Tak banyak lagi masyarakat Nusantara tertarik membudidayakan tanaman sagu. Namun, pemandangan di Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, amat berbeda.
Hamparan tanaman sagu di wilayah berpenduduk 3.864 jiwa itu merupakan primadona penopang perekonomian masyarakat.
Kepala Desa Bokor Aminullah mengatakan, 70 persen penduduk setempat adalah petani sagu dan karet. Kedua jenis tanaman itu dikelola turun-temurun di Kepulauan Meranti. Hasil panen juga diolah menjadi beragam jenis pangan yang nikmat. Sebut saja mi dan sempolit, makanan pokok orang Meranti, sejenis bubur mutiara yang disantap dengan kuah gulai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengetahui sagu membutuhkan lahan basah, warga Bokor menjaga rawa gambut setempat dari kekeringan agar terhindar dari kebakaran. Sagu tumbuh baik dan terus meluas. Di Bokor, kita tidak akan menemui kanal sebagaimana kerap didapati pada rawa gambut yang menjadi perkebunan. Saluran air yang ada disebut masyarakat sebagai tali-tali air. Bentuknya parit dangkal selebar 30 sentimeter dengan kedalaman satu jengkal.
Tali air itu berfungsi sebagai pembatas kebun warga. Selain itu, ketika musim hujan, tali air mengalirkan air yang berlebih ke saluran kecil (got) desa agar hutan sagu dan karet tidak tergenang seperti rawa-rawa. “Kanalisasi berbahaya karena ketinggian Bokor cuma 5 meter di atas permukaan laut. Kalau menggali kanal, air laut akan masuk dan membunuh tanaman,” jelasnya.
Masyarakat desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, menyekat sungai Parit Kekat agar debit air di lahan gambut mereka tetap stabil. Penyekatan ini dilakukan sejak pertengahan tahun 2014 karena pengalaman pahit kebakaran lahan yang menimpa Pulau Tebingtinggi akibat kekeringan di lahan gambut.
Di Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, warga menerapkan penyekatan anak Sungai Tohor, yakni Parit Kekat, untuk menjaga kebasahan lahan gambut dan hutan sagu mereka. Sebab, wilayah selatan pulau sudah dikonsesi perusahaan PT National Sago Prima yang membuat kanal di sekeliling wilayah.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Abdul Manan, petani sagu di Desa Sungai Tohor, Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Selasa (27/10), menunjukkan sekat kanal sederhana yang terbuat dari papan kayu. Sekat kanal menjaga rawa gambut tetap basah sehingga menghindarkan desa itu dari bahaya kebakaran yang sebelumnya selalu terjadi saat musim kemarau.
Kanal dimanfaatkan sebagai lalu lintas sampan kayu, moda pengangkutan gelondong sagu. Namun, menurut Abdul Manan, petani sagu dari Sungai Tohor, debit air di lahan gambut masyarakat berkurang, terutama di desa selatan Pulau Tebingtinggi seperti Kepau Baru. Kekeringan mengakibatkan kebakaran pada akhir Januari 2014 yang menghabiskan perkebunan sagu warga Desa Kepau Baru yang lahannya kering.
Sekretaris Desa Kepau Baru Kamaruddin menceritakan, kanal mengakibatkan air gambut mengalir ke laut sehingga lahan warga kering. Berbeda dengan gambut di Bokor atau Sungai Tohor, di Kepau Baru gambutnya seperti gundukan serbuk teh karena tidak mengandung air. Ketika berjalan di atasnya, kaki terasa berat.
Kebakaran mengakibatkan warga Kepau Baru kehilangan mata pencarian. Tunas-tunas sagu butuh tumbuh dalam 12 tahun. “Akhirnya, warga mencari pekerjaan sambilan sebagai buruh harian lepas di perkebunan milik perusahaan,” ujar Kamaruddin.
Mengantisipasi hal tersebut, warga menyekat Parit Kekat agar airnya tidak mengalir ke laut dan tetap membasahi rawa itu. Ada 13 sekat yang terbuat dari papan-papan kayu. Untuk memperkuat, sekat juga disumpal dengan plastik dan kulit batang sagu. Kini, rawa di wilayah itu selalu basah dan kebakaran tidak pernah terjadi lagi.
Di tengah kebakaran lahan masif di sejumlah daerah, rawa gambut warga Bokor tetap aman. (DNE)
———————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Oktober 2015, di halaman 21 dengan judul “Menjaga Rawa Gambut, Menuai Berkat Sagu”.