Kalau sudah besar, saya ingin menjadi dokter. Jadi dokter bisa membantu menyembuhkan orang lain. Kalimat-kalimat inilah yang kerap terlontar dari bibir-bibir mungil bocah TK dan SD ketika ditanya tentang cita-cita mereka.
Menjadi dokter. Cita-cita yang mulia mengingat profesi ini berperan penting dalam menyelamatkan nyawa manusia. Profesi yang penuh dengan dedikasi berkorban untuk keselamatan orang lain.
Tetapi begitu menginjak bangku kuliah, keinginan mulia ini bisa menjadi sebuah pertanyaan besar bagi para mahasiswa fakultas kedokteran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apa mungkin dengan dana ratusan juta rupiah yang sudah dikeluarkan, idealisme menunaikan tugas mulia menyelamatkan jiwa manusia tanpa (terlalu) memedulikan bayaran, bisa diwujudkan?
Simak saja penuturan Yuliana (20) dan Vinka (20), mahasiswi Semester V Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Bagi mereka, kuliah di FK bukanlah bicara prestise semata, tetapi juga bicara investasi yang harus dikeluarkan selama enam tahun hingga meraih embel-embel “dr” di depan nama mereka.
“Untuk biaya kuliah per semester sebenarnya tidak terlalu mahal sama dengan uang kuliah semesteran di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara berkisar Rp 2,5 juta. Tetapi, yang bikin mahal itu uang sumbangan gedungnya bisa mencapai di atas Rp 75 juta,” kata Yuliana.
Menurut Vinka, biaya administrasi kuliah yang bersifat tetap dan wajib itu masih ditambah dengan biaya pembelian buku, fotokopi, dan pembelian peralatan kedokteran milik pribadi saat masuk tahap praktik di klinik.
Dalam perhitungan mereka, rata-rata setiap semester mereka mesti mengeluarkan uang minimal Rp 300.000 untuk biaya fotokopi diktat kuliah.
Fotokopi diktat kuliah tersebut sudah umum terjadi di kalangan mahasiswa FK, sebagai salah satu siasat menekan anggaran “uang buku” yang bisa mencapai angka jutaan rupiah bila mereka membeli semua buku teks kedokteran asli terbitan luar negeri itu.
Kendati sudah bersiasat menekan uang buku, toh masih ada sejumlah buku penting dan wajib dimiliki mahasiswa FK, seperti buku anatomi terbitan luar negeri yang harganya mencapai Rp 1 juta.
“Sebenarnya agak susah kalau kami hanya mengandalkan pinjam buku anatomi dari senior, sebab hampir setiap tahun buku anatomi itu senantiasa direvisi terbitannya. Sementara buku terjemahan kedokteran Indonesia juga jarang yang diperbaharui untuk perkembangan ilmu kedokterannya,” kata Yuliana.
Bagi Vinka dan Yuliana, jika semua biaya administrasi kuliah plus biaya lain-lain itu ditotal bisa mencapai angka lebih dari Rp 150 juta untuk meraih embel-embel dr.
Angka itu didasarkan pada asumsi masa kuliah di FK dan klinik berjalan normal dan lancar, yakni enam tahun.
Pernyataan Yuliana dan Vinka itu diiyakan oleh Mega (21), mahasiswi Semester VII FK Universitas Indonesia.
Bagi Mega, profesi dokter dengan segala image berlimpah uang itu merupakan profesi yang baru bisa dinikmati hasilnya setelah 10 tahun, terhitung mulai masuk kuliah hingga memperoleh surat izin praktik dokter.
“Saya sadar profesi dokter ini memang profesi yang menjanjikan untuk jangka waktu di atas 10 tahun. Sebab, pada tahun-tahun pertama menjadi dokter masih harus mengikuti tahapan pegawai tidak tetap (PTT) dan jika ingin menjadi dokter spesialis perlu ikut program pendidikan dokter spesialis (PPDS) lagi,” ujar Mega.
Sebagai mahasiswi FK universitas negeri, Mega mengakui biaya kuliahnya tidak semahal teman-temannya di universitas swasta.
Untuk kuliah FK di UI, orangtua Mega mengeluarkan biaya uang kuliah Rp 1,5 juta per semester. Tetapi untuk anggaran buku, fotokopi, dan bahan-bahan penunjang lainnya setiap semester Mega bisa mengeluarkan uang Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.
Dalam situasi persaingan yang ketat seperti saat ini, lulusan dokter dari universitas negeri memang menghadapi tantangan persaingan yang besar.
Tak jarang, kata Mega, agar tidak terlalu lama antre dokter PTT, sejumlah dokter rela mengeluarkan uang lebih agar segera ditempatkan di daerah yang sesuai dengan keinginannya.
