Ketika Thomas Edison memerlukan kawat halus yang bisa dipakai untuk menyalakan cahaya dalam bolam lampu yang pertama ia kembangkan, Edison berpaling ke bambu sebagai bahannya.
Waktu Alexander Graham Bell mengembangkan kotak musik piringan hitam, bambulah yang dijadikan bahan baku untuk membuat jarum kotak musik yang pertama.
Dan adalah pohon bambu pula, satu-satunya tumbuhan yang tetap tegar melewati ledakan bom atom di Hiroshima.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kata pengantar yang ditulis Emil Salim sebagai Ketua Dewan Penyantun Yayasan Bambu Lingkungan Lestari dalam kumpulan makalah tentang strategi penelitian bambu di Indonesia itu, sungguh menyentuh. Selain mengingatkan kembali betapa sebenarnya bambu mempunyai arti yang amat penting dalam sejarah peradaban manusia, tulisan itu sekaligus pula menunjukkan keironisan. “Betapa bambu sudah banyak dilupakan di Indonesia.
Dilihat dari sejarahnya, bambu memang telah mendampingi kehidupan manusia sejak ratusan tahun lalu. Sifat-sifat bambu yang unik dan variasi jenisnya yang luar biasa, membuat bambu bisa dimanfaatkan untuk segala macam kebutuhan. Mulai dari yang ringan untuk bahan baku makanan, sampai yang berat untuk konstruksi.
Sejarah juga mencatat, bambu yang kaya akan silika telah menjadi bahan baku obat selama berabad-abad di negeri-negeri Timur dengan nama tabasheer.
Di Cina dan Jepang, peran bambu yang amat penting masih terus berlangsung sampai sekarang untuk sumpit, kipas, dan bahkan juga rumah. Sementara di India, bambu sudah menjadi bahan baku kertas selama bertahun-tahun.
Di Indonesia sendiri secara tradisional masyarakat juga sudah memanfaatkan bambu. Bambu muda bisa diolah manjadi sayur yang lezat. Setelah tua bambu bisa dianyam menjadi berbagai peralatan dapur dan dinding rumah, atau menjadi alat musik angklung.
Sayangnya, manfaat bambu yang sedemikian banyak dan Indonesia juga sangat kaya dengan beragam jenis bambu, belum didukung dengan penelitian dan promosi yang maksimal. Bambu tetaplah menjadi komoditi yang dianggap murahan, tidak eksklusif, dan identik dengan kemiskinan.
KALAU mau mencari-cari penyebab, mengapa bambu bisa begitu turun pamor di negeri tempat ia tumbuh subur ini, catatan Prof Dr Mien A Rifai yang ahli tanaman dan kini menjadi Asisten Menteri Negara Riset dan Teknologi itu, barangkali bisa menjadi acuan.
Dalam pertemuan para ahli bambu di Serpong tahun 1994, Mien bercerita tentang masa kecilnya di Madura.
”Naungan rumpun bambu Gigantochloa atter dan Bambusa blumeana di sekitar rumah telah menjadi bahan baku mainan dan kebutuhan keluarga saya yang tidak habis-habisnya.
Masih terbayang jelas perabot dapur ibu saya yang terbuat dari bambu: nyiru, kukusan, bakul, kipas api, semprong tungku, tusuk sate, keranjang, para-para, dan keseluruhan bangunan dapur itu sendiri.
Di luar, masih terdapat langgar bertiang, berdinding, berlantai, berusuk dan ber-reng bambu. Begitu pula pagar, kandang ternak, bubu ikan, gagang pancing, tangga, kentongan, dan entah apa lagi, terbuat dari bambu.”
Pertemuan Mien dengan bambu ini kemudian berlanjut ketika ia bersekolah ke kota. Masih ada angklung, meja kursi, kap lampu, tas wanita, dan centang perenang kehidupan modern lain yang serba artistik dari bambu.
”Akan tetapi, ketika saya masuk perguruan tinggi dan mendapat kuliah botani ekonomi, bambu tidak disinggung sama sekali. Sewaktu dipercaya mengepalai suatu lembaga penelitian, saya juga melihat tidak ada instansi pemerintah resmi yang diberi mandat menangani bambu,”katanya.
Menurut Mien, sumber utama tidak maksimalnya pemanfaatan potensi bambu adalah karena tidak jelasnya garis komando dan koordinasi untuk menangani bambu, sehingga penggarapannya setengah hati dan dianaktirikan. Hal yang sama, juga terjadi pada sagu, aren, dan nipah.
”Sifat bangsa ini yang sulit dipisahkan dari keformalan, restu atasan, dan bapakisme, membuat bambu tak laku tanpa kejelasan garis komando,” paparnya. Sementara di sisi lain, sifat-sifat peninggalan penjajahan membuat bambu yang berkonotasi kerakyatan tidak mendapat tempat.
