Kiblat adalah penjuru utama bagi banyak peribadatan umat Islam, terutama shalat. Namun, penentuan kiblat di masyarakat kerap tak tepat sehingga perlu disempurnakan.
Matahari akan tepat berada di atas Kabah, Mekkah, Arab Saudi, pada 28 Mei 2018 pukul 12.18 waktu setempat atau 16.18 Waktu Indonesia Barat. Kondisi itu akan membuat semua bayangan benda di muka Bumi yang sedang mengalami hari terang akan menghadap Kabah.
Momentum bayangan menghadap Kabah itu bisa dimanfaatkan umat Islam untuk menyempurnakan arah kiblatnya. Karena itu, hari ketika Matahari di atas Kabah itu kerap disebut sebagai rashd al-qibla atau rashdul kiblat alias hari meluruskan arah kiblat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Ini adalah cara sederhana untuk meluruskan kiblat, tetapi tingkat akurasinya tinggi,” kata anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama yang juga Wakil Ketua Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama Hendro Setyanto, Jumat (25/5/2018).
Meski Matahari tepat di atas Kabah terjadi pada hari dan jam yang pasti, sejatinya posisi itu berlangsung dalam rentang waktu tertentu. Karena itu, momentum menentukan kiblat itu bisa dilakukan dalam masa tertentu sehingga memberi pilihan dan kemudahan menentukan kiblat. Jika pada satu hari tertentu mendung atau hujan, penentuan kiblat bisa dilakukan di hari lain.
Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama yang juga Direktur Lembaga Rukyatul Hilal Indonesia Mutoha Arkanuddin menambahkan, waktu meluruskan arah kiblat bisa dilakukan pada 27-29 Mei 2018 alias plus minus satu hari antara pukul 16.16-16.20 WIB atau sekitar 2 menit. ”Penentuan kiblat dalam rentang waktu itu tidak akan memberi perbedaan hasil signifikan,” katanya.
Namun, sebagian ahli falak atau astronomi memberi rentang hari lebih panjang, yaitu plus minus 2 hari menjadi antara 26-30 Mei 2018. Rentang jamnya pun lebih banyak, lebih kurang 5 menit menjadi antara 16.13-16.23 WIB. Di luar rentang hari dan jam itu, arah kiblat sudah akan bergeser jauh.
”Jika diamati dari Indonesia, beda 1 derajat saja membuat posisi kiblat bergeser 140 kilometer ke utara atau selatan dari arah Mekkah,” kata Mutoha.
Jika diamati dari Indonesia, beda 1 derajat saja membuat posisi kiblat bergeser 140 kilometer ke utara atau selatan dari arah Mekkah.
Gerak semu Matahari
Penentuan arah kiblat memakai posisi Matahari itu didasarkan pengetahuan gerak semu Matahari. Kemiringan sumbu rotasi Bumi sebesar 23,5 derajat membuat Matahari seolah bergerak bolak-balik ke utara dan selatan, yaitu antara 23,5 derajat Lintang Utara dan 23,5 derajat Lintang Selatan.
Gerak semu Matahari itu membuat Matahari akan tepat berada di atas Kabah atau Mekkah dua kali setahun, antara 27-28 Mei saat Matahari bergerak dari selatan ke utara, dan antara 15-16 Juli saat Matahari bergerak dari utara ke selatan.
Pemanfaatan posisi Matahari di atas Kabah itu sejatinya mirip dengan peristiwa hari tanpa bayangan di Indonesia, yaitu pada 20-22 Maret dan 22-23 September. Saat Matahari tepat di atas Kabah, tak ada bayangan di bawah Kabah. Namun, bayangan yang terbentuk di tempat lain bisa dimanfaatkan sebagai penunjuk arah kiblat.