Biaya akan keluar lebih banyak lagi saat menjalani masa PTT, bukan hanya untuk biaya hidup selama bertugas di lokasi PTT, tetapi juga biaya untuk membayar tenaga perawat di lokasi PTT.
“Nggak benar juga kalau dokter selalu dipandang punya uang banyak dan hidup selalu enak. Modal yang dikeluarkan sangat besar dan belum tentu bisa langsung menikmati hasilnya begitu meraih gelar dokter. Pokoknya beda banget dengan sarjana non-FK lainnya yang bisa langsung kerja setelah lulus kuliah,” tutur Mega.
Mahalnya biaya pendidikan di FK juga tidak dipungkiri Maria (27), seorang dokter yang sedang menjalani masa PPDS di UI. Untuk meraih gelar dokter spesialis penyakit dalam, Maria mengaku setiap semester mengeluarkan biaya Rp 15 juta. Padahal, masa studi PPDS itu rata-rata empat setengah tahun hingga lima tahun.
Maria mengatakan, biaya administrasi PPDS itu belum seberapa karena belum memasukkan biaya ekstra selama praktik di klinik menangani pasien.
Dari pengakuan Maria, ia dan teman-temannya juga kerap membayari biaya berobat pasien kurang mampu yang mereka tangani.
“Sebagai contoh, ada seorang pasien yang perlu menjalani CT-scan atau pemotretan paru-parunya, pembimbing kami tidak mau tahu bagaimana kami harus bisa mendapatkan hasil laboratorium dari pasien yang bersangkutan. Ujung-ujungnya, kami enggak tega juga kalau harus memungut bayaran dari mereka, ya sudah kami secara sukarela membayari hasil tes laboratorium pasien yang bersangkutan. Bisa sampai ratusan ribu rupiah untuk menebus hasil laboratorium itu, tergantung penyakit yang dideritanya,” kata Maria.
Dalam kalkulasi Maria, sejak ia menjadi mahasiswi FK UI pada 1997 hingga menjalani masa PPDS sampai selesai nantinya dibutuhkan biaya sampai Rp 200 juta lebih. Biaya ini murni hanya untuk biaya administrasi kuliah, buku, dan fotokopi. Belum terhitung biaya transportasi, makan, dan uang “sukarela” selama PPDS.
“Kalau ada orang yang mau kaya, sebaiknya enggak usah jadi dokter saja deh. Biayanya mahal banget dan kembali modalnya juga lama. Dulu, sering dibilang jadi dokter cepat dapat kerja, tetapi yang saya alami malah sebaliknya, untuk dapat surat izin praktik dokter umum saja, susahnya minta ampun,” tutur Maria.
Baik Maria, Mega, Yuliana maupun Vinka mengakui mereka telah memahami risiko menjadi dokter.
Bukan hanya besarnya investasi yang harus dipersiapkan, tetapi juga tanggung jawab moral terhadap nyawa pasien yang ditangani mereka.
Mereka berharap pemerintah segera memberi perhatian khusus kepada dunia pendidikan kedokteran di Indonesia.
Untuk hal yang paling nyata, pemerintah diharapkan dapat menyediakan buku teks ilmu kedokteran terbitan luar negeri itu dengan harga yang lebih terjangkau kantong mahasiswa.
Pengurangan pajak terhadap buku impor atau bahkan penghapusan pajak terhadap buku impor bisa saja dilakukan.
“Anehnya, saya pernah membeli buku kedokteran berbahasa Inggris terbitan India yang harganya jauh lebih murah daripada buku serupa yang diimpor Indonesia,” kata Maria.
Pemerintah juga perlu menyediakan dana khusus untuk penelitian para pengajar FK maupun dokter lainnya.
Hasil penelitian ini nantinya akan dapat dimanfaatkan ilmunya oleh mahasiswa FK dan juga memberi kontribusi positif dalam menangani problem kesehatan yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Menurut Maria, jika hasil penelitian kesehatan itu dapat disinergikan dengan industri farmasi dalam negeri, nantinya di Indonesia juga dapat dihasilkan obat-obatan dengan harga yang terjangkau atau mungkin lebih murah dari obat generik.
Maria mencontohkan negara India yang bisa menekan harga obat di negerinya lebih murah dari harga obat internasional.
Sebab hasil penelitian di jurnal kedokteran negara tersebut dapat disinergikan dengan penelitian industri farmasinya dalam mencari bahan baku obat yang berasal dari sumber daya hayati tanah airnya, bukan dari bahan baku impor.
Kendati biaya pendidikan kedokteran mahal, Maria berharap agar para dokter muda di Indonesia tidak menjadikan hal itu sebagai alasan pembenaran dalam mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari pasien yang ditanganinya.
