Awal Mei lalu, siang cukup terik dan udara lembab. Sekitar tengah hari, kami-beberapa orang wartawan-bersama sejumlah warga setempat menyusuri jalan setapak. Di kejauhan suara siamang mendengking-dengking. Kami tidak tahu harus berharap apa, namun yang pasti kami ingin mendengar cerita tentang orangutan di kawasan itu.
Sejumlah wartawan diundang oleh PT Dharma Hydro atau PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) untuk melihat pekerjaan dalam proyek pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru. Pembangunan pembangkit tersebut telah memicu kontroversi, terkait banyak hal, mulai dari ancaman terhadap satwa liar orangutan tapanuliensis (Pongo tapanuliensis), ketersediaan air bagi penduduk yang berada di hilir Sungai Batang Toru, amdal yang perlu direvisi, keamanan bendungan karena wilayah tersebut masuk di wilayah sesar Sumatera, serta proses jual beli lahan masyarakat.
KOMPAS/BRIGITTA ISWORO LAKSMI–Kelompok Konservasi Orangutan Bersama Masyarakat Dusun Sitandiang, Desa Bulu Mario, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan seusai pelatihan, pada 1 Mei 2019. Nampak nomor dua dari kanan Penasihat Senior untuk Lingkungan PT NSHE, Agus Djoko Ismanto, dan Kepala Komunikasi dan Kepala Komunikasi dan Urusan Eksternal PT NSHE Firman Taufick (keenam dari kiri) bersama masyarakat anggota kelompok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bahkan masyarakat internasional terdiri dari lembaga masyarakat dan sejumlah anggota kongres AS melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo meminta penghentian pembangunan PLTA tersebut (Kompas, 6/3/2019).
Kekhawatiran akan kerusakan lingkungan akibat pembangunan PLTA tersebut digugat ke PTUN Medan oleh Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Walhi meminta izin lingkungan PLTA Batang Toru dicabut. Gugatan itu ditolak pengadilan dengan keputusan pengadilan pada 3 Maret 2019 (Kompas, 5/3/2019).
Saat itu kami berupaya mengumpulkan cerita tentang orangutan tapanuli selatan dari masyarakat di Dusun Sitandiang, Desa Bulu Mario, Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Kami hanya bisa memandang kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok (6.970 hektar) dari kejauhan dan ditunjukkan arah lokasi Cagar Alam Dolok Sibual buali (5.000 hektar).
Pembangunan PLTA Batang Toru menjadi kontroversi panjang, karena kawasan ekosistem tersebut merupakan habitat orangutan yang dua tahun lalu, 2017 ditetapkan sebagai spesies baru yang endemik Batang Toru. Muncul kekhawatiran besar bahwa habitat orangutan yang diduga hanya ada sekitar 200-300 individu tersebut akan terfragmentasi sehinga menuju kepunahan. Para tim peneliti akan memasukkan orangutan tapanuli ke dalam daftar spesies ”sangat terancam punah” (critically endangered) berdasarkan daftar merah Organisasi Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam atau IUCN (Kompas, 5/11/2017).
Pelatihan kader masyarakat
Soal isu orangutan tapanuliensis, PT NSHE harus merevisi amdal, karena amdal yang mereka ajukan 2016 belum menyebutkan spesies endemik tersebut. Merespons isu itu, PT NSHE membentuk tersebut, kami pada kesempatan itu diajak berbaur dengan masyarakat yang telah dua kali dikumpulkan oleh PT dalam program pelatihan konservasi untuk masyarakat lokal untuk perlindungan ekosistem Batang Toru. Pelatihan kedua diadakan 30 April-1 Mei 2019 lalu di Dusun Sitandiang.
Namun hingga kemarin, 31 Juli 2019, revisi amdal yang dijanjikan PT NSHE belum juga selesai. Kepala Komunikasi dan Urusan Eksternal PT NSHE, Firman Taufick kepada Kompas, “Revisi sedang terus kami kerjakan, masih dalam proses.” Dari data yang diberikan PT NSHE, beberapa hal yang harus ditambahkan, karena yang diminta adalah addendum amdal yaitu: hal kepemilikan usaha, perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, perluasan lahan dan bangunan usaha dan/atau kegiatan, serta hal yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan lingkungan hidup mendasar karena peristiwa alam atau akibat lain sebelum dan pada waktu usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan.
Menurut Firman, standar lingkungan dalam pembangunan yang diterapkan PT NSHE menggunakan standar sesuai prinsip-prinsip dalam The Equator Principles terkait Environment, Social, and Health Impact Assessment (ESHIA) World Bank yang dibuat pada 2015. Syarat itu juga dikaitkan dengan institusi keuangan pemberi pinjaman.
Salah satu program untuk menjawab kontroversi tentang orangutan tapanuli, adalah pelatihan kader masyarakat. Program ini sebagai salah satu program untuk menetapkan habitat dan koridor dalam program biodiversity offset-upaya pengganti untuk mempertahankan keanekaragaman hayati.
Menurut Kari Bonar Siregar dari Dusun Aek Batang Paya yang bersebelahan dengan hutan Sitandiang, “Kami dilatih untuk bisa menidentifikasi jenis-jenis tanaman yang bermanfaat secara ekonomi untuk masyarakat, untuk pakan orangutan, obat-obatan untuk pertanian, dan obat-obatan untuk manusia.” Kelompok-kelompok diminta menunjukkan dalam peta yang mereka siapkan sendiri.
Tanaman pangan orangutan antara lain durian, pete, jengkol. Kari Bonar mengatakan, terakhir kali bertemu orangutan yang mereka sebut mawas, tahun 2005. “Ada ketemu 5 ekor waktu itu. setelah itu tidak ketemu lagi,” ujarnya. Masyarakat pada umumnya tidak memusuhi orangutan. Menurut para peneliti di Ekosistem Batang Toru kini ada sekitar 800 individu.
Menurut Penasihat Senior untuk Lingkungan PT NSHE Agus Djoko Ismanto yang biasa disebut Adji, “Sejak kami kemari kami tidak bertemu dengan orangutan di lokasi ini,” ujarnya saat berada di lokasi pembangunan dam.
Sementara Panut Hadisiswoyo, Direktur Pusat Informasi Orangutan mengatakan, “Daerah yang dibangun itu amat kaya kehati (keanekaragaman hayati) yang harus dijaga dalam jangka panjang jangan sampai kekurangan pangan. Apalagi orangutan adalah spesies yang mudah terdampak. Gangguan sekecil apapun akan memiliki efek jangka panjang. Saya rasa tidak ada upaya mitigasi.”
Sementara, kritik akan lokasi di wilayah Sesar Semangko ini, oleh pakar geologi dari PT NSHE DIdik Djarwadi, bangunan dam tersebut tidak berada pada wilayah yang rentan gempa. Di samping itu, dam akan dibangun dengan sistem concrete gravity-artinya, semua material badan bendungan terdiri dari beton.
Secara keseluruhan, dari isu lingkungan hingga keamanan bendungan, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara Dana Tarigan mendesak PT NSHE, “Sebaiknya buka data dan rencana pembangunan kepada publik, sebab ini menyangkut proyek strategis sehingga masyarakat berhak mengetahui. Saat ini masih banyak misteri dalam proyek tersebut,” ujarnya. Sebuah permintaan yang layak dipertimbangkan demi keberlanjutan proyek dan PLTA secara sosial, ekonomi, dan lingkungan.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 1 Agustus 2019