Menjejak Prasasti Sepersepuluh Umur Bumi

- Editor

Kamis, 14 Desember 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bentang alam di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, bak serpihan surga yang jatuh ke bumi. Gugusan bebatuan gamping yang menyeruak di antara lautan jernih membentuk lanskap memesona.

Bebatuan gamping ini yang membuat perairan laut setempat selalu bening. Tak heran, kawasan ini menjadi rumah bagi 70 persen dari jumlah karang dunia.

Tim Kompas menapaki bukit karst Dapunlol yang berketinggian sekitar 110 meter di atas permukaan laut di kawasan Misool Timur, Raja Ampat. Dari puncak ini terlihat gugusan pulau-pulau karst mini berbalut pohon hijau yang membentuk permadani laguna berwarna biru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pemandangan menawan juga tak hanya dari atas bukit. Hari-hari sebelumnya, tim Kompas juga menyambangi sebagian titik penyelaman di Misool bagian selatan, mulai dari Magic Mountain yang dihuni aneka biota eksotis hingga Wagmap Wall dan Forondi Cave yang penuh pesona. Sangat layak jika Raja Ampat mendapat status Taman Bumi (Geopark) Nasional pada20 November 2017.

FOTO-FOTO: KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Satwa endemis kalabia atau hiu berjalan (Hemiscyllium sp) ditemukan di perairan dekat Kampung Harapan Jaya, Misool.

Di Wagmap Wall terdapat lekukan dasar tebing yang memiliki rongga udara di bawah lautnya. Cekungan ini dihuni berbagai jenis karang lunak dan aneka jenis siput laut.

Menurut buku Pesona Fitur Geologi Bawah Laut Indonesia (Subaktian Lubis, 2016) yang diterbitkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, cekungan seperti ini bisa disebabkan abrasi dinding pulau oleh gelombang laut. Peristiwa alam ini diiringi kenaikan muka air laut atau penurunan daratan (subsidensi) pulau karst secara tektonik.

Kekayaan jejak geologi lain juga ditunjukkan Pulau Misool. Di tempat ini terdapat batuan yang terbentuk pada masa Quarter (1,6 juta tahun silam) di bagian sisi utara dan batuan malihan ligu yang berusia lebih dari 430 juta tahun (masa Paleozoikum) di sisi barat pantai selatan.

”Raja Ampat mewakili sekitar sepersepuluh umur bumi (4,5 miliar tahun),” kata Hanang Samodra, peneliti utama Pusat Survei Geologi Badan Geologi.

Tetap jernih
Selain faktor geologi, kekayaan hayati Raja Ampat juga tak diragukan lagi. Di bawah lautnya terdapat 553 jenis karang dan 1.470 jenis ikan karang serta sejumlah mamalia laut. Setidaknya ada 258 spesies burung di kawasan ini.

Keragaman biota ini didukung modal alami bukit karst dan substrat gamping di sekelilingnya. Menurut Subaktian Lubis (2016), kondisi ini menjadikan perairan bersih karena kalsium karbonat dapat memisahkan koloid atau endapan suspensi pada air keruh.

Ini terbukti saat penyelaman di Raja Ampat, 10-12 Oktober 2017. Kala itu cuaca tak terlalu bersahabat. Kondisi bawah laut tak terlalu terang karena langit dipenuhi awan gelap yang membawa hujan dan gelombang. Biasanya pada kondisi demikian, perairan akan keruh dan jarak pandang terbatas. Tidak demikian dengan Misool. Kondisi bawah perairan tidak keruh dan jarak pandang baik atau lebih dari 20 meter. Hanya saja, penetrasi sinar matahari yang terbatas itu memengaruhi ”suasana” visual foto ataupun video.

Alam yang masih terpelihara ini juga membuat penyelaman malam pada Selasa (10/10), yang ”hanya” dilakukan di perairan pinggir Kampung Harapan Jaya, tim Kompas sudah bisa bertemu dengan kalabia atau hiu berjalan, endemis Raja Ampat. Biota sepanjang 70 sentimeter ini tak seperti kerabatnya yang lebih dikenal bergerak dengan cara berenang. Kalabia menggunakan siripnya untuk berjalan.

Kerabat lain, hiu wobbegong, yang memiliki rumbai di bagian mulut, tampak di Magic Mountain. Hiu ini sekilas sulit dikenali karena warna kulitnya putih/krem, mirip substrat dasar tempatnya menanti mangsa.

Budaya
Dari sisi budaya, Raja Ampat memiliki kearifan lokal yang mirip dengan orang-orang Maluku. Mereka memiliki budaya sasi dalam mengelola lautnya. Aturan berupa kesepakatan dalam adat ataupun gereja ini berisi larangan menangkap biota tertentu dalam waktu tertentu. Kini kearifan ini dikembangkan dengan membatasi ukuran biota tangkapan.

Tujuannya memberi kesempatan biota, seperti teripang, lola, dan kerang, untuk berkembang biak. Dengan demikian, keberadaan populasi biota laut ini tetap terjamin di alam.

Kekayaan kultur lain juga ditemukan dalam jejak seni yang berasal dari zaman prasejarah berupa gambar-gambar di cadas atau tebing-tebing bukit. Setidaknya terdapat 30 situs di Misool yang menampakkan gambar cadas berwarna merah dengan bentuk telapak tangan, lumba-lumba, paus, dan pari manta ataupun biota laut lain.

Tim Kompas sempat melihatnya di Sunbayo, di area Selat Panah-panah, Misool. Meski berada di tebing, gambar ini mudah terlihat karena posisinya sejajar orang dewasa berdiri di atas perahu.

Ahli komunikasi visual dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Pindi Setiawan, menilai, gambar cadas di Misool kemungkinan dibuat oleh lebih dari satu suku bangsa yang bermigrasi dan dari generasi yang berbeda. Hal ini terlihat dari kondisi gambar yang tumpang tindih dan tidak beraturan. Namun, ditilik dari jenis dan polanya, Pindi memperkirakan, kebanyakan gambar cadas itu diduga sebagai peninggalan suku bangsa Austronesia yang berlayar dari Pulau Formosa, Taiwan, dan melintasi Raja Ampat. Gambar cadas itu diprediksi berusia tidak lebih dari 3.000 tahun sesuai dengan masa mereka berlayar.

Hanya saja, kata Pindi, ada beberapa gambar cadas yang kemungkinan lebih tua dari 3.000 tahun, terletak di ketinggian lebih dari 3 meter. ”Bisa jadi gambar cadas ini merupakan peninggalan suku bangsa pra-Austronesia,” ujarnya.

Dengan segala modal alam dan kulturnya, Raja Ampat masih punya banyak alasan untuk menyandang Taman Bumi Global (UNESCO Global Geopark) yang kini sedang diupayakan. Sebuah status yang menjadikannya sebagai ”milik” dunia yang tak ternilai.

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat Yusdi Lamatenggo berharap status tersebut bisa mengangkat kesejahteraan warga setempat. Tentu saja, dengan tetap mempertahankan kearifan lokal. (JAL/INK)–ICHWAN SUSANTO & HARRY SUSILO

Sumber: Kompas, 13 Desember 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB