Dengan masuknya Dikti di Kemenristek dan pergantian rektor di beberapa perguruan tinggi, kita mendapat kesempatan membahas masa depan pendidikan.
Salah satu tulisan yang patut menjadi renungan kita yang bekerja di pendidikan tinggi ialah artikel Sulistyowati Irianto, ”Seruan kepada Menristek dan Dikti” (Kompas 6/11/2014). Saya menyokong sepenuhnya seruan itu bahwa PT di Indonesia harus diberi kebebasan mengurus rumah sendiri, lepas dari kementerian yang menaunginya.
Tujuan artikel saya ialah melanjutkan pembahasan Sulistyowati, yang sudah cukup menguraikan kekurangan sistem pendidikan tinggi dari sisi kelemahan pengelolaan dan birokrasi. Saya akan membatasi pada hal-hal yang bersangkutan dengan sistem pengajaran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya bertolak dari Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Semula saya berpandangan bahwa dokumen ini sangat penting dan perlu dibaca saksama oleh semua pengajar di PT di Indonesia. Dokumen ini menjelaskan secara lengkap dan terperinci dengan pemberian definisi dan perumusan seperlunya, standar pendidikan tinggi, mulai dari ketentuan pembagian kurikulum dari tingkat D-1 ke S-3, kualifikasi yang dikehendaki dari dosen, hingga biaya pendidikan.
Namun, kelengkapan dokumen seperti ini mengandung risiko, yaitu menjadi terlalu preskriptif dan bersifat perintah. Sebagaimana Sulistyowati berpendapat, ”Hindarkan homogenisasi PT. Berikanlah ruang kebebasan kepada PT untuk merancang kurikulum sendiri.”
Artinya, PT perlu kebebasan untuk mengatur sendiri asal kegiatannya transparan, dapat diperiksa dengan mudah oleh khalayak, kinerjanya selalu diawasi oleh pihak berwenang, dan kalau perlu, mengusulkan tutupnya setiap lembaga yang tidak memenuhi standar (akuntabel).
Saya mau mencontohkan peraturan yang bersifat preskriptif, satu dari UU Sisdiknas 2003, satu dari Permen. Dua-duanya, berdasarkan pengalaman saya berpuluh tahun berkecimpung di pendidikan di Indonesia, mengongkong kebebasan dan kreativitas PT. Maka, sistem pengajaran di PT di Indonesia seakan dilumpuhkan dan tidak dapat mencapai taraf tinggi.
Mata kuliah wajib
Pertama, UU Sisdiknas 2003 Pasal 37 Ayat 2 yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah agama, kewarganegaraan, dan bahasa (maksudnya barangkali bahasa Indonesia).
Agama dan kewarganegaraan sudah dipelajari sejak SD sehingga sebenarnya tidak perlu di tingkat PT. Sebaiknya mereka sebagai orang dewasa diberi kesempatan untuk mencari dan mempertimbangkan hakikat agama dan makna kewarganegaraan lewat bahan-bahan pilihan mereka. Toh, bekal dari SD-SMA cukup banyak. Tidak ada ruang untuk membenarkan pandangan saya ini, tetapi banyak sekali dosen dan mahasiswa sependapat.
Kedua, sistem kredit semester (SKS) sebagian diterangkan dalam Permen. Sebetulnya usaha standardisasi SKS di Indonesia patut dihargai karena manfaatnya lebih banyak daripada mudaratnya. Tidak masalah kalau semua PT diwajibkan menetapkan pencapaian 144 SKS sebagai syarat lulus sarjana. Sayang, aturan kementerian yang menentukan isi 1 SKS kurang pas.
Pra-anggapan dasar di Permen ialah bahwa setiap minggu mahasiswa sepatutnya belajar 8 jam sehari dan 48 jam seminggu (Pasal 17). Pra-anggapan ini boleh diterima (sebagai bandingan, mahasiswa di Inggris dihitung bekerja 8 jam sehari—tetapi cuma 40 jam seminggu karena dua hari libur untuk kegiatan pribadi, seperti olahraga dan hiburan.
Di Indonesia, delapan semester (empat tahun) dikira jangka waktu biasa untuk mencapai 144 SKS, perhitungan kuliah per semester 18 SKS. Namun, bagaimana kita menafsirkan 18 SKS itu? Berapa banyak mata kuliah dibutuhkan untuk 18 SKS?
