Saat bumi berguncang, sarana yang paling cepat untuk mengetahui apa yang terjadi barangkali adalah aplikasi media sosial di ponsel. Dengan mengecek medsos, orang bisa mendapatkan informasi tentang gempa meski sering kali simpang siur dan tak akurat.
Namun, kini telepon pintar atau ponsel tidak hanya menjadi tempat mencari informasi gempa melalui aplikasi medsos. Dengan sebuah aplikasi, telepon yang kita genggam sehari-hari bisa diubah menjadi semacam seismograf, alat pemantau dan pendeteksi gempa, berjaringan.
Adalah tim ilmuwan dari Univesity of California, Berkeley, yang mengembangkan dan meluncurkan aplikasi yang bisa mengubah smartphone menjadi alat pendeteksi gempa bumi. Begitu bumi bergetar karena patahan atau pergerakan lempeng bumi, misalnya, seketika itu juga, ponsel itu menjadi alat pengumpul data dan memberikan peringatan dini kepada orang-orang yang bisa terdampak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aplikasi itu dinamai MyShake, sebuah aplikasi Android yang bisa diunduh secara gratis di Google Play Store. Seperti dikutip dari laman UC Berkeley, Jumat (12/2), aplikasi itu memiliki kemampuan untuk mencatat getaran bumi saat gempa, dengan tujuan untuk menciptakan jaringan pendeteksi gempa secara global.
Aplikasi ini akan berjalan di “belakang layar” dengan memanfaatkan sedikit energi. Seperti diketahui, ponsel pintar kini sudah dilengkapi berbagai sensor, salah satunya adalah accelerometer dan GPS. Ilmuwan UC Berkeley memanfaatkan accelerometer di ponsel untuk mencatat getaran tersebut. Aplikasi itu kemudian menganalisis informasi dari accelerometer dan jika itu sesuai dengan profil getaran gempa, mereka akan me-relay koordinat GPS ponsel ke Berkeley Seismological Laboratories untuk dianalisis.
Saat semakin banyak orang menggunakan aplikasi ini dan bug telah dibereskan, ahli gempa UC Berkeley berharap bisa menggunakan data itu untuk memperingatkan orang yang berada jauh dari pusat gempa saat getaran itu bergerak mendekati mereka. Aplikasi untuk iPhone juga tengah dikembangkan.
“MyShake tidak bisa menggantikan jaringan pemantau seismik seperti yang dimiliki oleh US Geological Survey, University of Washington, dan Caltech. Tapi, MyShake bisa membuat peringatan dini gempa lebih cepat dan akurat di wilayah yang telah memiliki jaringan pemantau seismik biasa. Aplikasi ini juga bisa menjadi alat peringatan dini di area yang belum memiliki jaringan pemantau seismik,” kata Direktur Berkeley Seismological Laboratory Richard Allen, yang juga memimpin pengembangan aplikasi MyShake.
Pengguna smartphone yang telah meng-install aplikasi ini akan mengirimkan data yang bakal dikumpulkan ilmuwan saat terjadi gempa. Dengan memanen informasi dari telepon genggam yang telah dilengkapi aplikasi itu di seputar pusat gempa, sebuah sistem komputer nantinya akan mampu mengirimkan peringatan dini dalam rentang waktu detik hingga menit kepada orang-orang yang jauh dari pusat gempa dan terdampak gempa.
Memanfaatkan crowdsource (kumpul daya) atau data yang dikumpulkan dari publik, jaringan deteksi gempa bisa menjadi pilihan murah bagi negara-negara berkembang yang berada di kawasan rawan gempa seperti Indonesia. Meski sejak gempa dan tsunami Aceh sistem peringatan dini terus dikembangkan, hal itu barangkali masih jauh dari cukup. Memadukan deteksi dan peringatan dini tradisional dengan memanfaatkan kumpul daya jutaan pengguna ponsel adalah ide yang sangat menarik.
“Menurut saya, ini adalah penelitian yang akan mengubah ilmu gempa,” kata Qingkai Kong, yang memimpin pengembangan algoritma aplikasi MyShake. “Pusat deteksi gempa yang kita miliki masih kurang, terutama di sebagian wilayah dunia. Namun, memanfaatkan ponsel dengan sensor murah, bisa memberi jaringan peringatan yang sangat banyak di masa depan”.
Memanfaatkan “accelerometer”
Dengan sensor accelerometer atau sensor gerak, ponsel dengan mudah mengukur getaran atau gerakan gempa seperti saat sensor ini melakukan orientasi posisi layar dan saat bermain game. Sensor ini cukup bisa mencatat gempa di atas magnitudo M 5, magnitude yang bisa menimbulkan kerusakan, di rentang jarak 10 kilometer.
