Tim gabungan peneliti IPB University dan Institut Teknologi Bandung mengolah gliserol mentah menjadi bahan adiktif fluida berbasis air dan bahan adiktif fluida berbasis minyak.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2016, Indonesia memiliki kapasitas terpasang industri biodiesel sebesar 12 juta kiloliter per tahun. Dengan kapasitas tersebut, terdapat hasil samping berupa gliserol mentah sebanyak 1,2 juta ton per tahun.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Ahli Teknologi Proses Agroindustri IPB University Erliza Hambali
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gliserol tersebut dapat menjadi bahan baku potensial untuk dikembangkan menjadi komponen dalam proses pengeboran sumur minyak bumi yang selama ini harus impor. Dalam proses pengeboran sumur tersebut, diperlukan adanya fluida pengeboran atau sering disebut lumpur pengeboran.
Fluida pengeboran tersebut salah satu fungsinya adalah sebagai stabilitator dinding sumur dengan menahan partikel-partikel padatan saat sirkulasi pengeboran berhenti. Setidaknya, ada dua jenis fluida pengeboran yang umum digunakan pada industri perminyakan, yakni fluida berbasis air atau Water Based Mud (WBM) dan fluida berbasis minyak atau Oil Based Mud (OBM).
Hal tersebut yang mendorong ahli Teknologi Proses Agroindustri IPB University Erliza Hambali untuk mengembangkan gliserol hasil samping biodiesel sebagai formulasi alternatif pada WBM dan OBM. Sebagai Ketua Tim Peneliti, ia didukung oleh para peneliti dari IPB University dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
“Saya melihat hasil samping industri biodiesel di Indonesia sangat potensial. Terlebih, harga gliserol mentah hanya Rp 600 per liter,” ujarnya saat ditemui di Kota Bogor, Senin (15/7/2019).
Penelitian yang dikembangkan oleh tim gabungan IPB University dan ITB tersebut didanai oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Erliza dan tim setidaknya membutuhkan waktu selama dua tahun untuk menghasilkan karakter gliserol yang sesuai dengan standar dalam perminyakan. Dalam industri migas, standar sifat-sifat fluida mengacu pada American Petroleum Institute (API) nomor 13A.
Erliza dan tim setidaknya membutuhkan waktu selama dua tahun untuk menghasilkan karakter gliserol yang sesuai dengan standar dalam perminyakan
Mengacu pada standar tersebut gliserol yang digunakan harus memiliki tingkat kemurnian 99 persen. Jika tidak, komposisi pengotornya akan berbahaya terhadap batuan. Padahal, tingkat kemurnian gliserol mentah yang dihasilkan dari hasil samping biodiesel umumnya sebesar 40 – 50 persen. Sisanya adalah komponen air dan bahan pengotor lainnya.
Proses pemurnian
Oleh karena itu, gliserol tersebut perlu mendapatkan proses pemurnian untuk menghasilkan karakteristik yang diharapkan. Sebab, jika gliserol tersebut masih tercampur dengan komponen berupa air bisa menyebabkan stuck pipe atau kondisi dimana pipa terjepit sebelum sampai ke lokasi minyak berada.
Proses pemurnian yang dilakukan melalui dua tahapan. Di tahun pertama, dihasilkan proses pemurnian gliserol dari 50 persen menjadi 80 persen. Adapun pada tahun kedua, dilakukan dua kali perbaikan pemurnian dari 80 persen ke 90 persen dan dimurnikan kembali menjadi diatas 95 persen.
Proses pemurnian gliserol 80 persen menjadi di atas 95 persen menggunakan peralatan falling film evaporator. Rangkaiannya terdiri dari unit exchanger, condensor, separator, dan pompa vakum. Proses distilasi vakum pemurniannya membutuhkan waktu dua jam dalam suhu 130 derajat celcius.
Dari hasil uji laboratorium yang dilakukan, gliserol dengan kemurnian di atas 95 persen tersebut mampu memenuhi standar dari API 13A. Sebagian besar kriteria sudah tercapai, misalnya berkaitan dengan titik nyala, titik didih, titik beku, berat jenis dan sebagainya.
“Gliserol yang dihasilkan oleh IPB University dan ITB sudah bisa dibandingkan dengan produk komersial lainnya dalam konteks tunggal. Tapi masih harus dilakukan uji lapangan,” kata ahli Drilling Teknik Perminyakan ITB Bonar Tua Halomoan Marbun yang juga anggota tim peneliti.
Hanya saja, dalam praktiknya fluida pengeboran harus diracik dengan aditif-aditif lainnya sesuai dengan karakteristik tanah dan fluida minyak atau gas di bawahnya. Aditif-aditif tersebut misalnya Bentonite, Barite, dan Lost Circulation Material (LCM).
Dalam hal ini, ada dua produk yang dihasilkan oleh IPB University dan ITB, yakni gliserol sebagai bahan aditif WBM dan gliserol ester sebagai bahan aditif OBM. Untuk mendapatkan gliserol ester, gliserol harus mengalami pengolahan kembali melalui proses esterifikasi dengan katalis asam misalnya katalis para toluen sulfonat atau katalis metil ester sulfonat acid.
“Seharusnya tiga tahun setelah penelitian, gliserol dan gliserol ester ini bisa dikomersialisasikan. Namun masih urung terjadi karena harga minyak sempat jatuh ketika penelitian ini selesai,” ujar Erliza.
Menurut Bonar, jenis batuan yang umum dijumpai dari permukaan tanah ke lokasi minyak, 75 persen adalah batuan lempung atau shale. Shale tersebut akan mengembang jika bertemu dengan air dengan tingkat reaksi yang berbeda-beda.
Dalam praktiknya, fluida pengeboran dengan WBM akan digunakan saat menghadapi karakteristik tanah dengan shale yang tidak terlalu reaktif terhadap air. Jika yang dihadapi adalah shale yang reaktif dengan air, maka OBM adalah pilihan yang tepat meski harganya bisa mencapai tiga kali lipat.–FAJAR RAMADHAN
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 22 Juli 2019