Adriano Mazzini, ahli geologi dari Oslo University, akhirnya angkat bicara pada sesi terakhir Humanitus Symposium on Indonesia’s Mud Volcano, yang berlangsung di Surabaya. “Saya tidak mau berpendapat karena Richard Davies sudah tidak ada di sini,” katanya. Davies, ahli ilmu kebumian dari Durham University, memang meninggalkan tempat itu lebih dulu untuk mengejar pesawat.
Pada sesi terakhir simposium yang berlangsung Kamis petang lalu di Hotel Mercure, 14 pembicara dari dalam dan luar negeri tampil bersama di panggung. Sekitar satu jam, peserta dan wartawan diberi kesempatan bertanya kepada pembicara yang sejak pagi masing-masing mempresentasikan risetnya.
Sebelum sesi berakhir, Davies dan Mark Tingay dari Adelaide University pamit lebih dulu karena ada acara lain di negaranya. Saat itu baru muncul pertanyaan dari seorang wartawan tentang asal penyebab semburan lumpur panas di Desa Renokenongo, Sidoarjo, pada 29 Mei 2006 dan sampai sekarang belum berhenti. “Apakah karena kesalahan pengeboran oleh PT Lapindo Brantas atau karena gempa bumi di Yogyakarta?”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Faktor penyebab semburan lumpur panas itu memang memicu kontroversi berkepanjangan hingga saat ini. Sejumlah ilmuwan kebumian dan perminyakan terbelah dua pendapatnya. Tidak terkecuali di lingkungan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Prof R. P. Koesoemadinata, mantan ketua organisasi ini, pernah membuat surat protes terbuka terhadap penyelenggaraan Lokakarya Lumpur Sidoarjo oleh BPPT pada 2007. Koesoemadinata menilai pembicara lokakarya tersebut lebih didominasi ahli-ahli yang pro-gempa Yogyakarta.
Dalam forum internasional, Richard Davies dan Mark Tingay, dalam tulisannya di jurnal ilmiah, termasuk yang berpendapat faktor pengeboran sebagai penyebab munculnya semburan lumpur panas yang telah menenggelamkan lima desa di Sidoarjo. Sementara Adriano Mazzini–dalam jurnal ilmiah–berpendapat sebaliknya, yakni gempa Yogyakarta mengaktifkan patahan Watukosek yang melintasi Sidoarjo dan meletuskan mud volcano.
Untuk memperingati lima tahun semburan, Humanitus Foundation–lembaga swadaya masyarakat non-politik dan non-agama yang berpusat di Australia–dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyelenggarakan simposium internasional pada 25-26 Mei 2011. Pada hari pertama, 10 pembicara dari luar negeri dan empat pembicara dari dalam negeri serta para peserta meninjau lokasi kawah semburan dan muara Kali Porong.
Di sekitar kawah, panitia memasang bendera negara-negara yang pernah melakukan penelitian di kawasan lumpur Sidoarjo, antara lain Inggris, Australia, Amerika, Rusia, Jepang, dan Norwegia. Pembicara dan panitia melakukan foto bersama di lokasi semburan dan arena simposium itu.
Akan tetapi, simposium ini tak lepas dari kecaman. Andang Bachtiar, mantan Ketua IAGI dan kini menjadi Ketua Dewan Penasihat IAGI, membuat surat protes terbuka. Dia menuduh panitia tidak berimbang dalam memilih pembicara. Selain itu, mereka lebih menonjolkan ilmuwan asing. “Jadi marilah kita sama-sama ke Porong, Sidoarjo, pada 25-26 Mei ini untuk menyerahkan harga diri keilmuan kita ke para ahli asing dan menyediakan diri dimanfaatkan pihak tertentu untuk bersih-bersih,” katanya.
Direktur Eksekutif Humanitus Foundation Jeffrey Richards menolak tuduhan bahwa pihaknya sengaja mengundang pakar yang pro kepada Lapindo Brantas. “Lupakanlah soal pemicu, jauh lebih penting saat ini menangani para korban,” katanya. Bantahan serupa disampaikan oleh Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetya.
Menurut Hardi, pembicara yang diundang adalah ilmuwan yang pernah melakukan penelitian dan hasilnya diterbitkan dalam jurnal ilmiah. “Ada dalam Lusi Library kami,” kata guru besar ilmu geologi itu. Kami, kata Hardi, tidak bisa menyetir pendapat para ilmuwan mancanegara yang telah memiliki reputasi.
Panitia simposium terkesan menghindari diskusi soal penyebab semburan. Namun ada saja wartawan yang menanyakan hal itu kepada para ilmuwan. Richard Davies, yang masih tetap berpendapat bahwa pengeboran oleh Lapindo Brantas sebagai pemicu semburan lumpur panas, juga tidak mau berpolemik lebih jauh soal ini. Dalam paparannya dan kepada wartawan, dia lebih berfokus berbicara tentang berapa lama lumpur itu akan keluar.
Sayang, Davies dan Tingay harus kembali ke negaranya, sehingga tidak mengikuti secara penuh sesi terakhir. Jawaban atas pertanyaan wartawan soal penyebab semburan lumpur panas di Sidoarjo akhirnya menggantung. Adriano Mazzini tak ingin menjawab karena Davies dan Tingay tidak berada dalam ruangan. Dia ingin menunjukkan sikap adil.
Memang, tidak seperti sikap sekelompok ilmuwan di Tanah Air, para ahli mancanegara yang berbeda pendapat tersebut rukun-rukun saja selama tiga hari di Sidoarjo. Davies, Tingay, Mazzini, dan ahli lainnya makan dalam satu meja. Mereka pun berada dalam satu mobil saat menuju lokasi lumpur Lapindo dan asyik berdiskusi satu sama lain.
Jeffrey Richards menjelaskan, pihaknya hanya mengganti tiket dan memfasilitasi akomodasi para pembicara. “Mereka mau datang ke sini tanpa dibayar karena (punya) keinginan besar untuk meneliti semburan lumpur ini,” katanya.
