Apa yang pertama kali Anda lakukan ketika bangun tidur pada 1 Januari 2018? Seperti hari-hari sebelumnya, kebanyakan orang akan terlebih dahulu mengecek waktu sebelum memutuskan apa yang akan dilakukan kemudian.
Ya, obsesi waktu telah melanda segala golongan usia. Namun, respons berikut untuk memulai hari ditentukan oleh umur. Sebagian dari Anda mungkin akan mengambil koran pagi, membacanya sambil menyeruput teh atau kopi. Tanpa koran, Anda merasa kehilangan. Jika melakukan itu, kemungkinan Anda lahir tahun 1970-an atau lebih awal lagi. Anda adalah generasi yang tumbuh bersama kejayaan industri media cetak.
Namun, jika lahir di tahun 1980-an, Anda barangkali akan memilih informasi dari media online atau tayangan televisi. Sekalipun pernah punya pengalaman membaca koran ketika mahasiswa, Anda bukanlah pembaca setia. Ketika tuntutan pekerjaan dan kondisi jalanan menuntut berangkat kerja lebih pagi, langganan koran pun dihentikan. Tak ada rasa kehilangan, apalagi bisa melihat informasi di telepon genggam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika lahir di tahun 1990-an atau lebih awal lagi, Anda akan memilih membuka telepon genggam. Pertama-tama mengecek pesan di aplikasi Whatsapp atau Line. Berikutnya, pesan-pesan di media sosial, mengintip status dan unggahan orang lain, atau bahkan mencari barang promosi. Informasi biasanya dari jejaring sosial atau sudah dikompilasi penyedia aplikasi.
Bukan hanya beda media, beda generasi juga membedakan substansi informasi yang diinginkan. Bagi generasi “zaman now”, pernyataan Donald Trump hendak memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Israel ke Jerusalem barangkali bukan informasi penting. Lebih menarik diskon di toko-toko online ketika hari belanja online nasional “harbolnas”.
Perubahan perilaku generasi muda-yang merupakan pasar masa kini dan masa depan-inilah yang sekarang banyak memicu pergeseran tata dunia. Seperti banyak didengungkan, dunia saat ini memasuki era disrupsi, yaitu babak di mana banyak muncul inovasi berbasis teknologi yang dengan cepat mengganggu pasar dan pemain lama, dan pada akhirnya menggantikannya.
Industri media termasuk yang paling terpukul dengan perubahan zaman ini. Sekalipun menurut survei Nielsen Consumer & Media View (CMV) pada Desember 2017 media cetak (termasuk koran, majalah, dan tabloid) masih memiliki penetrasi 8 persen dan dibaca 4,5 juta orang, tetapi diperkirakan pembacanya terus menyusut seiring waktu. Tak hanya media cetak, era televisi pun mulai suram, karena Youtube lebih menarik.
Kenapa media konvensional yang mapan tergeser?
Salah satu kuncinya adalah waktu. Bagi generasi saat ini yang identik dengan kecepatan, informasi di media cetak jelas sudah basi. Apalagi jika informasi yang disajikan tidak lebih dalam dan lengkap dibandingkan dengan informasi yang telah banyak beredar di berita-berita online dan media sosial.
Kecepatan telah menjadi wabah di dunia digital. Ini pula yang mendorong industri media yang masih bertahan berlomba menghadirkan informasi secepat dan seringkas mungkin, dan hal ini sering dilakukan dengan mengorbankan proses dan isi.
“Saat ini, kita kecanduan dengan kecepatan. Setiap momen seolah-olah berpacu melawan waktu,” sebut Carl Honore, wartawan Kanada yang juga penyeru gerakan “Slow Movement”.
Menurut Carl Honore, jika hanya mengikuti perlombaan cepat-cepatan, media-media konvensional justru mengarah pada kuburannya sendiri. Mereka akan gagal melawan kecepatan platform media berbagi konten yang tidak membutuhkan prosedur berjenjang dalam mendiseminasikan informasi.
Daripada mengikuti ajakan berlomba dengan waktu, Susan Greenberg (2007) menyarankan agar jurnalisme memilih melambat yang disebutnya “Slow Journalism”. Staf pengajar penulisan non-fiksi di Universitas Roehampton, Inggris, mendefinisikan “Jurnalisme Perlahan” sebagai karya jurnalistik yang memberi perhatian pada cerita-cerita yang dilewatkan kebanyakan media (baik sosial maupun arus utama) dengan standar tulisan tinggi. Greenberg menyebutnya serupa dengan slow food movement yang jadi perlawanan terhadap keberadaan fast food.
Salah satu jurnalis senior yang mempraktikkannya adalah Paul Salopek, peraih Anugerah Pulitzer. Ia membuat proyek jurnalistik melacak jejak migrasi manusia 60.000 tahun lalu untuk National Geographic. Paul memilih berjalan kaki lebih dari 34.000 kilometer, sebagaimana proses migrasi leluhur.
Paul Salopek sadar betul, jurnalisme tidak lahir untuk melawan deras informasi di media sosial. Dia meyakini, media akan selalu berubah, tetapi konten yang baik akan tetap abadi….–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 3 Januari 2018