Pada titik ini timbul tanda tanya atas kebijakan kementerian. Permen (Pasal 16):
(1) 1 Sks pada bentuk pembelajaran kuliah, responsi dan tutorial, mencakup:
a. Kegiatan belajar dengan tatap muka 50 menit per minggu per semester.
b. Kegiatan belajar dengan penugasan terstruktur 50 menit per minggu per semester.
c. Kegiatan belajar mandiri 60 menit per minggu per semester.
Kalau penetapan ini diikuti, dapat dihitung bahwa untuk mencapai 1 SKS, mahasiswa harus belajar 160 menit, dan 18 SKS memakan waktu 48 jam. Namun, apa ini berarti seorang mahasiswa harus belajar 18 mata kuliah setiap minggu? Jelas tidak karena mata kuliah terdiri atas beberapa SKS.
Karena di PT setiap mata kuliah dihitung 3 SKS—banyak yang 2 SKS dan 4 SKS, tetapi rata-rata 3— mahasiswa harus mengambil 6 mata kuliah per semester. Jumlah ini terlalu banyak. Mahasiswa terpaksa membagi perhatian ke terlalu banyak topik dalam satu minggu sehingga tidak sempat menguasai satu pun di antaranya. Bandingkan dengan sistem Inggris , mahasiswa hanya mengambil empat mata kuliah, masing-masing 10 jam per mata kuliah.
Untuk menambah jumlah SKS pada mata kuliah agar rata-rata muatan setiap mata kuliah 5 SKS, ada ketentuan SKS yang tidak boleh disentuh. Seandainya satu mata kuliah dihitung 5 SKS, tatap muka di kuliah harus sekurang-kurangnya 5 kali 50 menit, yaitu 250 menit kuliah, dan penugasan terstruktur—yang sebenarnya tidak jelas maknanya—harus demikian pula. Semuanya itu tidak mungkin.
Jadi, masalah ini terletak pada ketetapan/peraturan yang mengongkong PT. Ada pra-anggapan bahwa 1 SKS harus terdiri atas 50 menit (sebenarnya dalam kenyataan 1 jam). Semestinya kementerian memikirkan lagi rasio antara jam tatap muka dan pelajaran mandiri.
Rasio di Inggris
Di Inggris bandingannya 2:8, berarti untuk setiap mata kuliah yang terdiri atas 10 jam, mahasiswa harus belajar 8 jam mandiri. Belum tentu rasio ini baik untuk semua mata kuliah sehingga di setiap universitas di Inggris, para pengelola sistem pendidikan (senat) diberi wewenang mengubah rasio sesuai kebutuhan pelajar.
Demikian berdasarkan uraian di atas ada sekurangnya tiga hal yang dapat diusulkan: 1) kementerian harus membebaskan PT menentukan sistem pengajaran, tanpa diikat pada perhitungan nilai satu SKS; 2) jumlah mata kuliah setiap minggu harus dikurangi; 3) bandingan jam tatap muka dan jam belajar mandiri mendekati 2:8.
Dengan demikian, PT memiliki ruang gerak untuk mengurus sistem pengajaran sesuai kebutuhan mahasiswa, perkembangan teknologi pendidikan, dan teori pedagogi baru.
Kedua, dengan memfokus pada empat mata kuliah, mahasiswa berpeluang belajar secara mendalam dan berkesempatan bersikap kritis terhadap inti mata pelajaran.
Ketiga, kalau mahasiswa diwajibkan lebih banyak waktu belajar sendiri, mereka akan berusaha lebih keras mengasah otak untuk mengerti apa yang mereka baca dan ungkapkan. Mereka akan cepat belajar mandiri, tidak tergantung pada sistem suapan (spoon-feeding) seperti sekarang.
Dengan bentuk sistem pendidikan semacam ini, kemungkinan besar kita dapat mencipta lulusan PT yang pikirannya tajam, mengerti bagaimana menguraikan masalah, dan mencari pemecahannya.
Conrad William Watson
Profesor School of Business and Management ITB dan Profesor (Emeritus) School of Anthropology, University of Kent, UK
Sumber: Kompas, 16 Januari 2015