Memang, obyek kajian ahli ilmu kebumian kebanyakan produk yang terjadi sejak ribuan hingga miliaran tahun lalu. “Dari lumpur Sidoarjo ini kita mengamati kelahiran dan evolusi serta dinamika obyek ini,” kata Loyc Vanderkluysen, dari Arizona State University.
Hardi Prasetya dan Sofyan Hadi dari BPLS menawarkan kantor lembaganya menjadi tempat penelitian para ahli. Sedangkan Jeffrey Richards berencana membentuk jaringan ilmuwan tentang lumpur Sidoarjo.
Agar tidak menimbulkan kontroversi, seyogianya mereka melibatkan lembaga lain di Tanah Air, seperti LIPI, IAGI, Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, serta perguruan tinggi dan lembaga penelitian lain. Selain demi kemaslahatan ilmu pengetahuan, riset tersebut harus bermanfaat untuk membantu warga yang menjadi korban lumpur panas di Sidoarjo. | UNTUNG WIDYANTO
Dana dari Perusahaan Rusia
“Dua hari dua malam saya tidak bisa tidur setelah menyaksikan film dokumenter Mud Max,” kata Jeffrey Richards, Direktur Eksekutif Humanitus Foundation, lembaga swadaya masyarakat yang berpusat di Melbourne, Australia. Film yang diproduksi Immodicus dan bekerja sama dengan Arizona State University itu memberi dia inspirasi guna membantu meringankan penderitaan korban lumpur Sidoarjo.
Mei tahun lalu, dia menandatangani perjanjian kerja dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Salah satu implementasinya adalah terbentuknya Humanitus Sidoarjo Fund (HSF), yang berfungsi sebagai wadah untuk meluncurkan penyelidikan ilmiah dari semburan lumpur. Lembaga inilah yang pada 25-26 Mei 2011 menyelenggarakan simposium internasional di Surabaya guna memperingati lima tahun lahirnya lumpur panas yang hingga kini belum berhenti.
Ada 10 ilmuwan dari berbagai negara dan empat ahli dari Indonesia yang menjadi pembicara. Selain itu, puluhan peserta dari berbagai lembaga dan sejumlah wartawan dari Jakarta diundang. Jeffrey mengaku hanya membiayai tiket dan akomodasi di Hotel Mercure, Surabaya. Untuk menyelenggarakan simposium itu dan mengkomunikasikan lembaganya, dia menyewa perusahaan hubungan masyarakat luar negeri yang memiliki cabang di Indonesia.
Jeffrey membantah anggapan bahwa pihaknya mendapat dana dari Bakrie Group atau perusahaan minyak Santos. “Dari pribadi dia dan lembaga independen,” kata Glenda Chin, Asisten Eksekutif Humanitus. Menurut dia, kantor lembaga ini berada di garasi rumah Jeffrey di Melbourne. Jeffrey, ujarnya, sebelumnya menjadi seorang eksekutif di perusahaan swasta, tapi kemudian keluar untuk mendirikan Humanitus Foundation.
Dalam siaran pers Humanitus Sidoarjo Fund pada 30 Juli 2010, mereka mengaku mendapat dana US$ 1 juta dari perusahaan minyak Rusia, OOO RINeftGaz. “Dana ini untuk memetakan geodinamis dari semburan lumpur panas dan daerah sekitarnya demi mencegah terjadinya bencana di masa depan,” kata Jeffrey dalam siaran pers yang dibuat perusahaan hubungan masyarakat luar negeri yang memiliki cabang di Indonesia.
Tim ilmuwan Rusia memang pernah mempresentasikan kajiannya tentang lumpur Sidoarjo di Jakarta. Mereka memaparkan pencitraan model tiga dimensi dan menjelaskan bahwa gunung-gunung lumpur yang terbentuk ribuan tahun lalu kini aktif membentuk lumpur panas. Mereka menawarkan teknik poligon untuk memetakan bawah permukaan Sidoarjo.
Bersama Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetya, perwakilan Lapindo Brantas, dan petinggi harian sore serta majalah berita terbitan Jakarta, Jeffrey berangkat ke Moskow pada pertengahan tahun lalu. Mereka mendiskusikan temuan 20 ilmuwan Rusia soal lumpur Sidoarjo.
Pekan lalu dia menggelar simposium yang diakhiri dengan pemutaran film Mud Max. Film yang lebih banyak mengutip pendapat ilmuwan yang pro-bencana alam sebagai faktor penyebab lumpur Sidoarjo itu Ahad lalu diputar di TVOne. Dalam jangka pendek, Jeffrey akan memfasilitasi riset ilmuwan mancanegara. Untuk jangka panjang, dia mendorong terbentuknya Badan Otorita Lumpur Sidoarjo, yang salah satu fungsinya adalah mencari pendanaan internasional. “Bencana ini sangat besar dan butuh bantuan dari luar negeri,” katanya. | UNTUNG WIDYANTO
Tak Ada Temuan Baru
Panitia Humanitus Symposium on Indonesia’s Mud Volcano itu menyediakan panggung kepada 10 ilmuwan mancanegara sebagai pembicara. Mereka adalah Richard Davies (Durham University), Mark Tingay (Adelaide University), Adriano Mazzini (Oslo University), Hillary Hartnett, Loyc Vanderkluysen, dan Amanda Clarke (Arizona State University), Max Rudolph (University California, Berkeley), Igor Kadurin (Russian Institute Electro Physics), Sergey Kadurin (Odessa National University), serta Wataru Tanikawa (Jamstec, Jepang). Sementara itu, pembicara dari Indonesia adalah Sukendar Asikin (Institut Teknologi Bandung), Awang Harun Satyana (BP Migas), serta Agus Guntoro dan Sayogi Sudarman (Universitas Trisakti).
