Peneliti dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia mengembangkan aplikasi penerjemah bahasa isyarat. Itu bisa menjembatani komunikasi penyandang tunarungu dan tunawicara dengan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA—Warga belajar bahasa isyarat Indoensia saat berlangsung Peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional di Car Free Day Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (6/10/2019). Kegiatan yang bertema “Hak Bahasa Isyarat Untuk Smeua” tersebut diisi dengan kegiatan pawai bersama, tanda tangan petisi, juga belajar bahasa isyarat Indonesia bagi masyarakat umum.
Kemampuan terbatas memakai bahasa isyarat menghambat komunikasi dengan penyandang tunarungu dan tunawicara. Hal itu membuat akses penyandang tunarungu dan tunawicara pada layanan publik terkendala. Teknologi informasi bisa menjembatani keterbatasan itu.
Menurut Federasi Tuli, jumlah penyandang tunarungu di dunia 72 juta orang. Di Indonesia, ada lebih dari 223.000 penyandang tuli dan 73.500 penyandang bisu tuli. Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Maryke Hutabarat, dalam siaran pers Pekan Tuli Internasional, 23-29 September 2020, mengatakan, banyak hak asasi penyandang tunarungu dan tunawicara tak terpenuhi karena keterbatasan akses terhadap bahasa isyarat.
Mereka sulit mengakses informasi dan pengetahuan karena banyak orang tak bisa berbahasa isyarat. ”Dengan memahami bahasa isyarat, kita mendukung terwujudnya masyarakat inklusif dan menjamin hak asasi penyandang tunarungu dan tunawicara,” katanya.
Bahasa isyarat jadi jembatan dialog bagi penyandang tunarungu dan tunawicara. Seseorang yang tak punya keterbatasan pendengaran perlu menguasai bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas itu. Minimnya orang yang mampu berbahasa isyarat membuat penyandang tunarungu dan tunawicara sulit berkomunikasi di masyarakat.
Kondisi itu mendorong peneliti yang juga dosen dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Erdefi Rakun, mengembangkan aplikasi untuk perangkat bergerak (mobile). Aplikasi itu menerjemahkan dan mentransformasi video gerakan sistem isyarat bahasa Indonesia (SIBI) dalam bentuk teks bahasa Indonesia.
Erdefi juga mengembangkan aplikasi penerjemah teks bahasa Indonesia menjadi animasi tiga dimensi (3D) gerakan bahasa isyarat.
Harapannya, aplikasi ini dimanfaatkan penyandang tunarungu dan tunawicara saat berada di tempat di mana banyak orang tak menguasai bahasa isyarat. ”Jadi, tak ada lagi hambatan komunikasi dua arah saat ada di masyarakat,” ujarnya.
SIBI merupakan bentuk bahasa isyarat yang banyak digunakan di pendidikan formal ataupun media informasi sebagai bahasa pengantar penyandang tunarungu dan tunawicara. Sistem bahasa isyarat ini diakui pemerintah.
Menurut Erdefi, pengembangan aplikasi ini butuh waktu lama. Pada 2012, ide pembuatan aplikasi penerjemah bahasa isyarat muncul saat ada anak tunarungu minta diajari pelajaran Agama. Itu sulit dilakukan karena penguasaan bahasa isyarat minim.
Akhirnya, ia mencari tahu pemakaian bahasa isyarat di Sekolah Luar Biasa Santi Rama. Semula, video gerakan SIBI dilakukan dengan kamera Kinect dari Microsoft yang menangkap gerakan secara 3D. ”Penggunaan kamera Kinect tak efektif karena tak semua orang punya perangkat ini. Pada 2016, kami mengembangkan dalam bentuk mobile phone agar mudah digunakan,” kata Erdefi.
Pemakaian perangkat berbeda membuat pengembangan dimulai dari awal. Migrasi dari sistem dalam kamera Kinect jadi aplikasi pada telepon pintar butuh waktu lama karena kemampuan kamera pada telepon pintar jauh di bawah kamera perangkat komputer. Dataset harus direkam ulang dengan kamera telepon.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA—Warga berkomunikasi dengan bahasa isyarat Indoensia saat berlangsung Peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional di Car Free Day Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (6/10/2019). Kegiatan yang bertema “Hak Bahasa Isyarat Untuk Smeua” tersebut diisi dengan kegiatan pawai bersama, tanda tangan petisi, juga belajar bahasa isyarat Indonesia bagi masyarakat umum.
Kemudian, pada 2018, aplikasi kedua untuk mengubah teks bahasa Indonesia ke bentuk animasi 3D gerakan SIBI mulai dikembangkan. Pada aplikasi ini, gerakan bahasa isyarat akan direkam melalui sensor dan setelah itu ditransformasikan dalam animasi bergerak.
Dari berbagai proses pengembangan yang dilakukan, kedua aplikasi ini akhirnya dapat selesai menjadi bentuk purwarupa (prototype) aplikasi bergerak (mobile apps) pada Juli 2020. Targetnya, aplikasi penerjemah bahasa isyarat yang dikembangkannya bisa dipasarkan pada awal 2021.
Pembuatan aplikasi tersebut didukung oleh sejumlah peneliti dari Lab Machine Learning and Computer Vision Fakultas Ilmu Komputer UI. Pengembangannya juga dibantu oleh para guru dan murid dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Santi Rama yang telah menguasai SIBI.
Sejumlah tantangan
Namun, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pembuatan aplikasi ini. Kamus SIBI memilki lebih dari 3.000 kata yang kemudian masih harus diolah dalam dataset kata dasar, kata berimbuhan, dan kalimat. Itu belum termasuk pada alfabet dan angka. Padahal, setiap gerakan isyarakat SIBI ini harus direkam satu per satu.
Dalam proses perekaman gerakan isyarat ini, peneliti menggandeng para guru dan murid dari SLB Santi Rama. Dengan begitu, gerakan yang digunakan pun bisa benar-benar sesuai. Ia mengklaim, sistem penerjemah yang dikembangkan ini mampu mengenali isyarat SIBI dengan tingkat akurasi sampai 98 persen.
Untuk membangun sistem penerjemah ini, Erdefi dan tim memakai perangkat MobileNet untuk mengekstraksi fitur video. Model Threshold Conditional Random Fields (T-CRF) juga dimanfaatkan untuk mengidentifikasi frame video yang dapat memilah gesture dan nongesture (gerakan transisi). Model long-short time memory (LSTM) Bidirectional 2-layer juga digunakan untuk melakukan klasifikasi proses perekaman gerakan isyarat.
Beberapa uji coba telah dilakukan ke sejumlah tenaga pengajar serta murid tunarungu dan tunawicara. Respons yang didapatkan cukup baik, bahkan beberapa orang tidak sabar untuk bisa segera memanfaatkannya.
Meski begitu, Erfina mengatakan, masih ada sejumlah pengembangan yang akan dilakukan. Pada aplikasi penerjemah dari teks ke dalam animasi 3D, tampilan yang ditunjukkan belum disertai dengan ekspresi wajah.
Padahal, ekspresi wajah dalam pengucapan bahasa isyarat merupakan intonasi dari tiap kata yang diucapkan. Selanjutnya, penerjemah bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) yang juga banyak digunakan oleh penyandang tunarungu dalam berkomunikasi terus dikembangkan.
“Aplikasi ini diharapkan bisa menjadi solusi atas persoalan yang sering dijumpai penyandang tunarungu dan tunawicara. Aplikasi ini juga bisa menjembatani keterbatasan komunikasi di masyarakat sehingga kesetaraan pun bisa semakin mereka rasakan,” katanya.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 28 September 2020