Namun, tak pasti sejak kapan metode penentuan kiblat memakai posisi Matahari itu mulai dilakukan. Pemanfaatan metode itu diyakini dipraktikkan sejak berabad-abad lalu saat ilmuwan Muslim mengembangkan ilmu astronomi (falak) dan geografi secara maju serta saat umat Islam tersebar makin luas di luar jazirah Arab.
Metode itu dipraktikkan sejak lama hingga kini karena memiliki akurasi tinggi. Namun, cara itu hanya bisa dilakukan pada waktu-waktu tertentu.
Peranti modern
Seiring perkembangan zaman, pengukuran kiblat juga bisa dilakukan dengan berbagai peralatan. Namun, penggunaan peranti itu umumnya membutuhkan pengetahuan dan kemampuan khusus.
Salah satu peralatan yang umum digunakan untuk menentukan kiblat ialah kompas penunjuk arah. Namun, lanjut Hendro, penggunaan kompas berisiko karena amat terpengaruh medan magnet di sekitarnya. ”Jika digunakan di tempat dekat besi, di bangunan yang banyak unsur besinya, di bawah pengaruh radiasi atau tekanan listrik besar, arah jarum kompas akan melenceng,” tambahnya.
Penggunaan kompas juga menuntut adanya informasi arah kiblat masing-masing daerah. Di sisi lain, arah utara-selatan yang ditunjukkan jarum kompas juga bukan arah utara-selatan kutub Bumi sebenarnya, tetapi arah utara-selatan kutub magnet Bumi yang posisinya sedikit berbeda sehingga penggunaan kompas perlu sedikit koreksi.
Sementara perangkat dan metode lain yang digunakan mengukur kiblat antara lain teodolit atau alat pengukur sudut, memanfaatkan posisi arah teleskop. Ada juga sejumlah alat yang didesain untuk menunjukkan kiblat, misalnya mizwala qibla finder yang dikembangkan Hendro yang banyak digunakan di lingkup Kementerian Agama atau perguruan tinggi Islam.
Miswala itu merupakan pengembangan dari tongkat istiwa, alat penentu kiblat yang banyak digunakan di pesantren atau mudah ditemukan di masjid-masjid lama. Wujud tongkat istiwa itu ialah tongkat dikelilingi lingkaran simetris.
Namun, penggunaan berbagai peralatan penentu kiblat itu harus dilakukan profesional. Itu berbeda dengan pemanfaatan posisi Matahari dalam penentuan kiblat yang sederhana dan mudah dilakukan siapa saja.
Hindari perpecahan
Meski pemanfaatan posisi Matahari di atas Kabah ini mudah, Hendro dan Mutoha berharap masyarakat bisa bijak menggunakannya. Jika dari pengukuran ditemukan arah kiblat masjid atau mushala berbeda dengan hasil pengukuran, kondisi itu tak perlu memicu keresahan, apalagi konflik.
Dari pengalaman selama ini, pelurusan kiblat itu kerap menimbulkan hasil berbeda dengan arah kiblat banyak masjid dan mushala di Indonesia. Di masa lalu, kiblat dari arah Indonesia kerap hanya didefinisikan sebagai arah barat semata. Padahal, posisi kiblat di tiap daerah berbeda-beda bergantung posisinya terhadap Kabah.
Jika masyarakat menemukan perbedaan, hal itu harus diperbincangkan dengan pengurus masjid atau mushala. Jika mereka sepakat menyempurnakan arah kiblat, tidak perlu membongkar masjid atau mushalanya, cukup dengan memperbaiki shaf shalat. ”Ini kesempatan baik meluruskan kiblat di rumah karena aktivitas peribadatan banyak dilakukan di rumah,” kata Hendro.
Sementara jika masyarakat sepakat tak mengubah kiblat karena menganggap itu adalah warisan dari leluhur, kedamaian dan ketenteraman masyarakat harus diutamakan. Pengetahuan manusia tentang kiblat memang berkembang seiring waktu. ”Jangan sampai pelurusan kiblat ini justru menimbulkan perpecahan umat,” ungkapnya. –M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 26 Mei 2018