Selain itu, sejumlah ahli geologi dan perminyakan hadir sebagai peserta, antara lain Hardi Prasetya serta Sofyan Hadi (BPLS), Yusuf Surachman (salah satu deputi di Bakosurtanal), Bambang Istadi (Lapindo Brantas), Edi Sunardi (Universitas Padjadjaran), dan utusan Badan Geologi, Pertamina, serta lembaga lainnya. Adakah temuan baru dari paparan ahli luar negeri? “Tidak ada,” kata Yusuf Surachman, ahli geofisika yang banyak melakukan penelitian di pesisir selatan Jawa dan Sumatera.
Pendapat senada disampaikan oleh Awang Harun Satyana. Menurut dia, beberapa ilmuwan dan lembaga di Tanah Air pernah melakukan studi soal semburan lumpur panas di Sidoarjo. Misalnya, Adriano Mazzini, yang menjelaskan soal gas-gas yang berhubungan dengan aktivitas vulkanik. Studi Badan Geologi, kata Awang, juga menemukan hal yang sama. “Mereka memang tidak menuliskannya di jurnal ilmiah internasional,” kata Awang, yang pernah membuat empat paper ilmiah tentang lumpur Sidoarjo.
Pilihan panitia soal pembicara memicu perdebatan di kalangan pakar ilmu kebumian Tanah Air. Ilmuwan kita, kata Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, ada yang lebih jago dan punya reputasi internasional. Paper dua ahli gempa, Danny Hilman Natawidjaja dan Sri Widiyantoro, pernah dimuat dalam jurnal Nature dan jurnal bergengsi lainnya. “Memang, mental inlander, terjajah, masih selalu ada di kepala kita. Bahkan, di dunia sains pun, para administrator, birokrat, dan politikus kita tidak bisa menghargai scientist-nya sendiri,” kata Andang.
Untuk mendapatkan kajian terbaru, pertemuan ilmiah lanjutan tampaknya harus dilakukan setelah Badan Geologi melakukan survei seismik tiga dimensi. Dari survei ini bakal diketahui monster serta gerowongan yang ada di bawah Sidoarjo, dan para ahli tidak lagi menebak-nebak. UWD
Adriano Mazzini, ahli geologi dari Oslo University, akhirnya angkat bicara pada sesi terakhir Humanitus Symposium on Indonesia’s Mud Volcano, yang berlangsung di Surabaya. “Saya tidak mau berpendapat karena Richard Davies sudah tidak ada di sini,” katanya. Davies, ahli ilmu kebumian dari Durham University, memang meninggalkan tempat itu lebih dulu untuk mengejar pesawat.
Pada sesi terakhir simposium yang berlangsung Kamis petang lalu di Hotel Mercure, 14 pembicara dari dalam dan luar negeri tampil bersama di panggung. Sekitar satu jam, peserta dan wartawan diberi kesempatan bertanya kepada pembicara yang sejak pagi masing-masing mempresentasikan risetnya.
Sebelum sesi berakhir, Davies dan Mark Tingay dari Adelaide University pamit lebih dulu karena ada acara lain di negaranya. Saat itu baru muncul pertanyaan dari seorang wartawan tentang asal penyebab semburan lumpur panas di Desa Renokenongo, Sidoarjo, pada 29 Mei 2006 dan sampai sekarang belum berhenti. “Apakah karena kesalahan pengeboran oleh PT Lapindo Brantas atau karena gempa bumi di Yogyakarta?”
Faktor penyebab semburan lumpur panas itu memang memicu kontroversi berkepanjangan hingga saat ini. Sejumlah ilmuwan kebumian dan perminyakan terbelah dua pendapatnya. Tidak terkecuali di lingkungan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Prof R. P. Koesoemadinata, mantan ketua organisasi ini, pernah membuat surat protes terbuka terhadap penyelenggaraan Lokakarya Lumpur Sidoarjo oleh BPPT pada 2007. Koesoemadinata menilai pembicara lokakarya tersebut lebih didominasi ahli-ahli yang pro-gempa Yogyakarta.
Dalam forum internasional, Richard Davies dan Mark Tingay, dalam tulisannya di jurnal ilmiah, termasuk yang berpendapat faktor pengeboran sebagai penyebab munculnya semburan lumpur panas yang telah menenggelamkan lima desa di Sidoarjo. Sementara Adriano Mazzini–dalam jurnal ilmiah–berpendapat sebaliknya, yakni gempa Yogyakarta mengaktifkan patahan Watukosek yang melintasi Sidoarjo dan meletuskan mud volcano.
Untuk memperingati lima tahun semburan, Humanitus Foundation–lembaga swadaya masyarakat non-politik dan non-agama yang berpusat di Australia–dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyelenggarakan simposium internasional pada 25-26 Mei 2011. Pada hari pertama, 10 pembicara dari luar negeri dan empat pembicara dari dalam negeri serta para peserta meninjau lokasi kawah semburan dan muara Kali Porong.
Di sekitar kawah, panitia memasang bendera negara-negara yang pernah melakukan penelitian di kawasan lumpur Sidoarjo, antara lain Inggris, Australia, Amerika, Rusia, Jepang, dan Norwegia. Pembicara dan panitia melakukan foto bersama di lokasi semburan dan arena simposium itu.
Akan tetapi, simposium ini tak lepas dari kecaman. Andang Bachtiar, mantan Ketua IAGI dan kini menjadi Ketua Dewan Penasihat IAGI, membuat surat protes terbuka. Dia menuduh panitia tidak berimbang dalam memilih pembicara. Selain itu, mereka lebih menonjolkan ilmuwan asing. “Jadi marilah kita sama-sama ke Porong, Sidoarjo, pada 25-26 Mei ini untuk menyerahkan harga diri keilmuan kita ke para ahli asing dan menyediakan diri dimanfaatkan pihak tertentu untuk bersih-bersih,” katanya.
