Kata “disrupsi” kini menancap dalam benak para pemimpin perusahaan atau lembaga dalam berbagai bidang. Penggagas awal, Clayton M Christensen, punya penjelasan menarik.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA–Perwakilan mitra pengemudi Go-Jek berswafoto dengan jaket baru dalam konferensi pers di Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (1/8/2019).
Clayton M Christensen, profesor Harvard Business School, Amerika Serikat, yang membawa kata “disrupsi” atau “gangguan” ke dalam leksikon perusahaan di dunia, meninggal, 23 Januari 2020. Selama hidup, dia suntuk menjawab berbagai pertanyaan soal disrupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kenapa perusahaan gagal? Bagaimana perusahaan kecil dapat memenangi kompetisi dengan industri raksasa–yang punya laboratorium penelitian kuat dan manajemen mapan?
Pada tahun 1997, dia memperkenalkan “inovasi yang mengganggu” lewat buku The Innovator’s Dilemma: When New Technologies Cause Great Firms to Fail. Kini, “disrupsi” seakan menancap dalam pikiran setiap pemimpin bisnis.
Sebenarnya bagaimana penerapan teori “inovasi yang mengganggu”? Ambil contoh, minimarket yang memperluas jangkauan, meningkatkan metode manufaktur, dan mendorong raksasa lama keluar dari bisnis. Contoh lain, pada 1950-an, Sony merilis radio transistor murah untuk menarik remaja. Produk ini lantas menjangkau konsumen lebih luas, bahkan menyalip radio buatan RCA dan Zenith.
Memasuki tahun 2000-an, gagasan dan teori “inovasi yang mengganggu” diperluas. Melalui buku The Innovator’s Solution: Creating and Sustaining Successful Growth (2003), Clayton memaparkan, inovasi tidak dapat diprediksi. Dia mengajak pelaku bisnis untuk melihat sinyal, apakah tindakan perusahaan memastikan atau mengancam keberhasilan pada masa depan. Cakupan teorinya diperluas ke semua sektor, antara lain perawatan kesehatan, sekolah umum, dan pendidikan tinggi.
Misinterpretasi
Clayton mengamati, perusahaan mapan cenderung mengembangkan produk untuk memenuhi permintaan pelanggan yang paling canggih. Mereka agak mengabaikan peluang memenuhi kebutuhan pelanggan yang kurang canggih, meski mereka mungkin bisa membentuk pasar lebih besar.
Sebaliknya, perusahaan pemula memperkenalkan produk lebih sederhana dan murah sehingga menjadi lebih banyak diadopsi. Melalui inovasi tambahan, produk itu disempurnakan, bergerak, dan menyelesaikan pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan perusahaan lama. Misalnya, kemunculan maskapai penerbangan berbiaya rendah yang membuat siapa pun bisa terbang.
Perusahaan petahana perlu merespons “gangguan” itu, tapi jangan berlebihan dengan membongkar bisnis yang masih menguntungkan. Hubungan dengan pelanggan inti perlu diperkuat dengan berinvestasi untuk inovasi. Penting juga dibuat divisi yang fokus menggarap peluang pertumbuhan.
Suatu produk yang didukung teknologi, awalnya sederhana untuk pasar bawah sehingga biasanya lebih murah dan mudah diakses. Namun, produk itu bergerak naik kelas dan akhirnya menggusur pesaing mapan. “Inovasi terdiri dari produk dan layanan yang tampaknya sederhana di awal, tetapi berpotensi mengubah industri,” kata Clayton.
Tawarkan solusi
Bagaimana di Indonesia? Pengajar sekaligus pendiri Center for Innovation Opportunities and Development (CINODEV) Universitas Prasetiya Mulya, Ade Febransyah, menilai, teori “inovasi yang mengganggu” relevan dibahas di Indonesia. Perusahaan dikatakan melakukan disrupsi, jika menawarkan solusi baru bagi persoalan masyarakat yang belum terlayani dari pelaku bisnis yang ada. Mereka bisa disebut kelompok marjinal atau nonconsumer.
