Mempertahankan lahan gambut tetap basah dengan tinggi muka air kurang dari 20 cm di bawah permukaan gambut diyakini bisa mencegah terjadinya kebakaran lahan gambut.
Sebagian besar kebakaran di lahan gambut terjadi pada saat tinggi muka air tanah berada pada kedalaman 30 hingga 39 sentimeter di bawah permukaan gambut. Oleh karena itu, lahan gambut terdegradasi harus selalu dipertahankan dalam kondisi basah dengan tinggi muka air kurang dari 20 cm di bawah permukaan gambut.
Pengajar Kebakaran Hutan Departemen Silvikultur IPB University, Erianto Indra Putra, mengemukakan, setelah terbakar, lahan gambut akan mengalami penurunan muka air tanah. Akibatnya, lahan gambut akan cepat kering dan meningkatkan kerentanan gambut untuk terbakar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ini terdeteksi berdasarkan pengamatan karhutla pada 2006. Dari pengamatan tersebut, kebakaran mulai terjadi pada saat tinggi muka air tanah berada 20 sentimeter di bawah permukaan gambut. Bahkan, lebih dari 100 titik panas terdeteksi pada saat tinggi muka air tanah mencapai 40 cm di bawah permukaan gambut.
”Dari pengamatan tersebut, kami merekomendasikan nilai 40 cm di bawah permukaan gambut menjadi ambang batas untuk mencegah kebakaran pada lahan gambut,” ujar Erianto dalam diskusi daring, Jumat (3/7/2020).
Hasil pengamatan juga menyimpulkan terdapat jeda waktu antara tinggi muka air tanah dan presipitasi atau curah hujan. Jeda waktu ini menunjukkan bahwa lahan gambut telah kehilangan kapasitas menyerap dan menahan air secara efektif dari air hujan.
Hilangnya kapasitas menyerap air membuat gambut tetap kering meskipun intensitas hujan mulai meningkat. Muka air tanah dan lahan gambut di daerah tersebut hanya akan pulih setelah mendapat banyak pasokan air dari presipitasi secara terus menerus.
Pengajar Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jambi, Asmadi Saad, mengatakan, saat ini telah berkembang pemantauan muka air tanah di lahan gambut melalui pengukuran manual, logger data, dan telemetri.
Pengukuran secara manual dilakukan dengan cara membuat lubang dan memasukan alat ke dalam sensor atau menggunakan meteran. Adapun pengukuran menggunakan logger data dilakukan dengan cara memasang alat tersebut dan setiap dua minggu atau satu bulan sekali data tersebut diunduh.
Sementara pengukuran telemetri dilakukan dengan sistem bernama SESAME yang dibuat oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Teknologi ini memiliki sensor untuk penentuan muka air, curah hujan dan pergerakan tanah. Nantinya data dikirimkan secara real time yang dihimpun di server BPPT.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO—Asep Andi Yusup, karyawan PT Mayangkara Tanaman Industri di bagian pengelolaan air, Senin (18/3/2019), di area konsesi perusahaan tersebut di Kalimantan Barat, menunjukkan sistem otomatis-mekanis irigasi gambut yang berfungsi mengatur keluarnya air dalam penanaman sehingga tinggi muka air tanah di seluruh areal penanaman stabil.
Selain itu, Asmadi mengungkapkan, sejumlah upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan juga telah dilakukan di Jambi. Kepolisan dan pihak swasta seperti PT Telkom telah memasang kamera pemantau (CCTV) 360 derajat dengan radius mencapai 4 kilometer untuk memantau munculnya titik api lebih cepat.
Upaya persuasif
Guru Besar Bidang Perlindungan Hutan IPB University Bambang Hero Saharjo menyampaikan, kebakaran di lahan gambut terjadi ketika api muncul di permukaan lahan. Munculnya api ini belum membakar lahan gambut secara luas. Namun, hal ini kemudian dapat terekskalasi menjadi kebakaran gambut jika aktivitas seperti meningkatkan tinggi muka air tidak dilakukan dengan baik.
Bambang menilai pengendalian karhutla jangan hanya bergantung pada penggunaan alat berat dan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Padahal, penggunaan alat berat dan TMC juga memiliki kendala dan keterbatasan. TMC tidak bisa digunakan apabila asap sudah mulai muncul karena akan membahayakan pesawat yang membawa bahan semai.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO—Karyawan PT Mayangkara Tanaman Industri, Senin (18/3/2019), mengecek peralatan sensory data transmission service assited (SESAME 3) di area konsesi hutan tanaman industri di Kalimantan Barat. Teknologi dari Midori Engineering Jepang ini pengembangan SESAME 2.
Dari sejumlah fakta lapangan, kata Bambang, sebagian besar kebakaran di lahan gambut terjadi karena faktor manusia. Maka, faktor manusia ini seharusnya menjadi fokus agar dapat dikendalikan.
Cara terbaik mencegah karhutla, menurut Bambang, dengan mengandalkan informasi lapangan yang lebih mikro dan didasarkan pada hasil penelitian. Cara persuasif ini dinilai lebih efektif menanggulangi karhutla daripada menggunakan alat berat yang cenderung lebih banyak mengeluarkan biaya dan tidak mendidik.
Oleh PRADIPTA PANDU
Sumber: Kompas, 3 Juli 2020