Direktur Eksekutif Humanitus Foundation Jeffrey Richards menolak tuduhan bahwa pihaknya sengaja mengundang pakar yang pro kepada Lapindo Brantas. “Lupakanlah soal pemicu, jauh lebih penting saat ini menangani para korban,” katanya. Bantahan serupa disampaikan oleh Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetya.
Menurut Hardi, pembicara yang diundang adalah ilmuwan yang pernah melakukan penelitian dan hasilnya diterbitkan dalam jurnal ilmiah. “Ada dalam Lusi Library kami,” kata guru besar ilmu geologi itu. Kami, kata Hardi, tidak bisa menyetir pendapat para ilmuwan mancanegara yang telah memiliki reputasi.
Panitia simposium terkesan menghindari diskusi soal penyebab semburan. Namun ada saja wartawan yang menanyakan hal itu kepada para ilmuwan. Richard Davies, yang masih tetap berpendapat bahwa pengeboran oleh Lapindo Brantas sebagai pemicu semburan lumpur panas, juga tidak mau berpolemik lebih jauh soal ini. Dalam paparannya dan kepada wartawan, dia lebih berfokus berbicara tentang berapa lama lumpur itu akan keluar.
Sayang, Davies dan Tingay harus kembali ke negaranya, sehingga tidak mengikuti secara penuh sesi terakhir. Jawaban atas pertanyaan wartawan soal penyebab semburan lumpur panas di Sidoarjo akhirnya menggantung. Adriano Mazzini tak ingin menjawab karena Davies dan Tingay tidak berada dalam ruangan. Dia ingin menunjukkan sikap adil.
Memang, tidak seperti sikap sekelompok ilmuwan di Tanah Air, para ahli mancanegara yang berbeda pendapat tersebut rukun-rukun saja selama tiga hari di Sidoarjo. Davies, Tingay, Mazzini, dan ahli lainnya makan dalam satu meja. Mereka pun berada dalam satu mobil saat menuju lokasi lumpur Lapindo dan asyik berdiskusi satu sama lain.
Jeffrey Richards menjelaskan, pihaknya hanya mengganti tiket dan memfasilitasi akomodasi para pembicara. “Mereka mau datang ke sini tanpa dibayar karena (punya) keinginan besar untuk meneliti semburan lumpur ini,” katanya.
Memang, obyek kajian ahli ilmu kebumian kebanyakan produk yang terjadi sejak ribuan hingga miliaran tahun lalu. “Dari lumpur Sidoarjo ini kita mengamati kelahiran dan evolusi serta dinamika obyek ini,” kata Loyc Vanderkluysen, dari Arizona State University.
Hardi Prasetya dan Sofyan Hadi dari BPLS menawarkan kantor lembaganya menjadi tempat penelitian para ahli. Sedangkan Jeffrey Richards berencana membentuk jaringan ilmuwan tentang lumpur Sidoarjo.
Agar tidak menimbulkan kontroversi, seyogianya mereka melibatkan lembaga lain di Tanah Air, seperti LIPI, IAGI, Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, serta perguruan tinggi dan lembaga penelitian lain. Selain demi kemaslahatan ilmu pengetahuan, riset tersebut harus bermanfaat untuk membantu warga yang menjadi korban lumpur panas di Sidoarjo.
Dana dari Perusahaan Rusia
“Dua hari dua malam saya tidak bisa tidur setelah menyaksikan film dokumenter Mud Max,” kata Jeffrey Richards, Direktur Eksekutif Humanitus Foundation, lembaga swadaya masyarakat yang berpusat di Melbourne, Australia. Film yang diproduksi Immodicus dan bekerja sama dengan Arizona State University itu memberi dia inspirasi guna membantu meringankan penderitaan korban lumpur Sidoarjo.
Mei tahun lalu, dia menandatangani perjanjian kerja dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Salah satu implementasinya adalah terbentuknya Humanitus Sidoarjo Fund (HSF), yang berfungsi sebagai wadah untuk meluncurkan penyelidikan ilmiah dari semburan lumpur. Lembaga inilah yang pada 25-26 Mei 2011 menyelenggarakan simposium internasional di Surabaya guna memperingati lima tahun lahirnya lumpur panas yang hingga kini belum berhenti.
Ada 10 ilmuwan dari berbagai negara dan empat ahli dari Indonesia yang menjadi pembicara. Selain itu, puluhan peserta dari berbagai lembaga dan sejumlah wartawan dari Jakarta diundang. Jeffrey mengaku hanya membiayai tiket dan akomodasi di Hotel Mercure, Surabaya. Untuk menyelenggarakan simposium itu dan mengkomunikasikan lembaganya, dia menyewa perusahaan hubungan masyarakat luar negeri yang memiliki cabang di Indonesia.
Jeffrey membantah anggapan bahwa pihaknya mendapat dana dari Bakrie Group atau perusahaan minyak Santos. “Dari pribadi dia dan lembaga independen,” kata Glenda Chin, Asisten Eksekutif Humanitus. Menurut dia, kantor lembaga ini berada di garasi rumah Jeffrey di Melbourne. Jeffrey, ujarnya, sebelumnya menjadi seorang eksekutif di perusahaan swasta, tapi kemudian keluar untuk mendirikan Humanitus Foundation.
Dalam siaran pers Humanitus Sidoarjo Fund pada 30 Juli 2010, mereka mengaku mendapat dana US$ 1 juta dari perusahaan minyak Rusia, OOO RINeftGaz. “Dana ini untuk memetakan geodinamis dari semburan lumpur panas dan daerah sekitarnya demi mencegah terjadinya bencana di masa depan,” kata Jeffrey dalam siaran pers yang dibuat perusahaan hubungan masyarakat luar negeri yang memiliki cabang di Indonesia.
