Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan dukungan kepada pemerintah-pemerintah daerah yang berinisiatif membatasi penggunaan plastik sekali pakai di daerah masing-masing. Hal itu dinilainya merupakan kewenangan dan tugas kepala daerah dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
“Kami bantu pemda karena ada kewajiban pemda dan perintah dari UU (terkait pembatasan dan pengurangan sampah),” kata Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Senin (29/4/2019), di Jakarta. Ia ditanya terkait sikap KLHK atas uji materi yang dilayangkan Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia ke Mahkamah Agung.
Uji materi atas Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Pembatasan Sampah Plastik Sekali Pakai. Perda yang diterbitkan pada 21 Desember 2018 tersebut melarang penggunaan kantong plastik, sytrofoam, dan sedotan plastik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Pemulung mengais rejeki pada tumpukan sampah plastik di Kali Baru, Bambu Kuning, Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (29/4/2019). Sampah plastik hasil limbah rumah tangga tersebut menghambat aliran sungai. Membuang sampah di sungai masih menjadi perilaku buruk masyarakat dalam menjaga lingkungan.
Siti Nurbaya mengatakan, jajarannya sedang mempelajari sisi hukum dan fakta di lapangan terkait timbulan sampah plastik tersebut. Harapannya, penjelasan dari KLHK ini dapat digunakan Mahkamah Agung untuk mengerti esensi amanat UU 18/2008 terkait pembatasan dan pengurangan sampah.
Selain itu, langkah pemda-pemda – sekitar 14 pemerintah daerah yang menerbitkan larangan serupa dalam bentuk Peraturan Bupati/Walikota – mendukung target pemerintah untuk menurunkan timbulan sampah. Pembatasan penggunaan plastik sekali pakai tersebut umumnya masih pada pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di ritel moderen.
Wewenang pemda
Dihubungi terpisah, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Novrizal Tahar, mendukung inisiatif pemerintah daerah maupun gerakan masyarakat serta swasta yang berkontribusi pada pengurangan timbulan sampah. Inisiatif-inisiatif pengurangan bisa dilakukan melalui pembatasan penggunaan plastik sekali pakai seperti regulasi yang muncul di berbagai daerah, penggunaan ulang plastik, serta mendaur ulang plastik.
Terkait pembatasan penggunaan plastik oleh pemerintah daerah, ia mengatakan hal tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah yang diberikan UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Di lapangan, kata dia, langkah itu pun tak mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat.
“Masyarakat bisa beradaptasi dengan baik dan saya tak melihat resistensi. Malah tampak happy dan menyesuaikan diri dengan membawa kantong sendiri,” kata dia.
Meski demikian, ia mengakui saat ini ada pula elemen masyarakat yang terusik dengan kebijakan pemerintah daerah. Contohnya, Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) yang menguji materi Peraturan Gubernur Bali No 97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai ke Mahkamah Agung.
“Lumrah saja dalam demokrasi ini kebijakan publik diuji. Dalam UU ada dasarnya bahwa bagian pengurangan dan pembatasan itu bisa dilakukan,”kata dia.
Hingga kini, ia menyebutkan setidaknya 14 regulasi daerah yang membatasi penggunaan plastik sekali pakai. Diantaranya Banjarmasin, Banjarbaru, Balikpapan, Bali, Denpasar, Kota Banjar, Samarinda, Padang, Bukit Tinggi, Jambi, Kota Bogor, Bontang, dan Kota Jayapura. Hanya Balikpapan yang telah menuangkan regulasi itu dalam bentuk peraturan daerah.
Penalaran akademis
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) yang terdiri beberapa beberapa lembaga swadaya masyarakat dan ahli hukum lingkungan hidup serta ahli hak asasi manusia, turut mendukung sikap KLHK ini. Koalisi ini telah mengajukan dokumen sahabat pengadilan (Amicus Curiae) ke Mahkamah Agung yang berisi penalaran akademis dari perspektif hukum mengenai kesesuaian pelarangan plastik sekali pakai dengan UU Pengelolaan Sampah, UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU tentang Hak Asasi Manusia.
Ditinjau dari aspek hukum, selain UU Pengelolaan Sampah, pembatasan timbulan sampah melalui pelarangan penggunaan kantong plastik juga didukung oleh peraturan lainnya.
“Undang-undang Pengelolaan Sampah (UUPS), baik dilihat dari Naskah Akademis yang melatar-belakangi perumusannya, maupun dilihat dari Peraturan Pemerintah 81/2012 yang menjadi turunannya, mendukung adanya peraturan yang mewajibkan penghindaran atau pencegahan barang/kemasan sekali pakai,” kata Raynaldo Sembiring, peneliti Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), bagian koalisi tersebut.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 30 April 2019