CATATAN IPTEK
Jangan hilang rasa percaya pada kemanusiaan, karena kemanusiaan adalah samudra. Samudra yang tetap bersih, sekalipun tetesan kekotoran mengalir masuk ke dalamnya. (Mahatma Gandhi)
Kemanusiaan masih pemaaf, tempat melarutnya segala emosi sepanjang zaman. Namun, lautan ternyata ada batasnya. Ketika manusia semakin tak terkendali membuang sampahnya, mulailah lautan menderita.
Studi Program Lingkungan PBB (UNEP) tahun 2015 menunjukkan, dunia memproduksi 280 juta ton plastik setiap tahun. Dari jumlah itu, sedikit sekali yang telah didaur ulang. Akibatnya, limbah plastik tersebar di mana-mana: darat, sungai, laut, memicu kerugian hingga 13 miliar dollar AS setiap tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sampah plastik sangat mengganggu ekosistem laut. Menurut catatan Clean Water Action, sekurangnya 267 spesies terkena dampaknya. Termasuk di antaranya 86 persen spesies penyu laut, 44 persen spesies burung laut, dan 43 persen spesies mamalia laut. Gara-gara sampah plastik, para penghuni laut ini bisa mati karena tercekik, kelaparan, infeksi, bahkan tenggelam.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Sampah yang didominasi botol minum plastik mengambang di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jakarta, Selasa (12/6/2018). Keberadaan sampah selain mencemari lingkungan juga mengangggu pemandangan dan memunculkan bau tidak sedap.
Ironisnya, sampah plastik kembali ke manusia sebagai bagian dari rantai makanan. Para ahli biologi kelautan menemukan kepingan plastik dalam ikan konsumsi, sejak 2008. Hal ini dikonfirmasi ekspedisi Pacific Gyre, bahwa 35 persen ikan konsumsi yang ditangkapnya mengandung plastik.
Yang lebih memprihatinkan lagi, Indonesia adalah negara pembuang sampah plastik nomor dua dunia setelah China. Penelitian Jenna R Jambeck dan kawan-kawan dari Universitas Georgia yang dimuat di jurnal Science (2015) mengungkapkan, Indonesia hampir tidak mengolah limbah plastiknya sama sekali. Dari 3,8 juta ton sampah plastik yang dihasilkan, 3,2 juta ton berakhir di laut setiap tahun.
Sudah banyak upaya dunia untuk mengurangi limbah plastik ini. Ada Ocean Conservancy yang sudah lebih dari 30 tahun berperan serta membersihkan pesisir dari sampah plastik. Juga The Ocean Clean Up, Project Aware, dan Blue Ventures. Dunia memang harus bergerak bersama-sama untuk menyelamatkan lautan. Apalagi kenyataan menunjukkan, ancaman terhadap lautan dan sumber daya di dalamnya tak hanya dari sampah.
Dalam Our Ocean Conference (OCC, Konferensi Kelautan) pertama di Washington, 2014, pokok bahasan mencakup sistem perikanan yang berkelanjutan, polusi, dan peningkatan kadar asam air laut. Oleh karena itu, konferensi yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan itu—pemerintah, ilmuwan, praktisi, perseorangan, dan lembaga swadaya—membuat pelbagai rencana aksi, kerja sama, dan inisiatif yang nilainya setara dengan 800 juta dollar AS. Komitmen kawasan laut yang ditangani mencapai lebih dari 4 juta kilometer persegi, lebih besar dari Eropa.
Sejak itulah Konferensi Kelautan berlangsung setiap tahun. Tahun ini Konferensi Kelautan diselenggarakan di Bali, 29-30 Oktober. Dihadiri 1.900 peserta dari 37 negara, delapan di antaranya kepala pemerintahan dan negara, Indonesia mengajak dunia bekerja sama menyelamatkan lingkungan kelautan.
Masalah laut berkembang tidak hanya mengupayakan keberlanjutan sistem perikanan, polusi, sampah, dan kadar keasaman air laut, tetapi meluas ke dampak rumah kaca dan keamanan maritim. Indonesia bahkan membuat 23 komitmen dengan nilai investasi sekitar 500 juta dollar AS.
Indonesia juga akan berinvestasi 3 juta dollar AS sepanjang tiga tahun ke depan untuk mendukung ekonomi biru global. Menurut Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi Hardijanto, investasi terutama untuk mengembangkan proses industri perikanan tanpa sampah (Kompas, 31/10).
Bagaimana dengan pengurangan sampah plastik? Pemerintah tampaknya harus segera membuat kebijakan menyeluruh.–AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 7 November 2018