Tim ilmuwan Rusia memang pernah mempresentasikan kajiannya tentang lumpur Sidoarjo di Jakarta. Mereka memaparkan pencitraan model tiga dimensi dan menjelaskan bahwa gunung-gunung lumpur yang terbentuk ribuan tahun lalu kini aktif membentuk lumpur panas. Mereka menawarkan teknik poligon untuk memetakan bawah permukaan Sidoarjo.
Bersama Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetya, perwakilan Lapindo Brantas, dan petinggi harian sore serta majalah berita terbitan Jakarta, Jeffrey berangkat ke Moskow pada pertengahan tahun lalu. Mereka mendiskusikan temuan 20 ilmuwan Rusia soal lumpur Sidoarjo.
Pekan lalu dia menggelar simposium yang diakhiri dengan pemutaran film Mud Max. Film yang lebih banyak mengutip pendapat ilmuwan yang pro-bencana alam sebagai faktor penyebab lumpur Sidoarjo itu Ahad lalu diputar di TVOne. Dalam jangka pendek, Jeffrey akan memfasilitasi riset ilmuwan mancanegara. Untuk jangka panjang, dia mendorong terbentuknya Badan Otorita Lumpur Sidoarjo, yang salah satu fungsinya adalah mencari pendanaan internasional. “Bencana ini sangat besar dan butuh bantuan dari luar negeri,” katanya.
Tak Ada Temuan Baru
Panitia Humanitus Symposium on Indonesia’s Mud Volcano itu menyediakan panggung kepada 10 ilmuwan mancanegara sebagai pembicara. Mereka adalah Richard Davies (Durham University), Mark Tingay (Adelaide University), Adriano Mazzini (Oslo University), Hillary Hartnett, Loyc Vanderkluysen, dan Amanda Clarke (Arizona State University), Max Rudolph (University California, Berkeley), Igor Kadurin (Russian Institute Electro Physics), Sergey Kadurin (Odessa National University), serta Wataru Tanikawa (Jamstec, Jepang). Sementara itu, pembicara dari Indonesia adalah Sukendar Asikin (Institut Teknologi Bandung), Awang Harun Satyana (BP Migas), serta Agus Guntoro dan Sayogi Sudarman (Universitas Trisakti).
Selain itu, sejumlah ahli geologi dan perminyakan hadir sebagai peserta, antara lain Hardi Prasetya serta Sofyan Hadi (BPLS), Yusuf Surachman (salah satu deputi di Bakosurtanal), Bambang Istadi (Lapindo Brantas), Edi Sunardi (Universitas Padjadjaran), dan utusan Badan Geologi, Pertamina, serta lembaga lainnya. Adakah temuan baru dari paparan ahli luar negeri? “Tidak ada,” kata Yusuf Surachman, ahli geofisika yang banyak melakukan penelitian di pesisir selatan Jawa dan Sumatera.
Pendapat senada disampaikan oleh Awang Harun Satyana. Menurut dia, beberapa ilmuwan dan lembaga di Tanah Air pernah melakukan studi soal semburan lumpur panas di Sidoarjo. Misalnya, Adriano Mazzini, yang menjelaskan soal gas-gas yang berhubungan dengan aktivitas vulkanik. Studi Badan Geologi, kata Awang, juga menemukan hal yang sama. “Mereka memang tidak menuliskannya di jurnal ilmiah internasional,” kata Awang, yang pernah membuat empat paper ilmiah tentang lumpur Sidoarjo.
Pilihan panitia soal pembicara memicu perdebatan di kalangan pakar ilmu kebumian Tanah Air. Ilmuwan kita, kata Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, ada yang lebih jago dan punya reputasi internasional. Paper dua ahli gempa, Danny Hilman Natawidjaja dan Sri Widiyantoro, pernah dimuat dalam jurnal Nature dan jurnal bergengsi lainnya. “Memang, mental inlander, terjajah, masih selalu ada di kepala kita. Bahkan, di dunia sains pun, para administrator, birokrat, dan politikus kita tidak bisa menghargai scientist-nya sendiri,” kata Andang.
Untuk mendapatkan kajian terbaru, pertemuan ilmiah lanjutan tampaknya harus dilakukan setelah Badan Geologi melakukan survei seismik tiga dimensi. Dari survei ini bakal diketahui monster serta gerowongan yang ada di bawah Sidoarjo, dan para ahli tidak lagi menebak-nebak. UWD
Adriano Mazzini, ahli geologi dari Oslo University, akhirnya angkat bicara pada sesi terakhir Humanitus Symposium on Indonesia’s Mud Volcano, yang berlangsung di Surabaya. “Saya tidak mau berpendapat karena Richard Davies sudah tidak ada di sini,” katanya. Davies, ahli ilmu kebumian dari Durham University, memang meninggalkan tempat itu lebih dulu untuk mengejar pesawat.
Pada sesi terakhir simposium yang berlangsung Kamis petang lalu di Hotel Mercure, 14 pembicara dari dalam dan luar negeri tampil bersama di panggung. Sekitar satu jam, peserta dan wartawan diberi kesempatan bertanya kepada pembicara yang sejak pagi masing-masing mempresentasikan risetnya.
Sebelum sesi berakhir, Davies dan Mark Tingay dari Adelaide University pamit lebih dulu karena ada acara lain di negaranya. Saat itu baru muncul pertanyaan dari seorang wartawan tentang asal penyebab semburan lumpur panas di Desa Renokenongo, Sidoarjo, pada 29 Mei 2006 dan sampai sekarang belum berhenti. “Apakah karena kesalahan pengeboran oleh PT Lapindo Brantas atau karena gempa bumi di Yogyakarta?”
Faktor penyebab semburan lumpur panas itu memang memicu kontroversi berkepanjangan hingga saat ini. Sejumlah ilmuwan kebumian dan perminyakan terbelah dua pendapatnya. Tidak terkecuali di lingkungan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Prof R. P. Koesoemadinata, mantan ketua organisasi ini, pernah membuat surat protes terbuka terhadap penyelenggaraan Lokakarya Lumpur Sidoarjo oleh BPPT pada 2007. Koesoemadinata menilai pembicara lokakarya tersebut lebih didominasi ahli-ahli yang pro-gempa Yogyakarta.
