Penginderaan jauh bisa menyediakan data penurunan tanah secara luas dan cepat di Indonesia. Namun, metode itu tetap harus dilengkapi dengan pengukuran secara langsung untuk memperoleh data detail penurunan tanah.
Indonesia memiliki sebaran tanak lunak yang cukup luas. Pantai timur Sumatera, utara Jawa, pesisir selatan Kalimantan, hingga barat daya Papua adalah sebagian daerah yang memiliki tanah lunak. Padahal, justru di wilayah itu berdiri banyak pusat ekonomi, pemerintahan, hingga konsentrasi penduduk yang tinggi.
Pada tanah lunak itulah biasanya terjadi penurunan tanah. ”Penurunan tanah dapat terjadi secara alami sebagai bentuk konsolidasi (tanah), gangguan alam, atau ulah manusia,” kata Guru Besar Geoteknik Lingkungan Universitas Tarumanagara Jakarta Chaidir Anwar Makarim, di Jakarta, Minggu (15/3/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanah lunak yang umumnya ada di pesisir atau sisi aliran sungai itu terbentuk dari luapan air yang membawa sedimen dan berlangsung lama. Sedimen itu sejatinya bukan tanah, melainkan ”air kental” yang butuh waktu menjadi tanah. Karena itu, penurunan tanah adalah proses alami sedimen sebelum menjadi tanah.
Aktivitas manusia, mulai dari penambangan atau pengambilan berbagai mineral dalam tanah, penyedotan air tanah secara berlebihan, hingga pembebanan dari bangunan yang terlalu besar bisa mempercepat turunnya tanah.
Kecepatan turunnya tanah antarwilayah amat bervariasi. Di Jakarta, kerentanan tinggi ada di wilayah utara dan barat, tetapi relatif kecil di sisi selatan. Di Jakarta Utara, tanah turun sebesar 4,1 meter selama 36 tahun antara 1974 dan 2010 atau 11,39 sentimeter per tahun. Namun, di Jakarta Selatan dalam periode sama penurunan tanah hanya mencapai 0,25 meter atau 0,69 sentimeter per tahun.
Selain memicu kerusakan bangunan di atasnya, menurut Taufiq Wira Buana dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam diskusi kelompok terarah bertema ”Land Subsidence: Observation and Prevention” di Jakarta, Rabu (26/2/2020), turunnya muka tanah meningkatkan risiko banjir, rob, amblesan, hingga turunnya muka air tanah setempat.
Meski berdampak serius dan jadi isu nasional, data besaran dan laju penurunan tanah belum tersedia secara luas. Padahal, ketersediaan data itu penting untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Tujuan 11 tentang kota dan komunitas yang berkelanjutan dan Tujuan 13 yang terkait dengan perubahan iklim.
”Penurunan tanah bukan hanya terjadi di Jakarta, melainkan juga di kota-kota lain,” kata peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Pusfatja Lapan), Dipo Yudhatama.
Pemerintah pun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 memiliki proyek pengamanan lima perkotaan pesisir pantai utara Jawa, yaitu Jatabek (Jakarta, Tangerang, Bekasi), Cirebon Raya, dan Pekalongan Raya.
Demikian pula di kawasan Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi), dan Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan). ”Penyebab turunnya tanah di tiap kota berbeda,” ujarnya.
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA–Banjir rob yang terjadi di Pantai Talise, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah, akibat penurunan muka tanah yang dipicu gempa bumi pada 28 September 2018. Foto diambil Jumat (10/1/2020).
Terhalang awan
Kepala Pusfatja Lapan M Rokhis Khomarudin mengatakan, data penurunan tanah itu diambil menggunakan instrumen synthetic aperture radar (SAR) yang ada di satelit radar, seperti Sentinel-1 dan TerraSAR-X/Tan-DEM-X. Data radar itu banyak tersedia. Namun dibandingkan data optik, data radar belum dimanfaatkan secara luas di Indonesia.
Satelit radar bisa mengumpulkan data permukaan bumi tanpa takut terhalang awan, seperti yang sering dijumpai pada proses pengumpulan data satelit optik. Selain itu, sensor SAR bersifat aktif atau tidak mengandalkan sinar matahari untuk mengindera obyek di bumi hingga perekaman data dapat dilakukan siang dan malam.
Dengan demikian, data radar tentang permukaan bumi biasanya lebih lengkap dibandingkan data optik. ”Sebagian data SAR juga memiliki resolusi spasial sangat baik, antara 1,5 meter dan 3 meter,” katanya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Barang milik warga yang masih ditinggalkan setelah hunian mereka dirobohkan karena terdampak proyek normalisasi kanal banjir timur di Tambakrejo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (9/5/2019). Mereka menempati kawasan tersebut secara ilegal di sepanjang bantaran sungai. Kawasan kanal banjir timur tersebut ditata ulang kembali untuk mencegah banjir dan pasang air laut di sekitar pesisir utara Kota Semarang.
Meski demikian, pengukuran penurunan tanah dengan penginderaan jauh tetap memiliki kelemahan. Data yang didapat hanya bisa mengukur besaran dan laju turunnya tanah, tidak bisa diketahui data detail turunnya tanah, seperti penyebab, rentang waktu, hingga terjadi di lapisan tanah yang mana penurunan tersebut.
”Pengukuran turunnya tanah tanpa mengetahui sebabnya dan sampai kapan penurunan itu akan melambat atau berhenti akan menghasilkan data penurunan tanah yang tidak lengkap,” kata Chaidir.
Padahal, lengkapnya data penurunan tanah itu sangat penting untuk pengambilan kebijakan guna mencegah berlanjutnya penurunan tanah atau pengamanan infrastruktur yang dibangun di atas tanah tersebut.
Sebagai contoh, penyebab turunnya tanah di Jakarta Utara tidak terkait dengan penyedotan air tanah karena tanahnya sangat lunak, bisa disebut sebagai tanah yang belum utuh. Tanpa penyedotan air tanah pun, tanah di sana akan tetap turun.
Karena itu, penggabungan dua metode penentuan penurunan tanah, melalui penginderaan jauh dan pengukuran langsung di lapangan, sangat diperlukan guna memperoleh data yang komprehensif. Data penginderaan jauh bisa menghasilkan data penurunan tanah secara cepat dan luas, sedangkan pengukuran langsung bisa memperoleh hasil yang akurat dan bisa menjelaskan lebih detail penurunan tanah yang terjadi.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 16 Maret 2020