Setiap pagi dari kawasan Meguro, Afien Y Yahya naik kereta menuju Marunuochi. Manajer utama di salah satu BUMN Indonesia di Jepang itu hanya membutuhkan paling lama 40 menit untuk perjalanan dari rumah dinasnya ke kantor.
Marunuochi termasuk kawasan premium di Tokyo. Dari kantornya, Afien bisa melihat Istana Kekaisaran Jepang yang terletak persis di seberang jalan. “Sejak 1959, kantor kami sudah di sini,” ujarnya.
Konsekuensi berada di kawasan premium, antara lain, tentu saja biaya selangit. Afien sama sekali tidak bisa membayangkan berapa ribu yen harus dikeluarkan setiap bulan untuk membayar parkir di sekitar kantornya. Di Tokyo, biaya parkir per jam minimal 500 yen atau lebih mahal dari harga tiket pergi-pulang dari Meguro-Marunuochi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak hanya mahal, tempat parkir juga terbatas. Di banyak tempat di Tokyo, kendaraan hanya boleh parkir maksimal satu jam. Lebih dari itu, akan ditilang karena dianggap parkir secara ilegal.
“Naik kereta pilihan rasional di Jepang. Hampir semua kota di Jepang dilayani kereta dengan ratusan stasiun dan banyak jurusan. Warga Jepang atau pendatang memprioritaskan kereta sebagai moda transportasi,” ujar Afien.
Badan Statistik Jepang membenarkan pernyataan Afien. Setiap tahun, 23,6 miliar penumpang diangkut kereta di Jepang. Sebagian menumpangi kereta dalam kota. Sebagian lagi naik kereta komuter antarkota, baik dalam satu provinsi maupun antarprovinsi.
Kereta adalah simbol modernitas di Jepang sejak era Restorasi Meiji. Kala itu, teknologi termaju di Jepang adalah lokomotif. Jauh setelah Restorasi Meiji, Jepang terus mempertahankan keunggulan kereta api saat meluncurkan Shinkansen pada 1964. Shinkansen diluncurkan tak hanya dalam koridor layanan transportasi. Kereta peluru itu diluncurkan dengan ambisi seluruh bangsa Jepang untuk menunjukkan kemampuan mereka kepada warga bumi lainnya.
Rute pertama Shinkansen menghubungkan dua kota bisnis di Pulau Honshu, Tokyo-Osaka. Dengan kereta cepat itu, perjalanan pergi-pulang antara Osaka dan Tokyo yang berjarak lebih dari 500 kilometer tersebut bisa ditempuh paling lama empat jam. Bahkan, kini rute itu bisa ditempuh tidak sampai tiga jam. Sementara dengan mobil, butuh paling singkat 6,5 jam untuk perjalanan Osaka-Tokyo.
Komuter
Setiap pagi di Stasiun Besar Tokyo, pebisnis dan pekerja dari sejumlah kota dari sejumlah provinsi berlarian keluar kereta. Mereka tergesa-gesa menuju kereta dalam kota untuk bertemu dengan relasi mereka.
“Saya tidak perlu menginap di Osaka. Cukup berangkat pagi, menyelesaikan urusan sampai sore, lalu naik kereta ke Tokyo,” ujar Misayo yang ditemui dalam Shinkansen yang melaju dari kota Nagoya di Provinsi Mei menuju Tokyo.
Untuk perjalanan itu, perempuan tersebut hanya perlu membayar kurang dari 30.000 yen. Biaya itu sepenuhnya untuk tiket pergi-pulang Tokyo-Osaka dan tiket kereta dalam kota di Osaka dan Tokyo. “Kalau menginap, perlu biaya lebih besar dari itu. Saya juga tidak nyaman harus menginap di tempat lain,” ujarnya di sela-sela perjalanan hampir dua jam tersebut.
