Puluhan orang berbondong-bondong naik ke balkon di lantai tiga Planetarium Jakarta, penasaran melihat benda langit dengan teropong. Mereka lantas disambut lapisan tebal awan dan kabut yang memecah cahaya kekuningan dari lampu-lampu kota. Jangankan bintang, planet Mars yang dijanjikan pun tidak tertangkap mata.
Seolah mendukung langit yang berselimut awan, rintik hujan perlahan turun. Kegiatan peneropongan dan pengamatan benda langit, Jumat (19/10/2018), pun dibatalkan. Kekecewaan terlihat dari raut pengunjung yang sebelumnya sudah sabar menunggu giliran untuk mengamati Bulan, Mars, dan Saturnus.
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS–Kondisi langit Jakarta, Jumat (19/10/2018), dari lantai tiga Gedung Planetarium Taman Ismail Marzuki, Cikini. Kondisi cuaca berawan dan polusi cahaya membuat kegiatan peneropongan benda langit di Planetarium usai lebih awal pukul 20.22.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bulan depan kita ke sini lagi, ya, lihat planet,” kata Rani (41) kepada dua putrinya, Chelsea (7) dan Jasmine (4). Ibu dua anak itu berusaha mengomunikasikan keadaan yang di luar prediksi mereka. Ia dan suami pun gagal membuat video perjalanan keluarga mereka.
“Saya ingin sekali memperkenalkan langsung benda-benda langit ke anak. Selama ini, mereka hanya lihat dari buku dan pertunjukan Planetarium,” tutur dia.
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS–Antusiasme pengunjung Planetarium Jakarta yang ingin menyaksikan peneropongan Bulan, Mars, dan Saturnus, Jumat (19/10/2018). Kegiatan dimulai pukul 18.30 hingga selesai. Hari itu adalah hari terakhir kegiatan peneropongan dan pengamatan benda langit di bulan Oktober.
Rani sendiri penasaran melihat benda langit lebih dekat di Planetarium, Jakarta. Ia rindu pengalaman melihat peneropongan benda langit di Observatorium Bosscha sewaktu kecil dulu.
Melihat langit cerah beserta benda langit lainnya dengan mata telanjang di Jakarta bukan hal mudah. Hal tersebut justru didapatkannya dengan mudah di negara tetangga seperti Singapura.
Nostalgia akan langit cerah bertabur bintang di Jakarta juga terlintas di benak Widya Sawitar (54), Staf Pertunjukan Planetarium. “Ketika pertama bekerja di sini tahun 1992, saya masih bisa melihat dengan mata telanjang kabut bercahaya, Galaksi Andromeda dan Nebula Orion,” kenangnya.
Sayangnya, polusi membuat langit Jakarta saat ini tak lagi indah. Tidak hanya polutan dari asap kendaraan, lampu-lampu gedung bertingkat juga mengganggu pengamatan benda langit. Kawasan sekitar Planetarium Jakarta di Taman Ismail Marzuki, pun telah dipadati gedung-gedung perkantoran bertingkat yang gemerlap.
ARSIP HARIAN KOMPAS–Jajak pendapat Litbang Kompas tentang polusi udara Jakarta
Memburuknya polusi karbon dan cahaya telah dirasakan Widya sepuluh tahun terakhir. “Kondisi yang makin ekstrim ini mempengaruhi kegiatan pengamatan benda langit di sini,” ujarnya. Polusi udara bisa membuat cahaya benda langit lebih gelap, redup, bahkan hilang.
ERIKA KURNIA UNTUK KOMPAS–Bagian depan Gedung Planetarium Jakarta.
Kondisi langit Jakarta yang memburuk secara tidak langsung mengurangi fungsi Planetarium Jakarta dalam melakukan penelitian astronomi sekunder. Objek wisata pendidikan yang pertama kali berdiri 1964 kini lebih memperbanyak kegiatan edukasi, salah satunya dengan rutin mengadakan kegiatan pengamatan benda langit.
Meski langit Jakarta tidak lagi bersahabat untuk kegiatan pengamatan astronomi, Widya yakin ada hikmah yang bisa dipelajari masyarakat dari kondisi sekarang. “Tugas kita kan membaca tanda alam. Ketika melihat langit seperti ini, harapannya masyarakat sadar bahwa kita hidup di kondisi yang tidak semestinya,” pungkas dia. (ERIKA KURNIA)–ADHI KUSUMAPUTRA
Sumber: Kompas, 20 Oktober 2018