Emisi gas rumah kaca yang terus meningkat, kian mengacaukan pola iklim global. Banyak negara berkomitmen mengurangi pelepasannya dengan mengembangkan teknologi mereduksi pelepasan GRK ke atmosfer. Standar dunia pengukuran pun ditetapkan untuk mengetahui tingkat pengurangannya terkait skema kompensasi.
Emisi gas-gas yang dilepaskan ke atmosfer dari berbagai aktivitas manusia di bumi menimbulkan efek rumah kaca di atmosfer. Gas-gas rumah kaca itu adalah karbon dioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC). Gas karbon sebagai pencemar utama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, batu bara, dan bahan bakar organik lain.
Gas karbon itu terakumulasi di lapisan atmosfer karena tak terserap tumbuhan atau kawasan hutan di darat dan padang lamun serta rumput laut di perairan yang luasannya menciut. Sementara paparan panas matahari, terutama radiasi inframerah, tak bisa terpantul keluar atmosfer karena tertahan lapisan gas rumah kaca (GRK) yang menebal di lapisan udara atas. Itu menyebabkan suhu Bumi terus naik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO (ICH)–Aktivitas tambang fosil itu tampak dari atas pesawat Kamis (4/2/2016), sesaat sebelum mendarat di Berau, Kalimantan Timur. Pemerintah berusaha meningkatkan permintaan batubara dari dalam negeri untuk membuka pasar dengan membangun pembangkit listrik tenaga uap. Upaya ini ditentang aktivitas lingkungan karena akan meningkatkan emisi gas rumah kaca yang tak konsisten dengan semangat memerangi perubahan iklim.–Kompas/Ichwan Susanto
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), peningkatan konsentrasi GRK akibat aktivitas manusia itu menjadi penyebab utama naiknya suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20. Model iklim yang dijadikan acuan oleh IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 derajat celsius antara tahun 1990 dan 2100.
Kesimpulan itu dikuatkan hasil riset oleh 30 badan ilmiah dan akademik dunia. Salah satunya adalah lembaga riset di Amerika Serikat, Scripps, yang mengukur emisi Karbon dioksida di Mauna Loa Observatory dari Juli 1958 hingga juli 2017. Hasilnya menunjukkan, emisi CO2 pada 1958 masih 315 bagian per sejuta (part per million/ppm) naik mencapai lebih dari 350 ppm tahun 1990. Pada Juli 2015, emisi CO2 menjadi 401,61 ppm, naik terus hingga 407,25 pada juli 2017.
Perhitungan simulasi yang dihasilkan IPCC, efek rumah kaca meningkatkan suhu rata-rata Bumi 1 hingga 5 derajat celsius. Jika kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang, itu akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 derajat celsius sekitar tahun 2030. Menghangatnya suhu global itu tentu menimbulkan perubahan kondisi lingkungan bumi, terutama kekacauan pola cuaca dan iklim.
Untuk menekan dampak negatif itu, setiap negara kemudian meratifikasi Kesepakatan Paris dan berkomitmen untuk menjaga kenaikan suhu kurang dari 2 derajat celsius. Dalam kaitan itu, masing-masing negara menargetkan pengurangan emisi GRK, terutama karbon, dalam kurun waktu tertentu.
Pemerintah Indonesia menetapkan target penurunan emisi karbon dari semua sektor pada tahun 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau sampai 41 persen dengan bantuan pendanaan dari luar negeri. Pada target penurunan 41 persen itu, pemerintah berharap menjalin kerja sama dengan negara maju yang memiliki tingkat emisi karbon tinggi, melalui mekanisme “perdagangan karbon”.
Standardisasi
Upaya mereduksi emisi gas rumah kaca yang menjadi tren dunia itu mendorong penetapan standar internasional untuk pengukurannya. Usulan penetapan standar dunia di bidang GRK itu diajukan Indonesia, dalam hal ini Badan Standardisasi Nasional (BSN), kepada Organisasi Standardisasi Dunia (International Organization for Standardization /ISO) pada tahun 2010. “Namun, hal itu baru disetujui dibahas dan dirumuskan pada April 2015,” kata Kepala BSN Bambang Prasetyo.
Setelah melalui pembahasan panjang, pada 25 Juni lalu, ISO yang berkantor pusat di Geneva, Swiss, akhirnya menetapkan standar ISO 14080 yakni tentang manajemen gas rumah kaca dan aktivitas terkait. Proposal pembuatan standar ISO yang baru ini dilatarbelakangi target pengurangan GRK yang harus dipenuhi Pemerintah Indonesia pada tahun 2020, yang disampaikan dalam Kesepakatan Paris.
