Banjir di Jakarta dan sekitarnya di awal tahun ini menambah sederet catatan tak pernah absennya Ibu Kota dari ancaman banjir. Sejak Gubernur Hindia Belanda JP Coen (1621) hingga kini Gubernur Jakarta Anies Baswedan, Ibu Kota tak bisa melepaskan diri dari bawaan alaminya. Seiring pertumbuhan penduduk yang memberi tekanan bagi pusat pemerintahan, kemajuan teknologi dan peradaban seharusnya bisa beradaptasi dengan kondisi alami ini.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Alat berat digunakan untuk mengeruk dan mengangkat sampah yang tersangkut di pelampung penangkap sampah di Kanal Banjir Barat, Jakarta, Minggu (12/1/2020). Bermacam sampah hanyut terbawa arus air, seperti plastik, kayu, ranting, dan sampah rumah tangga. Sejumlah pemulung terlihat memilih sampah yang bernilai ekonomi untuk dikumpulkan.
Jakarta berada di lereng kaki sistem kipas aluvial daerah aliran Sungai Ciliwung. Ini menempatkan Jakarta sebagai lokasi berkumpulnya air yang sejatinya sumber kehidupan makhluk hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, keniscayaan ini seakan terabaikan oleh magnet daya tarik Ibu Kota sebagai tempat pusat ekonomi. Pertambahan penduduk yang sangat cepat ini menuntut kebutuhan akan ruang dan air bersih.
Kebutuhan air bersih diambil dari cadangan air tanah dalam yang berkorelasi dengan amblesan permukaan tanah yang mencapai 0,18-2,45 sentimeter per tahun. Amblesan ini menimbulkan cekungan dan jebakan air yang membuat air tergenang lama surut. Penggenangan di lokasi amblesan tanah ini juga diakibatkan tidak berfungsinya sistem drainase serta terbentuknya cekungan yang merupakan tampungan depresi (depression storage) air.
Sementara itu, dari sisi kebutuhan ruang dilakukan dengan memungkiri fungsi-fungsi ekologi lahan yang seharusnya dikonservasi. Situ dan rawa sebagai tempat parkir air yang bisa menjadi cadangan air bersih malah diuruk, dipadatkan, dan dikonversi menjadi hutan beton.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta dan kota sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) pernah memiliki sekitar 1.500 situ. Bukti keberadaan rumah-rumah air itu, termasuk lahan basah rawa, secara toponimi bisa tampak dari nama-nama daerah, seperti Rawamangun, Rawa Belong, Rawa Buaya, dan Rawa Sari. Saat ini, hanya tersisa 178 situ dengan kondisi yang dapat dikatakan mengkhawatirkan.
Pembangunan tak ramah lingkungan tersebut diperparah pula dengan kondisi hulu yang menjadi sumber air bagi Kota Jakarta. Wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) yang semula pepohonan berubah menjadi ladang atau kebun tanaman musiman serta vila ataupun permukiman.
Tak heran, lahan kritis ini menjadikan sungai-sungai yang mengalir dari hulu ke Jakarta terus-menerus membawa sejumlah besar sedimen hingga bermuara di laut. Sejumlah sedimen ini mengendap di kolom sungai sehingga mengurangi daya tampung air pada sungai tersebut.
Kondisi saat ini menunjukkan erosi total pada 13 sub-DAS yang berada di Jakarta mencapai 217.620 ton per hektar per tahun. Ini menyebabkan pendangkalan dan penurunan kapasitas tampung 13 sungai yang mengalir ke Jakarta.
Konservasi tanah dan air
Karena dampak alami dari kerusakan hulu inilah, sungai-sungai di Jakarta selalu membutuhkan pengerukan. Ini seiring upaya pemulihan daerah-daerah hulu secara alami melalui konservasi tanah dengan penanaman tumbuh-tumbuhan keras ataupun konservasi tanah melalui rekayasa pembangunan pencegah erosi, seperti dam pengendali, gully plug (pengendali jurang), dan dam penahan.
Selain infrastruktur besar yang dikerjakan pemerintah seperti itu, masyarakat pun bisa berperan dengan mendukung kegiatan konservasi tanah dan air tersebut. Di antaranya yang bisa diterapkan adalah sumur resapan untuk membantu air turun ke kedalaman bumi agar diserap oleh pori-pori tanah dan mendatangkan manfaat bagi peningkatan cadangan air tanah.
Keberadaan sumur resapan ini bisa meningkatkan kapasitas Jakarta dan sekitarnya dalam menampung air. Seperti peristiwa banjir di awal tahun 2020, berdasarkan data curah hujan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tanggal 31 Desember 2019 dan 1 Januari 2020, 8 DAS (termasuk 13 sungai di Jakarta) menyuplai air ke Jakarta sebesar 7.616,88 meter kubik per detik. Jumlah ini apabila dibandingkan dengan kemampuan 13 sungai dalam mengalirkan air, yaitu 3.050,62 meter kubik per detik, terdapat kelebihan air yang tak bisa tertampung sebesar 4.566,28 meter kubik per detik yang menggenangi Jakarta.
Penghitungan ini telah mempertimbangkan koefisien limpasan yang dikontrol oleh kondisi tutupan lahan. Koefisien limpasan wilayah Jakarta rata-rata sebesar 0,61 yang memiliki makna 61 persen air hujan menjadi limpasan dan hanya 39 persen meresap ke dalam tanah.