Screenshot aplikasi MyShake. Aplikasi ini memanfaatkan sensor accelerometer ponsel pintar untuk mendeteksi gempa bumi.
Kelemahan penggunaan sensor ponsel adalah sensitivitas. Sistem pemantau mutakhir sangat sensitif untuk mendeteksi tremor pendahuluan atau gelombang-P (primary waves) yang tidak dirasakan manusia, dan merambat lebih cepat. Sementara ponsel kemungkinan mendeteksi gelombang kedua, gelombang-S (secondary waves) yang merambat lebih lambat dan sangat merusak. Informasi dari gelombang-P dijadikan sebagai peringatan dini karena ia datang sebelum gelombang-S menerjang.
Kurangnya sensitivitas sensor di ponsel bisa tertutup dengan banyaknya ponsel cerdas yang beredar di tangan pengguna. Diperkirakan di dunia ada lebih dari satu miliar ponsel. Di Indonesia pengguna ponsel pintar diperkirakan mencapai lebih dari 50 juta.
Algoritma untuk menganalisis accelerometer dalam aplikasi yang dikembangkan oleh UC Berkeley disebutkan mampu membedakan antara getaran biasa, misal saat pengguna berjalan atau saat ponsel terjatuh, dengan getaran gempa. Dalam sebuah simulasi, disebutkan algoritma itu bisa membedakan 93 persen getaran gempa dan bukan gempa.
Hanya saat mendeteksi gempa, aplikasi ini mengaktifkan GPS untuk mengakses posisi ponsel dan mengirimkan paket informasi melalui data seluler atau Wi-Fi. Jadi, aplikasi ini tidak akan memantau posisi pengguna terus-menerus.
Sebuah perangkat lunak berbasis awan akan me-review setiap data yang masuk. Jika setidaknya empat telepon, dan jumlah itu mewakili lebih dari 60 persen ponsel yang berada di radius 10 kilometer dari episentrum, mencatat getaran, perangkat lunak itu akan memastikan bahwa getaran itu memang gempa.
Antarmuka aplikasi ini cukup sederhana. Ada menu Recent dan Past untuk melihat gempa yang baru saja terjadi dan gempa masa lalu, kemudian Safety yang berisi petunjuk cara menyelamatkan diri dan evakuasi saat terjadi gempa. Berikutnya adalah menu Sensor yang memperlihatkan grafis pembacaan getaran dari tiga sensor accelerometer.
Kita bisa mengguncang-guncangkan ponsel sekeras-kerasnya untuk melihat sensor mencatat getaran. Namun, berkat algoritma yang dikembangkan UC Berkeley, hal itu tidak akan tercatat sebagai gempa karena mereka bisa membedakan antara getaran biasa dan getaran gempa.
Indonesia berada di kawasan aktif gempa bumi. Seperti dikutip dari laman BMKG, hal tersebut karena Nusantara berada di wilayah bertemunya tiga lempeng tektonik utama dunia, yakni Samudra India-Australia di sebelah selatan, Samudra Pasifik di sebelah timur, dan Eurasia.
Pergerakan relatif ketiga lempeng tektonik tersebut dan dua lempeng lainnya, yakni laut Filipina dan Carolina, mengakibatkan terjadinya gempa-gempa di daerah perbatasan pertemuan antarlempeng dan menimbulkan terjadinya sesar-sesar regional yang selanjutnya menjadi daerah pusat sumber gempa juga.
Berbagai kejadian gempa telah menimbulkan tragedi besar di Indonesia. Berdasarkan data NOAA (Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS), dalam kurun waktu 1800-2014, Indonesia dilanda 262 gempa bumi bermagnitudo M 5 hingga M 9,1. Jumlah korban tewas akibat gempa 33.713 jiwa.
Rangkaian gempa itu memicu terjadinya 124 tsunami yang menewaskan 237.793 jiwa. Total jumlah penduduk di Indonesia yang tewas akibat gempa dan tsunami dalam periode itu mencapai 271.506 jiwa. Bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 tercatat menyebabkan jumlah kematian terbanyak (Kompas, 22/1/2015).
Belum diketahui bagaimana efektivitas aplikasi ini. Namun, hidup di kawasan yang dikepung sumber gempa, tidak ada salahnya memakai berbagai cara sebagai sistem peringatan dini terhadap bencana.
PRASETYO EKO PRIHANANTO
Sumber: Kompas Siang | 15 Februari 2016