Pada metode pengukuran, menurut Kristianto W, pimpinan (Convenor) proyek penyusunan ISO 14080, diatur cara pelaporan nasional yang merupakan agregasi jumlah emisi per sektor dan dari tiap wilayah kabupaten atau kota. Panduan pengukuran standar itu juga disusun terkait dengan mutu dan tingkat ketelitian, jenis peralatan, dan kemampuan tenaga pelaksana.
Standar metode pengukuran GRK menyangkut aspek mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan global. Penetapan standar dunia itu nantinya berimbas pada pelabelan produk. Pada pembuatan suatu produk, setiap tahap harus menyebut tingkat emisi karbon yang dihasilkan. Itu menuntut penggunaan mesin atau alat yang ramah lingkungan dengan emisi karbon rendah.
” Manfaat yang didapat dengan terbitnya ISO 14080 antara lain, ada kerangka kerja umum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata Kristianto yang juga sebagai Kepala Pusat Informasi dan Dokumentasi Standardisasi BSN.
Manfaat yang didapat dengan terbitnya ISO 14080 antara lain, ada kerangka kerja umum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Standar itu juga membantu pemerintah mengembangkan kebijakan pengelolaan perubahan iklim dan menentukan investasi. Secara lebih luas, standar itu membantu organisasi dalam pengukuran dan pelaporan, mengurangi risiko, dan meningkatkan peluang atas aksi perubahan iklim yang dilakukan bersama-sama dengan organisasi atau pemerintah lain.
Sektor pertanian
Di sektor pertanian, sumbangan emisi GRK, terutama metana, mencapai 6-7 persen dari total emisi di tingkat nasional. Penelitian menunjukkan, gas metana di atmosfer berperan menangkap panas 20 kali lebih banyak dibandingkan karbon dioksida. Metana berasal dari produksi gas alam, dan minyak bumi, serta dari pembusukan limbah organik dan dikeluarkan oleh ternak ruminansia, terutama hewan memamah biak seperti sapi.
Untuk memenuhi target penurunan emisi GRK di Indonesia, riset di sektor pertanian dilakukan sejak 2016. Ali Pramono dari Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian telah merancang alat pengukur gas rumah kaca di lahan pertanian secara otomatis.
Alat tersebut telah memperoleh paten. Adapun alat serupa untuk pengukuran emisi gas metana dan nitrogen khusus di lahan persawahan sedang dalam proses pengajuan paten.
Di persawahan, emisi metana dilaporkan Ali Pramono, lebih tinggi dibandingkan data IPCC. Di Indonesia yang tergolong wilayah tropis basah emisi metana 1,61 kilogram per hektar per hari, sedangkan data IPCC 1,1 kilogram per hektar per hari.
Maka dari itu, untuk pengurangi emisi gas metana di areal persawahan, teknik budidaya dikembangkan sejak tahun 2016. Untuk menekan tingkat emisi ini, sistem pertanian cerdas iklim dikembangkan, yakni mengatur pengairan di sawah untuk mengurangi genangan pada perakaran padi, agar menekan emisi gas metan. Kombinasi perlakuan ini memakai varietas padi Ciherang yang memberi hasil tinggi dengan emisi CH4 rendah.
Di sektor peternakan, pengukuran dan pengurangan emisi metana dari ternak sapi dilakukan peneliti di Balai Penelitian Peternakan Balitbangtan. Data IPCC menyebut, gas metana yang dikeluarkan sapi perah di wilayah Asia 51 kilogram per tahun dan sapi potong 47 kg per tahun.
Sementara riset yang dilakukan Yeni Widiawati, peneliti dari Balai Penelitian Peternakan Balitbangtan menunjukkan, emisi gas metana dari sapi di Indonesia lebih rendah yakni sapi perah 41 kg per tahun dan sapi potong 36 kg per tahun.
Sistem pengukur gas metana yang dikeluarkan sapi menggunakan kotak tempat pakan dilengkapi sensor yang disebut Green Feed. Selain itu, diterapkan peranti lunak aplikasi ALU (Agriculture and Land Use) Tool yang dapat menghitung seketika emisi GRK dari pertanian dan peternakan.
Hasil analisis komputer itu diperoleh dengan memasukkan data statistik dan hasil riset di lapangan. “Sistem pengukuran tersebut mengacu pada standar pengukuran GRK yang baru,” kata Yeni.
Kepala Balitbangtan Muhammad Syakir menjelaskan, penerapan sistem pengukuran GRK di sektor pertanian terus dikembangkan. Hal itu bertujuan mendukung Rencana Aksi Nasional GRK (RAN GRK) dan Rencana Aksi Daerah GRK (RAD GRK).
“Dengan menguasai pengetahuan tentang emisi GRK dan metode perhitungan yang lebih baik serta terkontrol, maka upaya mencapai target penurunan emisi GRK di tahun 2020 seperti yang tercatat dalam RAD GRK di masing-masing provinsi dapat tercapai,” kata Syakir.–YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 23 Juli 2018