“Pepohonan adalah puisi yang dituliskan Bumi pada Langit,
Kita menumbangkannya dan mengubahnya menjadi kertas,
Di atasnya kita mencatat kekosongan kita”.
“Sand and Foam”, Kahlil Gibran, 1926
Tahun ke-46 peringatan Hari Bumi merupakan langkah menentukan dan strategis menyongsong peringatan ke-50 tahun Hari Bumi, empat tahun mendatang. Temanya sederhana dan lugas: “Pohon untuk Bumi (Trees for the Earth)”. Aksinya pun (tampak) sederhana: menanam pohon. Dari data PBB, tahun 2015 populasi bumi mencapai sekitar 7,35 miliar, maka target Hari Bumi menanam 7,8 miliar pohon bisa dilakukan. Satu orang menanam satu pohon.
Alasan memilih tema tersebut jelas, yakni karena pohon membantu menahan laju perubahan iklim. Pohon mampu menyerap gas karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Dalam setahun, 0,4 hektar pohon dewasa mampu menyerap gas CO2 dari pembakaran mobil yang menempuh jarak 41.842 kilometer.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pohon telah memenuhi dua kebutuhan dasar, yaitu oksigen dan pangan. Pohon juga membantu ekonomi komunitas lokal dengan praktik yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan. Pohon adalah penghasil energi dan pangan yang menjadi sumber pendapatan.
Dari berbagai kajian beragam disiplin ilmu, manfaat dan peran penting pohon demikian luas dan banyak. Tema pada Hari Bumi pasti tidak dimaksudkan menunjuk pada satu individu pohon. Di dalamnya terdapat kesadaran berlapis bahwa setiap jenis pohon memiliki peran penting yang khas.
Selain penghasil oksigen dan pangan, pohon juga penghasil bahan obat-obatan dan bahan beragam perkakas. Pohon juga berfungsi menahan serangan badai, cuaca ekstrem, banjir, terjangan ombak yang alamiah, dan berdaya tahan tinggi.
Di kawasan urban, pohon akan meningkatkan kualitas hidup. Pohon menjadi peneduh, menyerap panas dari pantulan aspal dan beton kota. Sebagai taman, pohon membentuk area rekreasi komunitas. Kumpulan pohon mampu menghadirkan kondisi alamiah habitat hewan liar di kota. Daunnya menyerap dan menjadi filter radiasi panas matahari, menyejukkan kota. Pohon menyerap dan menyimpan air. Akarnya menahan erosi dan longsor, sementara daun yang gugur akan menyuburkan tanah.
Di kawasan pedesaan dan pedalaman, pohon memiliki fungsi lingkungan dan ekosistem yang demikian beragam. Daun, bunga, madu bunga, dan biji-bijian dari pohon menjadi makanan berbagai jenis hewan. Pohon juga merupakan rumah bagi berbagai jenis hewan (di hutan). Di sisi lain, penyebaran tumbuhnya pohon terbantu oleh hewan yang menyebarkan bijinya.
Di luar semua manfaat yang bisa kita ukur dengan berbagai ilmu, pohon pun memiliki nilai-nilai yang tak bisa diukur nilainya secara langsung (intangible). Bagi masyarakat adat atau komunitas lokal yang memiliki relasi dekat dengan alam, pohon memiliki makna spiritual. Pohon menjadi penanda momen-momen penting tahap kehidupan mereka, yaitu menjejaki masa akil balik, pernikahan, meninggal, masa panen, masa tanam, dan sebagainya. Proses ritual yang menyertai momen-momen tersebut sering kali melibatkan unsur pohon di dalamnya.
Dari berbagai kajian dengan beragam pendekatan ilmu, ternyata pohon bisa dikenali memiliki lebih dari 20 manfaat. Saat ini, kita telah semakin sulit mengenali berbagai manfaat tersebut karena sosok pohon demikian dekat dengan keseharian kita.
(Saat ini) kita masih bisa menyaksikan pohon di halaman rumah, di pinggir jalan, di halaman kantor, di kota, di desa, di pedalaman. Di mana-mana. Sedemikian dekatnya pohon hadir sehingga kita menganggapnya sebagai hal biasa. Manfaat dan peran penting pohon (hutan) seperti tertulis di atas menjadi sulit kita kenali.
Di sisi lain, ketika narasi besar pembangunan bermuara pada kata kesejahteraan, dalam praktiknya arti kata kesejahteraan justru direduksi secara banal. Makna yang tersisa hanyalah: pertumbuhan ekonomi, finansial, uang. Maka, manfaat dan peran penting pohon pun turut tereduksi.
Analog dengan hal itu, Vandana Shiva, pemikir serta pejuang lingkungan dan para petani serta hak-hak perempuan menuliskan, “Komersialisasi hutan dan alih guna lahan merupakan alat untuk mereguk keuntungan maksimal. Ekosistem hutan direduksi menjadi ‘tambang kayu’ dan komersialisasi spesies (yang hidup di hutan) (Making Peace with the Earth, 2012).”
Sementara itu, “ilmu pengetahuan akan hutan”, dengan bentuk komersialnya saat ini adalah sistem yang mereduksi pengetahuan yang mengabaikan relasi kompleks dalam komunitas hutan, serta antara tanaman yang hidup dan sumber daya lain seperti tanah dan air. Maka, bagi Indonesia, dalam konteks inilah seharusnya Hari Bumi diperingati.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 April 2016, di halaman 14 dengan judul “”Mereduksi” Pohon”.