Dalam forum internasional, Richard Davies dan Mark Tingay, dalam tulisannya di jurnal ilmiah, termasuk yang berpendapat faktor pengeboran sebagai penyebab munculnya semburan lumpur panas yang telah menenggelamkan lima desa di Sidoarjo. Sementara Adriano Mazzini–dalam jurnal ilmiah–berpendapat sebaliknya, yakni gempa Yogyakarta mengaktifkan patahan Watukosek yang melintasi Sidoarjo dan meletuskan mud volcano.
Untuk memperingati lima tahun semburan, Humanitus Foundation–lembaga swadaya masyarakat non-politik dan non-agama yang berpusat di Australia–dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyelenggarakan simposium internasional pada 25-26 Mei 2011. Pada hari pertama, 10 pembicara dari luar negeri dan empat pembicara dari dalam negeri serta para peserta meninjau lokasi kawah semburan dan muara Kali Porong.
Di sekitar kawah, panitia memasang bendera negara-negara yang pernah melakukan penelitian di kawasan lumpur Sidoarjo, antara lain Inggris, Australia, Amerika, Rusia, Jepang, dan Norwegia. Pembicara dan panitia melakukan foto bersama di lokasi semburan dan arena simposium itu.
Akan tetapi, simposium ini tak lepas dari kecaman. Andang Bachtiar, mantan Ketua IAGI dan kini menjadi Ketua Dewan Penasihat IAGI, membuat surat protes terbuka. Dia menuduh panitia tidak berimbang dalam memilih pembicara. Selain itu, mereka lebih menonjolkan ilmuwan asing. “Jadi marilah kita sama-sama ke Porong, Sidoarjo, pada 25-26 Mei ini untuk menyerahkan harga diri keilmuan kita ke para ahli asing dan menyediakan diri dimanfaatkan pihak tertentu untuk bersih-bersih,” katanya.
Direktur Eksekutif Humanitus Foundation Jeffrey Richards menolak tuduhan bahwa pihaknya sengaja mengundang pakar yang pro kepada Lapindo Brantas. “Lupakanlah soal pemicu, jauh lebih penting saat ini menangani para korban,” katanya. Bantahan serupa disampaikan oleh Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetya.
Menurut Hardi, pembicara yang diundang adalah ilmuwan yang pernah melakukan penelitian dan hasilnya diterbitkan dalam jurnal ilmiah. “Ada dalam Lusi Library kami,” kata guru besar ilmu geologi itu. Kami, kata Hardi, tidak bisa menyetir pendapat para ilmuwan mancanegara yang telah memiliki reputasi.
Panitia simposium terkesan menghindari diskusi soal penyebab semburan. Namun ada saja wartawan yang menanyakan hal itu kepada para ilmuwan. Richard Davies, yang masih tetap berpendapat bahwa pengeboran oleh Lapindo Brantas sebagai pemicu semburan lumpur panas, juga tidak mau berpolemik lebih jauh soal ini. Dalam paparannya dan kepada wartawan, dia lebih berfokus berbicara tentang berapa lama lumpur itu akan keluar.
Sayang, Davies dan Tingay harus kembali ke negaranya, sehingga tidak mengikuti secara penuh sesi terakhir. Jawaban atas pertanyaan wartawan soal penyebab semburan lumpur panas di Sidoarjo akhirnya menggantung. Adriano Mazzini tak ingin menjawab karena Davies dan Tingay tidak berada dalam ruangan. Dia ingin menunjukkan sikap adil.
Memang, tidak seperti sikap sekelompok ilmuwan di Tanah Air, para ahli mancanegara yang berbeda pendapat tersebut rukun-rukun saja selama tiga hari di Sidoarjo. Davies, Tingay, Mazzini, dan ahli lainnya makan dalam satu meja. Mereka pun berada dalam satu mobil saat menuju lokasi lumpur Lapindo dan asyik berdiskusi satu sama lain.
Jeffrey Richards menjelaskan, pihaknya hanya mengganti tiket dan memfasilitasi akomodasi para pembicara. “Mereka mau datang ke sini tanpa dibayar karena (punya) keinginan besar untuk meneliti semburan lumpur ini,” katanya.
Memang, obyek kajian ahli ilmu kebumian kebanyakan produk yang terjadi sejak ribuan hingga miliaran tahun lalu. “Dari lumpur Sidoarjo ini kita mengamati kelahiran dan evolusi serta dinamika obyek ini,” kata Loyc Vanderkluysen, dari Arizona State University.
Hardi Prasetya dan Sofyan Hadi dari BPLS menawarkan kantor lembaganya menjadi tempat penelitian para ahli. Sedangkan Jeffrey Richards berencana membentuk jaringan ilmuwan tentang lumpur Sidoarjo.
Agar tidak menimbulkan kontroversi, seyogianya mereka melibatkan lembaga lain di Tanah Air, seperti LIPI, IAGI, Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, serta perguruan tinggi dan lembaga penelitian lain. Selain demi kemaslahatan ilmu pengetahuan, riset tersebut harus bermanfaat untuk membantu warga yang menjadi korban lumpur panas di Sidoarjo. | UNTUNG WIDYANTO
Dana dari Perusahaan Rusia
“Dua hari dua malam saya tidak bisa tidur setelah menyaksikan film dokumenter Mud Max,” kata Jeffrey Richards, Direktur Eksekutif Humanitus Foundation, lembaga swadaya masyarakat yang berpusat di Melbourne, Australia. Film yang diproduksi Immodicus dan bekerja sama dengan Arizona State University itu memberi dia inspirasi guna membantu meringankan penderitaan korban lumpur Sidoarjo.
