpuhan, bicara tak jelas, dan linglung.
Ari menambahkan, tahap akhir pengolahan merkuri pada tubuh ada di ginjal. Masalahnya, kemampuan ginjal mengeluarkan merkuri terbatas. “Akibatnya, merkuri menumpuk di ginjal, daya tahan tubuh turun, memicu gagal ginjal, dan memicu kematian,” ujarnya.
Sementara merkuri yang masuk lewat pernapasan merusak paru-paru. Itu biasa dialami pekerja industri yang memakai pembakaran batubara atau merkuri pada proses industri.
Keterbatasan tubuh mengeluarkan logam berat itu lewat urine dan keringat tampak dari kecilnya ambang batas paparan merkuri di tubuh.
Panel Ilmiah untuk Kontaminasi pada Rantai Makanan (Panel CONTAM) Badan Keamanan Pangan Eropa (EFSA) dan Komite Ahli Bahan Aditif Makanan (JECFA) yang dibentuk Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan WHO menyebut, batas maksimum paparan merkuri anorganik per minggu (TWI) 4 mikrogram per kilogram berat badan per minggu.
Untuk paparan metil merkuri, terutama pada ikan laut, Panel CONTAM menetapkan 1,3 mikrogram per kg berat badan per minggu boleh masuk tubuh. Adapun JECFA menetapkan ambang metil merkuri 1,6 mikrogram per kg per minggu.
Pencegahan
Karena merkuri nyaris tak bisa diuraikan tubuh, menurut WHO, satu-satunya cara menghindari paparan merkuri adalah menghentikan penggunaan merkuri di penambangan emas, mengurangi penggunaan produk mengandung merkuri. Cara lain adalah memakai energi ramah lingkungan bagi pembangkit.
Selain itu, hindari daerah terpapar merkuri dan batasi konsumsi ikan terpapar merkuri. Pemasakan ikan tak menghilangkan merkuri karena titik didih merkuri 356,7 derajat celsius, tak ada makanan diproses hingga suhu setinggi itu.
Sejumlah negara mendorong pembatasan konsumsi ikan menurut ukuran karena ikan besar bisa mengandung merkuri tinggi. Udang kecil, salmon, dan tiram bisa dikonsumsi tanpa batasan dan ikan besar berusia panjang, seperti hiu dan tuna Albacore, bisa dikonsumsi terbatas.
Menurut Nuri, masyarakat tak perlu takut mengonsumsi ikan dari perairan Indonesia. Karena laut Indonesia amat luas, kadar merkuri dari daerah tercemar turun signifikan. Namun, kewaspadaan konsumsi bahan pangan dari cemaran merkuri harus dilakukan.—M ZAID WAHYUDI
————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Merkuri Sulit Diurai Tubuh”.