Menurut hitungan Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung KLHK, akibat hujan pada 31 Desember 2019 dan 1 Januari 2020, total air yang tak mampu ditampung di Jakarta dan sekitarnya mencapai 206.835.276,54 meter kubik. Berdasarkan volume tersebut, dibutuhkan sumur resapan untuk wilayah Depok saja sejumlah 186.078 unit atau sebanyak 4.041.296 unit pada delapan DAS terkait.
Seiring perubahan iklim yang memengaruhi cuaca di Jakarta, curah hujan di Jakarta pun saat awal tahun tersebut mencapai 377 milimeter per hari di stasiun pengamatan Halim. Angka ini lebih dari dua kali curah hujan 150 milimeter per hari yang bisa dikatakan sebagai curah hujan tinggi.
Tak heran dengan berbagai kondisi Jakarta tersebut, Ibu Kota sudah kewalahan dengan banjir meski Pintu Air Katulampa masih siaga II. Artinya, Jakarta tak lagi hanya dihadapkan dengan ancaman banjir kiriman seperti yang sering terjadi, tetapi juga dihadapkan dengan ancaman banjir dari hujan lokal.
Kolam retensi
Peneliti banjir dan sungai Universitas Gadjah Mada, Agus Maryono, mengatakan, permasalahan banjir serupa seperti yang dialami Jakarta oleh beberapa negara dapat diselesaikan dengan metode retarding basin (kolam genangan/kolam retensi) yang ramah lingkungan. Filosofi metode ini adalah mencegat air yang mengalir dari hulu dengan membuat kolam-kolam retensi sebelum masuk ke hilir. Kolam dibuat di bagian tengah dan hulu kanan-kiri alur sungai-sungai yang masuk kawasan yang akan diselamatkan.
Ia mencontohkan implementasi metode kolam retensi adalah penyelesaian banjir di wilayah hilir Sungai Rhine di Eropa. Untuk mengurangi banjir yang menerjang kota-kota di wilayah Jerman dan Belanda bagian hilir, dimulailah pembuatan kolam retensi di sepanjang Sungai Rhine di bagian tengah dan hulu, mulai dari kota Karslruhe di perbatasan Perancis dan Jerman sampai ke kota Basel di perbatasan Jerman, Swiss, dan Austria.
Kolam-kolam retensi ini dibangun untuk memotong debit puncak banjir Sungai Rhine yang akan menyusur menuju hilir masuk kota-kota penting, seperti Koeln, Dusseldorf, dan akhirnya Rotterdam. Volume air bah pada puncak banjir akan disimpan di kolam retensi selama banjir berlangsung dan akan dikeluarkan setelah banjir reda. Kolam retensi ini terbukti efektif menurunkan banjir yang terjadi di sepanjang Sungai Rhine di bagian hilir.
Agus Maryono menyebutkan fungsi kolam retensi selain untuk memangkas puncak banjir, juga sebagai penyimpan air untuk dilepaskan pada saat musim kemarau dan meningkatkan konservasi air dan tanah karena selama air tertahan peresapan air terjadi. Dengan adanya cadangan di kolam retensi, pada musim kemarau air dapat dipakai untuk penggelontoran saluran drainase dan sungai-sungai di daerah hilir.
Ia mengatakan, tempat genangan tersebut cukup dibuat dengan mengeruk dan melebarkan bantaran sungai, memanfaatkan sungai mati atau sungai purba yang ada, memanfaatkan cekungan-cekungan, situ, dan rawa-rawa yang masih ada di sepanjang sungai, dan dengan pengerukan areal di tepi sungai untuk dijadikan kolam kolam retensi. Dinding kolam genangan tersebut cukup diperkuat dengan aneka tanaman sehingga secara berkelanjutan akan meningkatkan kualitas ekologi dan konservasi air.
Untuk penanganan banjir di Jakarta, kolam retensi masih terdapat areal pinggir sungai di 13 sungai yang bisa dimanfaatkan untuk kolam genangan ini, terutama di Jakarta Selatan, Depok, dan Kabupaten Bogor. Pembuatan kolam retensi ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan pembuatan kanal banjir-kanal banjir. Karena, selain lokasinya di luar daerah pusat perekonomian, konstruksinya juga ramah lingkungan dan tidak diperlukan konstruksi-konstruksi tambahan lain, seperti jembatan pelintasan, tanggul, dan perlindungan tebing.
Dengan dibangunnya kolam-kolam retensi yang ramah lingkungan dengan jumlah cukup, diyakini banjir Jakarta dapat diredam. Air dari bagian tengah dan hulu dapat direm, sementara masuk kolam retensi dan akan keluar jika gelombang banjir mulai menyurut.
Meski demikian, langkah teknis seperti ini tak bisa berdiri sendiri. Upaya lain, seperti memanen air hujan, ekodrainase, sumur peresapan, areal resapan, penghijauan, penghutanan kembali, penghentian penebangan hutan, penghentian penyedotan air tanah, revitalisasi sungai rawa dan situ, harus dilakukan bersama-sama. Bukan tak mungkin banjir Jakarta akan bisa diatasi, apalagi apabila tekanan terhadapnya berkurang seiring perpindahan Ibu Kota.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 15 Januari 2020