Mei tahun lalu, dia menandatangani perjanjian kerja dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Salah satu implementasinya adalah terbentuknya Humanitus Sidoarjo Fund (HSF), yang berfungsi sebagai wadah untuk meluncurkan penyelidikan ilmiah dari semburan lumpur. Lembaga inilah yang pada 25-26 Mei 2011 menyelenggarakan simposium internasional di Surabaya guna memperingati lima tahun lahirnya lumpur panas yang hingga kini belum berhenti.
Ada 10 ilmuwan dari berbagai negara dan empat ahli dari Indonesia yang menjadi pembicara. Selain itu, puluhan peserta dari berbagai lembaga dan sejumlah wartawan dari Jakarta diundang. Jeffrey mengaku hanya membiayai tiket dan akomodasi di Hotel Mercure, Surabaya. Untuk menyelenggarakan simposium itu dan mengkomunikasikan lembaganya, dia menyewa perusahaan hubungan masyarakat luar negeri yang memiliki cabang di Indonesia.
Jeffrey membantah anggapan bahwa pihaknya mendapat dana dari Bakrie Group atau perusahaan minyak Santos. “Dari pribadi dia dan lembaga independen,” kata Glenda Chin, Asisten Eksekutif Humanitus. Menurut dia, kantor lembaga ini berada di garasi rumah Jeffrey di Melbourne. Jeffrey, ujarnya, sebelumnya menjadi seorang eksekutif di perusahaan swasta, tapi kemudian keluar untuk mendirikan Humanitus Foundation.
Dalam siaran pers Humanitus Sidoarjo Fund pada 30 Juli 2010, mereka mengaku mendapat dana US$ 1 juta dari perusahaan minyak Rusia, OOO RINeftGaz. “Dana ini untuk memetakan geodinamis dari semburan lumpur panas dan daerah sekitarnya demi mencegah terjadinya bencana di masa depan,” kata Jeffrey dalam siaran pers yang dibuat perusahaan hubungan masyarakat luar negeri yang memiliki cabang di Indonesia.
Tim ilmuwan Rusia memang pernah mempresentasikan kajiannya tentang lumpur Sidoarjo di Jakarta. Mereka memaparkan pencitraan model tiga dimensi dan menjelaskan bahwa gunung-gunung lumpur yang terbentuk ribuan tahun lalu kini aktif membentuk lumpur panas. Mereka menawarkan teknik poligon untuk memetakan bawah permukaan Sidoarjo.
Bersama Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetya, perwakilan Lapindo Brantas, dan petinggi harian sore serta majalah berita terbitan Jakarta, Jeffrey berangkat ke Moskow pada pertengahan tahun lalu. Mereka mendiskusikan temuan 20 ilmuwan Rusia soal lumpur Sidoarjo.
Pekan lalu dia menggelar simposium yang diakhiri dengan pemutaran film Mud Max. Film yang lebih banyak mengutip pendapat ilmuwan yang pro-bencana alam sebagai faktor penyebab lumpur Sidoarjo itu Ahad lalu diputar di TVOne. Dalam jangka pendek, Jeffrey akan memfasilitasi riset ilmuwan mancanegara. Untuk jangka panjang, dia mendorong terbentuknya Badan Otorita Lumpur Sidoarjo, yang salah satu fungsinya adalah mencari pendanaan internasional. “Bencana ini sangat besar dan butuh bantuan dari luar negeri,” katanya. | UNTUNG WIDYANTO
Tak Ada Temuan Baru
Panitia Humanitus Symposium on Indonesia’s Mud Volcano itu menyediakan panggung kepada 10 ilmuwan mancanegara sebagai pembicara. Mereka adalah Richard Davies (Durham University), Mark Tingay (Adelaide University), Adriano Mazzini (Oslo University), Hillary Hartnett, Loyc Vanderkluysen, dan Amanda Clarke (Arizona State University), Max Rudolph (University California, Berkeley), Igor Kadurin (Russian Institute Electro Physics), Sergey Kadurin (Odessa National University), serta Wataru Tanikawa (Jamstec, Jepang). Sementara itu, pembicara dari Indonesia adalah Sukendar Asikin (Institut Teknologi Bandung), Awang Harun Satyana (BP Migas), serta Agus Guntoro dan Sayogi Sudarman (Universitas Trisakti).
Selain itu, sejumlah ahli geologi dan perminyakan hadir sebagai peserta, antara lain Hardi Prasetya serta Sofyan Hadi (BPLS), Yusuf Surachman (salah satu deputi di Bakosurtanal), Bambang Istadi (Lapindo Brantas), Edi Sunardi (Universitas Padjadjaran), dan utusan Badan Geologi, Pertamina, serta lembaga lainnya. Adakah temuan baru dari paparan ahli luar negeri? “Tidak ada,” kata Yusuf Surachman, ahli geofisika yang banyak melakukan penelitian di pesisir selatan Jawa dan Sumatera.
Pendapat senada disampaikan oleh Awang Harun Satyana. Menurut dia, beberapa ilmuwan dan lembaga di Tanah Air pernah melakukan studi soal semburan lumpur panas di Sidoarjo. Misalnya, Adriano Mazzini, yang menjelaskan soal gas-gas yang berhubungan dengan aktivitas vulkanik. Studi Badan Geologi, kata Awang, juga menemukan hal yang sama. “Mereka memang tidak menuliskannya di jurnal ilmiah internasional,” kata Awang, yang pernah membuat empat paper ilmiah tentang lumpur Sidoarjo.
Pilihan panitia soal pembicara memicu perdebatan di kalangan pakar ilmu kebumian Tanah Air. Ilmuwan kita, kata Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, ada yang lebih jago dan punya reputasi internasional. Paper dua ahli gempa, Danny Hilman Natawidjaja dan Sri Widiyantoro, pernah dimuat dalam jurnal Nature dan jurnal bergengsi lainnya. “Memang, mental inlander, terjajah, masih selalu ada di kepala kita. Bahkan, di dunia sains pun, para administrator, birokrat, dan politikus kita tidak bisa menghargai scientist-nya sendiri,” kata Andang.