“Profesi dokter bukan profesi murni bisnis kesehatan, tetapi ini profesi yang menuntut kebesaran hati dan pengorbanan untuk menyelamatkan nyawa manusia,” ungkap Maria.[Ni Komang Arianti]
Sumber: Kompas, 1Agustus 2006
—————-
Dokter Kompeten dan Kebutuhan Nasional Kita
Ni Komang Arianti
Kompas, 2 Agustus 2006-Sistem perkuliahan di fakultas kedokteran di Indonesia kini tengah berbenah diri. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional sebenarnya berharap Sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK Ilmu Kedokteran sudah diterapkan fakultas kedokteran di seluruh Indonesia pada tahun 2005 lalu.
Penyusunan KBK bertujuan mempersingkat waktu belajar dari enam menjadi lima tahun. Selain itu, juga untuk mencetak lulusan yang lebih kompeten dan berkualitas dari sisi keilmuan maupun kecakapan mereka.
“Mulai Tahun Ajaran 2006-2007 ini kami menerapkan Sistem KBK. Sistem ini berbeda dengan sistem kurikulum sebelumnya, yakni Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) II. Bobot teori 50 persen dan bobot praktik juga 50 persen,” ujar Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Katolik Atma Jaya dr Satya Joewana Sp KJ (K).
Menilik Kurikulum Kedokteran yang baru, memang menarik. Sebuah paradigma metode pembelajaran ilmu kedokteran yang baru yaitu SPICES usai diterapkan di Indonesia.
SPICES meliputi student center, problem based learning, integrated, community based, early exposure to clinical atmosphere, dan structured. Dengan konsep ini, mahasiswa dituntut lebih aktif belajar seperti mencari bahan kuliah, proses belajar didasarkan pada skenario kasus yang diberikan dosen, dan antar mata kuliah di ilmu kedokteran saling diintegrasikan tidak lagi terpisah seperti pada KIPDI II.
Bagi Satya, KBK bukan semata untuk mempersingkat waktu belajar, tetapi juga untuk mempersiapkan lulusan FK di Indonesia menghadapi persaingan di era perdagangan bebas.
Penerjemahan KBK ini dalam mata kuliah FK nantinya akan lebih membiasakan mahasiswa sejak semester awal terpapar dengan suasana klinik dan mereka dituntut agar bisa berkomunikasi serta berempati pada pasien yang akan mereka tangani.
Jika pada kurikulum sebelumnya pemberian mata kuliah dasar seperti Ilmu Anatomi dan Ilmu Faal diberikan bertahap tiap semester, pada KBK ini, pemberian mata kuliah dasar itu diintegrasikan dengan ilmu lain dalam bentuk skenario kasus.
Sebagai contoh, dosen memberi skenario kasus tentang seseorang yang terjatuh pada saat rumahnya kebakaran, dan ia menderita luka memar dan terbakar. Dalam skenario kasus itu, mahasiswa didorong untuk mempelajari sebab awal munculnya luka, bukan langsung pada penanganannya. “Mahasiswa diberi keleluasaan untuk bertanya pada siapa pun, dan literatur mana pun mengenai luka bakar dan memar itu. Jadi sudah bukan lagi waktunya dosen yang menerangkan, tetapi mereka mengetahui sendiri baru penjelasan lebih lengkapnya diberikan dosen,” kata Satya.
Meski kurikulum ini secara teori kelihatannya lebih baik dari kurikulum kedokteran sebelumnya, sejumlah persoalan masih membayangi penerapannya.
Persoalan itu menyangkut persyaratan penerapan KBK. Mau tidak mau, semua FK di Indonesia harus memikirkan penambahan ruang kelas, fasilitas penunjang pembelajaran, pelatihan dosen, serta fasilitator.
Untuk memenuhi semua persyaratan penunjang KBK tersebut, menurut Satya, pihaknya perlu menginvestasikan dana cukup besar untuk pembangunan gedung laboratorium keterampilan, penambahan jumlah manekin, serta biaya pelatihan fasilitator. “Investasi terhadap pemenuhan persyaratan KBK itu di tempat kami mencapai lebih dari Rp 10 miliar,” kata Satya.
Pembantu Dekan I FK Unika Atma Jaya, dr Felicia Kurniawan M Kes, mengatakan, kendala pendanaan atau investasi besar ini juga mengemuka dalam sebuah sosialisasi pembentukan modul KBK yang dilakukan Health Workforce Services (HWS) Direktorat Pendidikan Tinggi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Umumnya, peserta pembuatan modul KBK hampir seluruhnya mengajukan adanya dana yang cukup besar untuk pelaksanaan modul dan hal ini juga diakui oleh narasumber dari HWS-Dikti. Selain itu, tampaknya ada masalah umum di antara FK universitas swasta bahwa yayasan sulit mengerti tingginya keperluan biaya untuk menyelenggarakan KBK dan keperluan prasarana serta tenaga pengajar yang banyak bagi pelaksanaan KBK ini.
