Kebakaran di lahan gambut saat kemarau panjang akibat El Nino tahun ini akhirnya terjadi juga. Munculnya ancaman ini sebenarnya telah diprediksi akhir Juli lalu. Berbagai teknik penanggulangan dipersiapkan untuk mengatasinya.
El Nino yang menyebabkan kekeringan di Asia dan Amerika Serikat mengakibatkan kebakaran lahan dan hutan, bahkan meluas, dalam sebulan terakhir. Kebakaran di Pantai Timur Amerika Serikat melanda areal 2,9 juta hektar dipicu kondisi alam, sedangkan di Indonesia pemicunya faktor antropogenik berupa praktik pembukaan hutan dan pembersihan lahan dengan cara membakar.
Konversi lahan, termasuk menghilangkan daerah genangan di rawa gambut sebagai sumber energi fosil, di Sumatera dan Kalimantan bagian selatan itu telah lama terjadi dan meluas. Karena itu, saat tak ada hujan tiga bulan ini, meluasnya areal hutan yang terbakar tak terelakkan. Itu dipicu praktik pembakaran yang dilakukan meski dalam masa rawan kebakaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Upaya meredam kebakaran hutan itu awal Agustus lalu disiapkan agar kerugian tak sebesar saat El Nino tahun 1997 yang berdampak kekeringan terparah dalam sejarah kebencanaan cuaca di Indonesia. Kerugiannya sekitar Rp 47 triliun.
Kebakarannya meluas di lahan dan hutan seluas 11,6 juta hektar. Saat ini, kebakaran yang terjadi di Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau, serta di wilayah Kalimantan menimbulkan kabut asap, menyeberang hingga ke Singapura, Malaysia, dan Brunei. Sekitar 20 juta penduduk di empat negara itu terpapar pencemaran udara tersebut. Bencana itu juga mengakibatkan kerugian 760 juta dollar AS antara lain dari penundaan dan pembatalan penerbangan serta penanganan gangguan kesehatan.
Untuk mengatasi meluasnya kebakaran hutan di sejumlah daerah hingga September 2015, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyiapkan dana Rp 385 miliar. Selain itu, ada dana siap pakai sebagai tambahan.
Pola pemadaman api
Sejumlah inovasi teknologi pun didayagunakan. Pada masa transisi musim itu, modifikasi cuaca untuk mengurangi dampak kekeringan sudah dilakukan. Namun, saat kebakaran telah merebak, dilakukan penyiraman air dari darat dan udara hingga penyuntikan lapisan dalam gambut yang terbakar.
Modifikasi cuaca atau operasi hujan buatan dilakukan Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan (UPT HB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Proyek itu dimulai Maret lalu di Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Menurut Kepala UPT HB BPPT Heru Widodo, operasi hujan buatan memakai tiga pesawat Cassa C-212. Operasi tahap kedua dilakukan sejak Juni lalu di tiga provinsi itu.
“Pada September 2015, BNPB membantu penyediaan pesawat CN 295 untuk operasi hujan buatan di Kalimantan Tengah,” ucap Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Pada operasi hujan buatan, pesawat menyebarkan bubuk garam (NaCl) di atas awan yang berpotensi hujan untuk mempercepat kondensasi. “Dari hasil penyemaian itu empat bulan terakhir di Riau, dihasilkan hujan kumulatif 254.000 meter kubik,” kata Heru.
Saat kebakaran meluas, upaya yang dilakukan adalah menggerakkan Manggala Agni, brigade pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Mereka membawa tabung penyemprot yang digendong di punggung. Tabung itu berisi air dicampur bubuk aditif dari bahan alami tak beracun. Namun, cara yang diterapkan dua tahun terakhir itu punya daya jangkau terbatas dan berisiko jika kebakaran berskala besar.
Untuk wilayah luas dan sulit dijangkau, digunakan helikopter dan pesawat. Penggelontoran air dari udara memakai keranjang berkapasitas 4.000-4.500 liter yang digantungkan di bawah helikopter jenis MI 17 atau Superpuma. Operasi itu disebut pengeboman air.
Air yang diambil dari sumber terdekat dicampurkan cairan aditif dengan komposisi 1 : 1000, yang berfungsi mempercepat perembesan air ke lahan gambut dan mengurangi asap. Sekali terbang, luas lahan yang disiram mencapai 100 meter persegi.
Selain itu, dikerahkan pesawat terbang khusus dilengkapi tangki air disebut Air Tractor. Pesawat itu bisa menampung air 3.200 liter. “Pengisian air dan penambahan aditif dilakukan di bandara,” ucap Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Raffles B Panjaitan.
Operasi penanggulangan itu dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah di bawah koordinasi BNPB. Menurut Sutopo, untuk pengeboman air di tujuh provinsi, yaitu Riau, Sumsel, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, BNPB mengerahkan 17 helikopter dan 4 Air Tractor.
Lahan gambut
Kebakaran di lahan gambut ternyata sulit dipadamkan karena bara akan menjalar di bawah permukaan. Saat kekeringan, bara di lahan gambut bisa menjalar hingga kedalaman lebih dari 1 meter. Karena “gerakan bawah tanah” itu, penyemprotan di permukaan tak efektif memadamkannya. Solusinya adalah memakai suntikan gambut yang disebut Sunbut.
Alat itu berupa pipa penyemprot sepanjang 60-70 sentimeter yang terhubung ke mobil tangki atau pompa air jinjing. Pemadaman dilakukan dengan menancapkan pipa ke dalam lahan gambut yang membara, lalu mengalirkan air. Setelah 30 menit dialiri air 6.000 liter, permukaan gambut kembali digerangi air. “Dalam kondisi demikian bisa padam,” kata Agus Kristiyono, pakar penanganan gambut dari Pusat Teknologi Sumber Daya Lahan dan Mitigasi Bencana BPPT.
Untuk mencegah pembukaan lahan dengan cara membakar, BPPT bersama Universitas Riau, Pemerintah Kabupaten Bengkalis, dan Masyarakat Peduli Api merintis uji coba pengolahan limbah perkebunan menjadi arang. Lalu, arang itu dipakai sebagai pupuk ataupun keperluan memasak. Pembuatan arang dalam kapasitas besar di Bengkalis memakai reaktor pembakaran dengan kapasitas tertentu. Dalam reaktor biocharge itu, material menyusut 40 persen jadi arang.
Sementara pemantauan kondisi lahan gambut memakai pemantau suhu, kelembaban, kecepatan dan arah angin, serta sensor kelembaban tanah. Dengan sinergi semua pihak dan inovasi teknologi, kebakaran hutan dan lahan pun bisa dicegah.–YUNI IKAWATI DAN J GALUH BIMANTARA
—————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 September 2015, di halaman 14 dengan judul “Menjinakkan Si Jago Merah”.