“Kata kuncinya, inovasi untuk mereka yang termarjinalkan. Ini yang membuat layanan pesan taksi berbasis aplikasi sejenis di Indonesia tidak masuk cakupan teori ‘inovasi yang mengganggu’. Mereka menyasar konsumen yang sudah dilayani operator angkutan umum,” kata Ade saat dihubungi di Jakarta, Selasa (25/2/2020).
Bagi Ade, ada kelompok konsumen di pasar Indonesia yang sampai sekarang termarjinalkan. Contohnya, kelompok yang tidak bisa kuliah karena tidak punya biaya. Lalu, ada inovasi pendidikan daring yang membuat ongkos kuliah terjangkau bagi mereka.
Pendiri Rumah Perubahan Rhenald Khasali, mencontohkan layanan dompet elektronik kini marak dipakai oleh sejumlah pedagang kaki lima. Padahal, mereka mulanya bukan konsumen utama layanan keuangan formal.
Kemunculan digital
Kembali pada pandangan Clayton. Menurut dia, inovasi model bisnis dan teknologi baru-baru ini menghadirkan tantangan unik bagi pemain lama dan pendatang, tetapi mekanisme “inovasi yang menganggu” tetap sama. Internet yang dikombinasikan dengan kemudahan akses seluler terus menciptakan titik masuk yang sangat kreatif bagi perusahaan untuk menargetkan nonkonsumen dengan penawaran yang lebih terjangkau. Fakta kemunculan dan perkembangan digital layak untuk diteliti lebih lanjut.
“Tentu saja ada anomali yang menunggu untuk ditemukan. Saya rasa harus ada penelitian lebih lanjut tentang perusahaan-perusahaan yang berfokus pada digital akan menghasilkan wawasan mendalam ke dalam batas-batas teori “inovasi yang mengganggu”,” katanya.
Dia percaya ada sejumlah pertanyaan mendasar yang akan tetap relevan dipakai dalam konteks industri digital seperti sekarang. Misalnya, siapa pelanggan terbaik, apa yang mampu atau tidak mampu dilakukan oleh organisasi, serta siapa yang bukan konsumen dan apa yang membatasi akses mereka.
Banyak orang menantang teori “inovasi yang mengganggu”. Banyak juga orang mengkritik, seperti sejarahwan Jill Lepore yang menyebut sumber penelitian ataupun logika yang terbangun amat diragukan.
Clayton mengakui ada kekurangan saat membaca fenomena ponsel pintar iPhone buatan Apple. Ketika iPhone pertama dirilis, dia memasukkan Apple sebagai perusahaan kategori mapan dengan strategi berkelanjutan. Penelitiannya menunjukkan kategori itu memiliki peluang keberhasilan strategi yang rendah. Dia tidak melihat Apple melalui ponsel pintar iPhone sebagai sebuah “inovasi yang mengganggu”. Dia juga menilai upaya yang dilakukan Apple itu sebagai keterlambatan masuk ke bisnis ponsel.
Akan tetapi, salah seorang mantan mahasiswa dia bernama Horace Dediu mempunyai pandangan sebaliknya. Horace memandang, iPhone sebagai penggerak awal bisnis komputer di saku. Apple kemudian mengembangkan model bisnis yang memungkinkan PC menjadi portabel. Tim Apple menciptakan “App Store” yang mendorong ledakan aplikasi add-on yang bermanfaat. Contoh tersebut mendorong Clayton untuk memperbaiki kategori ‘inovasi yang mengganggu’.
“Ketika seseorang mengatakan kepada saya bahwa ada inovasi yang mengganggu, pertanyaan pertama yang selalu saya tanyakan adalah ‘untuk apa?’ Ini adalah pertanyaan penting karena ‘gangguan’ adalah konsep yang relatif,” tutur dia.
Oleh CAECILIA MEDIANA
Editor ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 26 Februari 2020