Felicia mencontohkan, salah satu peralatan penunjang KBK di laboratorium keterampilan yang membutuhkan dana besar adalah pengadaan alat peraga seperti manekin. Dalam sistem belajar KBK, mahasiswa harus dibiasakan dengan suasana klinik beserta pengenalan letak organ-organ tubuh manusia.
“Kami mau tidak mau menggunakan manekin impor karena bahan kulitnya yang lentur menyerupai kulit manusia asli sehingga memudahkan mahasiswa untuk belajar perabaan perut bagian dalam. Dengan manekin buatan lokal, kami kerap kesulitan karena bahan kulitnya keras sehingga menyulitkan perabaan,” tutur Felicia.
Persoalan lain, keterbatasan tenaga pengajar dan fasilitator. Artinya, selain harus menambah jumlah pengajar/fasilitator, fakultas harus meningkatkan keahlian dan kemampuan pengajar/fasilitator dengan pelatihan dan ini berarti tambahan biaya.
“Investasi” menjadi dokter memang besar. “Untuk sistem KBK ini, dana yang harus disiapkan orangtua mahasiswa FK Unika Atma Jaya lebih kurang Rp 200 juta hingga anaknya meraih gelar dokter,” ujar Felicia.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Menaldi Rasmin Sp P (K) juga membenarkan besarnya investasi yang harus dipersiapkan setiap FK di Indonesia dalam menerapkan sistem KBK.
Menurut Menaldi, investasi ini selain mencakup penambahan peralatan penunjang keterampilan mahasiswa kedokteran, buku, jurnal, dan akses internet, kebutuhan akan fasilitas rumah sakit pendidikan atau teaching hospital juga mutlak diperlukan FK.
“FK yang belum memiliki rumah sakit pendidikan juga mau tidak mau harus memiliki teaching hospital ini karena dengan KBK, sejak semester awal mahasiswa kedokteran akan dibiasakan dengan suasana dan keterampilan di ruang klinik. Lewat KBK, keterampilan mahasiswa kedokteran untuk praktik klinik lebih diintegrasikan dengan teori ilmunya,” kata Menaldi.
Namun di satu sisi, kata Menaldi, jumlah ketersediaan teaching hospital saat ini masih belum berimbang dengan jumlah mahasiswa kedokteran yang memasuki tahap praktik klinik. Selain itu, di sejumlah teaching hospital belum seluruh staf memiliki kualifikasi pendidik.
Padahal, dalam tahap praktik di klinik, calon dokter umum maupun spesialis butuh bimbingan dan pengawasan ketat saat menangani pasien.
Persoalan terbatasnya jumlah teaching hospital , diakui Direktur Utama RS Elisabeth Semarang dr Benny Sugiyanto, MPH&TM. Selaku pengguna tenaga dokter muda yang baru lulus, manajemen RS Elisabeth benar-benar butuh tenaga dokter kompeten tanpa melihat asal almamater. “Semakin banyak pasien yang ditangani para calon dokter umum maupun spesialis, semakin banyak pengalaman kliniknya, dan ini menambah kecakapan serta kompetensi mereka menangani pasien. Untuk itu, peran teaching hospital yang terakreditasi baik memang diperlukan dalam mencetak dokter yang kompeten,” kata Benny.
Karena itu, pemerintah diharapkan memberi solusi bagaimana pendidikan kedokteran di Indonesia lebih efisien. “Pemerintah dapat memberi bantuan asuransi perlindungan dokter yang bekerja untuk kepentingan pemerintah dan pendidikan kedokteran,” kata Menaldi. Kedua, kerja sama pengadaan karyawan pada teaching hospital dengan FK yang ada sehingga karyawan di RS itu memiliki kualifikasi sebagai pengajar. Sehingga proses transfer ilmu dan pengalaman praktik kedokteran bisa berjalan lebih lancar, dan tuntutan kompetensi terpenuhi.
Ketiga, pemerintah memberi lebih banyak jaminan kesehatan bagi masyarakat, seperti asuransi kesehatan miskin (askeskin). Askeskin ini terbukti bisa membantu mengurangi persoalan kesehatan pada masyarakat miskin dan pendanaan dari pemerintah juga berjalan baik. “Jika negeri ini mampu mencetak dokter-dokter kompeten, ujung-ujungnya masyarakat di negeri ini juga bisa menjadi masyarakat sehat yang mendorong terwujudnya pembangunan nasional,” ujar Menaldi.