BERANGKAT dari keprihatinanitu pula, Herbarium Bogoriense Puslitbang Biologi LIPI Bogor yang dipimpin Mien Rifai, merintis pencarian suka relawan di kalangan staf peneIiti untuk meneliti bambu, pada pertengahan tahun 1970-an. Maka lahirlah Elizabeth Widjaja yang kini dikenal sebagai ahli bambu Indonesia yang langka, yang kemudian diikuti beberapa penerusnya.
Semula penelitian diarahkan pada bambu yang dipakai sebagai alat musik tradisional Jawa Barat. Ketika penelitian dilakukan, barulah disadari ada masalah dalam identifikasi dan kerumitan klasifikasi bambu. Maka penelitian pun diarahkan pada taksonomi bambu.
”Namun dana penelitian tidak ada, pengumpulan spesimen bambu untuk penelitian merupakan hasil sampingan peneliti yang melakukan panelitian Iain. Akibatnya inventarisasi bambu di Indonesia sangat lambat pelaksanaannya,” kata Elizabeth.
Pengumpulan data dan spesimen bambu secara intensif baru dapat dilakukan setelah adanya dana hibah dalam proyek Bamboo Gerplasm (Indonesia), 1990-1993. Hasilnya telah didaftar 56 jenis bambu asli Indonesia yang dianggap memiliki keunggulan potensi ekonomi.
Penelitian ini juga mengungkapkan jumlah jenis bambu Indonesia yang semula hanya tercatat 65 jenis, telah membengkak menjadi lebih dari 120 jenis. Padahal, di seluruh dunia diperkirakan ada 600-700 jenis bambu, sehingga Indonesia memiliki sekitar 17 persen bambu dunia. Data data yang terkumpul itu diterbitkan dalam buku Field Guide Book of Indonesian Bamboos akhir tahun 1994.
Kemampuan Puslitbang Biologi mengumpulkan dan mengidentifikasi bambu, telah membuat Iembaga itu siap menjadi clearing house perbambuan. Namun, clearing house saja tentu belumlah cukup untuk mamajukan perbambuan di Indonesia. Data dasar ini harus dikembangkan ke bagaimana membudidayakan bambu, proses penanganan pasca panen, pengolahan dan pengawetan, sekaligus juga pemasarannya.
Mien dan Elizabeth sepakat, dukungan penelitian dalam bidang desain perancangan serta finishing akan sangat membantu peningkatan pemanfaatan bambu. Sementara pemasaran merupakan titik simpul berikutnya yang sangat penting untuk mengembangkan dan menaikkan derajat bambu.
PERTEMUAN para ahli bambu tahun 1994 itu sendiri, telah menghasilkan berbagai kesepakatan dalam agenda kerja nasional, mulai dari pembentukan kelompok kerja bambu, pemilihan jenis bambu penting untuk dikembangkan, sampai ke aspek-aspek penelitian baru untuk mendukung upaya mempopulerkan kembali bambu.
Jenis bambu penting yang dipilih misalnya, ada 12. Yaitu Bambusa blumeana, Dendrocalamus asper, Gigantochloa apus, Bambusa vulgaris, Gigantochloa pseudoarundinacea, Bambusa atra, Bambusa heterostachya, Gigantochloa artroviolacea, Gigantochloa balui, Gigantochloa atter, Gigantochloa scortechinii, dan Schizostachyum zollengeri. Seluruh peneliti Indonesia yang merencanakan penelitian bambu disarankan untuk memfokuskan perhatiannya pada jenis-jenis itu.
Dalam pengembangan biologi bambu, maka jenis kegiatan yang perlu dilakukan adalah seleksi dan pemuliaan, inventarisasi, karakterisasi dan evaluasi, silvikultura, proteksi, etnobotani, biologi, dan ekologi.
Sementara untuk pengembangan industri bambu, penelitian dianjurkan untuk difokuskan pada sifat fisika, kimia, dan mekanik bambu, standarisasi, pemrosesan dan peralatannya, desain, dan sosio-ekonomi pemasarannya.
Agenda kerja nasional ini nantinya akan dibahas dan disempurnakan kembali setelah mendapat berbagai masukan dari para ahli bambu seluruh dunia, di Kongres Bambu Intemasional IV di Bali mulai 19-22 Juni ini.
Pancaran semangat para ilmuwan Indonesia dalam sarasehan nasional penelitian bambu Indonesia yang berlangsung di Serpong 1994 ini, diharapkan makin bersinar di Bali nanti. Dan mangingat potensi bambu yang amat besar, bisa tumbuh di tanah gersang Nusa Tenggara maupun di tanah yang paling banyak disiram hujan seperti Parahiyangan, tak heran bila Emil sangat berharap pada gerakan pemasyarakatan bambu ini. Apalagi, Linda Garland yang seniman itu sudah membuktikan bambu bisa diolah menjadi barang-barang eksotis yang bernilai tinggi.
“Saya bermimpi, bambu bisa menjadi bagian integral dari gerakan umat manusia untuk membangun masyarakat adil makmur dengan, oleh, dan bersama bambu,” kata Emil. (nes)
Sumber: Kompas, 18 Juni 1995