Untuk mendapatkan kajian terbaru, pertemuan ilmiah lanjutan tampaknya harus dilakukan setelah Badan Geologi melakukan survei seismik tiga dimensi. Dari survei ini bakal diketahui monster serta gerowongan yang ada di bawah Sidoarjo, dan para ahli tidak lagi menebak-nebak. UWD
Adriano Mazzini, ahli geologi dari Oslo University, akhirnya angkat bicara pada sesi terakhir Humanitus Symposium on Indonesia’s Mud Volcano, yang berlangsung di Surabaya. “Saya tidak mau berpendapat karena Richard Davies sudah tidak ada di sini,” katanya. Davies, ahli ilmu kebumian dari Durham University, memang meninggalkan tempat itu lebih dulu untuk mengejar pesawat.
Pada sesi terakhir simposium yang berlangsung Kamis petang lalu di Hotel Mercure, 14 pembicara dari dalam dan luar negeri tampil bersama di panggung. Sekitar satu jam, peserta dan wartawan diberi kesempatan bertanya kepada pembicara yang sejak pagi masing-masing mempresentasikan risetnya.
Sebelum sesi berakhir, Davies dan Mark Tingay dari Adelaide University pamit lebih dulu karena ada acara lain di negaranya. Saat itu baru muncul pertanyaan dari seorang wartawan tentang asal penyebab semburan lumpur panas di Desa Renokenongo, Sidoarjo, pada 29 Mei 2006 dan sampai sekarang belum berhenti. “Apakah karena kesalahan pengeboran oleh PT Lapindo Brantas atau karena gempa bumi di Yogyakarta?”
Faktor penyebab semburan lumpur panas itu memang memicu kontroversi berkepanjangan hingga saat ini. Sejumlah ilmuwan kebumian dan perminyakan terbelah dua pendapatnya. Tidak terkecuali di lingkungan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Prof R. P. Koesoemadinata, mantan ketua organisasi ini, pernah membuat surat protes terbuka terhadap penyelenggaraan Lokakarya Lumpur Sidoarjo oleh BPPT pada 2007. Koesoemadinata menilai pembicara lokakarya tersebut lebih didominasi ahli-ahli yang pro-gempa Yogyakarta.
Dalam forum internasional, Richard Davies dan Mark Tingay, dalam tulisannya di jurnal ilmiah, termasuk yang berpendapat faktor pengeboran sebagai penyebab munculnya semburan lumpur panas yang telah menenggelamkan lima desa di Sidoarjo. Sementara Adriano Mazzini–dalam jurnal ilmiah–berpendapat sebaliknya, yakni gempa Yogyakarta mengaktifkan patahan Watukosek yang melintasi Sidoarjo dan meletuskan mud volcano.
Untuk memperingati lima tahun semburan, Humanitus Foundation–lembaga swadaya masyarakat non-politik dan non-agama yang berpusat di Australia–dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyelenggarakan simposium internasional pada 25-26 Mei 2011. Pada hari pertama, 10 pembicara dari luar negeri dan empat pembicara dari dalam negeri serta para peserta meninjau lokasi kawah semburan dan muara Kali Porong.
Di sekitar kawah, panitia memasang bendera negara-negara yang pernah melakukan penelitian di kawasan lumpur Sidoarjo, antara lain Inggris, Australia, Amerika, Rusia, Jepang, dan Norwegia. Pembicara dan panitia melakukan foto bersama di lokasi semburan dan arena simposium itu.
Akan tetapi, simposium ini tak lepas dari kecaman. Andang Bachtiar, mantan Ketua IAGI dan kini menjadi Ketua Dewan Penasihat IAGI, membuat surat protes terbuka. Dia menuduh panitia tidak berimbang dalam memilih pembicara. Selain itu, mereka lebih menonjolkan ilmuwan asing. “Jadi marilah kita sama-sama ke Porong, Sidoarjo, pada 25-26 Mei ini untuk menyerahkan harga diri keilmuan kita ke para ahli asing dan menyediakan diri dimanfaatkan pihak tertentu untuk bersih-bersih,” katanya.
Direktur Eksekutif Humanitus Foundation Jeffrey Richards menolak tuduhan bahwa pihaknya sengaja mengundang pakar yang pro kepada Lapindo Brantas. “Lupakanlah soal pemicu, jauh lebih penting saat ini menangani para korban,” katanya. Bantahan serupa disampaikan oleh Wakil Kepala BPLS Hardi Prasetya.
Menurut Hardi, pembicara yang diundang adalah ilmuwan yang pernah melakukan penelitian dan hasilnya diterbitkan dalam jurnal ilmiah. “Ada dalam Lusi Library kami,” kata guru besar ilmu geologi itu. Kami, kata Hardi, tidak bisa menyetir pendapat para ilmuwan mancanegara yang telah memiliki reputasi.
Panitia simposium terkesan menghindari diskusi soal penyebab semburan. Namun ada saja wartawan yang menanyakan hal itu kepada para ilmuwan. Richard Davies, yang masih tetap berpendapat bahwa pengeboran oleh Lapindo Brantas sebagai pemicu semburan lumpur panas, juga tidak mau berpolemik lebih jauh soal ini. Dalam paparannya dan kepada wartawan, dia lebih berfokus berbicara tentang berapa lama lumpur itu akan keluar.
Sayang, Davies dan Tingay harus kembali ke negaranya, sehingga tidak mengikuti secara penuh sesi terakhir. Jawaban atas pertanyaan wartawan soal penyebab semburan lumpur panas di Sidoarjo akhirnya menggantung. Adriano Mazzini tak ingin menjawab karena Davies dan Tingay tidak berada dalam ruangan. Dia ingin menunjukkan sikap adil.
Sumber: Koran Tempo, 30 Mei 2011