Ia tertawa saat ditanya soal keterlambatan kereta. Di Jepang, keterlambatan kereta adalah hal yang amat langka. Keterlambatan terburuk Shinkansen tidak pernah mencapai satu menit. “Tepat waktu, tepat posisi. Kalau meleset, hanya beberapa sentimeter dari garis berhenti yang sudah ditentukan,” tuturnya.
Tak salah orang Jepang bangga dengan layanan kereta api di negaranya. Bernard (23), pelancong Jerman yang ditemui di kawasan Takasago, Provinsi Chiba, menyatakan, layanan kereta Jepang menenangkan. “Kami orang Jerman sangat serius, perhatian pada hal detail, dan tidak menoleransi keterlambatan. Naik kereta di Jepang membuat saya merasa toleransi keterlambatan dan keseriusan di Jerman tidak ada apa-apanya,” tuturnya.
Petugas stasiun bertugas persis sesuai prosedur dan panduan kerja. Mereka benar-benar menghadap ke semua ujung stasiun sembari menunjuk saat memeriksa kondisi sebelum mengizinkan kereta berjalan. Mereka akan mengulangi pengumuman keselamatan yang sama walau kereta datang rata-rata setiap tiga menit sekali. “Ada yang lebih serius dari orang Jerman,” ujar Bernard sembari tergelak.
Dalam berbagai petunjuk wisata Jepang, kereta disebut sebagai pilihan transportasi utama bagi pelancong. Ongkos paling mahal dari Bandara Narita ke Tokyo tidak sampai 3.200 yen. Dengan taksi, perjalanan yang sama akan menelan hingga 25.000 yen.
“Tersasar sedikit sudah biasa saat naik kereta di Jepang. Jangankan orang asing, orang Jepang saja kadang masih tersasar saat naik kereta di Tokyo,” ujar Tak, pengelola losmen di kawasan Takasago.
Sebenarnya, petunjuk untuk naik kereta di Jepang amat rinci dan mudah diketahui oleh setiap mereka yang mengerti bahasa Jepang dan bahasa Inggris. Peta gratis tersedia di setiap stasiun. Informasi tarif dipajang secara mencolok di dekat pintu masuk. “Hanya perlu berjalan sedikit dari pintu kedatangan Narita, Haneda, atau bandara lain di Jepang, sudah sampai ke stasiun kereta,” tutur Tak.
Jika kesulitan membaca peta, bisa bertanya kepada banyak orang di stasiun. Mereka yang tidak bisa menjawab akan mengantarkan ke orang lain yang mungkin bisa menjawab.
Peradaban
Tidak hanya kemajuan teknologi, kereta juga menggambarkan wajah peradaban Jepang. Tidak pernah ada calon penumpang menyerobot masuk stasiun dan kereta. Semua, termasuk orang asing yang baru datang, tertib mengikuti antrean.
Bangku prioritas untuk warga manula, orang sakit, dan perempuan hamil tidak pernah diduduki oleh penumpang yang tidak masuk kategori tersebut. Sementara para pelajarnya dengan sigap berdiri jika ada penumpang lain. Mereka sadar tidak membayar penuh tarif kereta. Sementara penumpang nonpelajar harus membayar penuh. “Saya harus tahu diri. Dengan berdiri juga tetap sampai ke stasiun dekat sekolah atau rumah,” ujar Hachiro, pelajar SMA yang ditemui di kawasan Ueno, Tokyo.
Hachiro menuturkan, mereka diajarkan untuk menghormati hak orang lain. Pelajar yang duduk di kereta penuh penumpang termasuk sedang melanggar hak orang lain.
“Melanggar hak orang lain sama dengan mencuri. Itu bukan perbuatan terhormat dan terpelajar,” ujarnya.
Ia juga mengatakan tidak perlu khawatir soal keamanan. Lazim terlihat remaja putri naik kereta sendirian setelah pukul 21.00. “Apa yang harus dikhawatirkan? Semua aman-aman saja,” ucapnya. (RAZ)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2015, di halaman 28 dengan judul “Menunggangi Bukti Kemajuan Jepang”.