Gagasan Presiden Soekarno membangun Jembatan Tri Nusa Bima Sakti yang menghubungkan Sumatera-Jawa-Madura-Bali telah lama menginspirasi dan menjadi tantangan berat bagi para pakar konstruksi di Indonesia, tak terkecuali Prof Wiratman Wangsadinata (82), yang meninggal dunia 5 April lalu.
Rangkaian jembatan bentang panjang dengan tingkat kesulitan desain dan konstruksi yang tinggi itu diimpikan menjadi proyek monumental dan ikon Indonesia. Nyatanya, dalam setengah abad, baru satu segmen jembatan Tri Nusa itu yang terbangun, yakni Jembatan Suramadu.
Desain jembatan Sumatera-Jawa, atau juga dikenal sebagai Jembatan Selat Sunda (JSS), sudah diserahkan kepada Wiratman dan timnya di Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak 1986. Jembatan ini memiliki tingkat kesulitan sangat tinggi karena melewati Selat Sunda yang merupakan daerah rawan gempa tektonik dan tak jauh dari Gunung Anak Krakatau yang masih aktif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Desain konstruksi JSS ini telah ia selesaikan. Berkat karya itu, Wiratman meraih Outstanding Achievement Award dari ASEAN Federation of Engineering Organization pada 2011.
Namun, tugas Wiratman pada megaproyek itu belum usai. Tadinya, jembatan yang dapat mempercepat transportasi antarpulau utama itu direncanakan mulai dibangun 2014 dan selesai pada 2024. “Mungkin saat itu saya tidak dapat menyaksikannya,” ucapnya, beberapa tahun lalu.
Nyatanya, pembangunan proyek bernilai sekitar Rp 100 triliun itu tak berlanjut karena tak mendapat lampu hijau dari Presiden Joko Widodo.
Menurut putra kedua Wiratman, Prof Sofia W Alisjahbana, ayahnya meninggal karena komplikasi penyakit diabetes, jantung, dan ginjal yang telah lama dideritanya. Menurut Rektor Universitas Bakrie ini, Wiratman dirawat tiga minggu di Rumah Sakit Pondok Indah sebelum meninggal.
Kehilangan besar
Kepergian Mahaguru Konstruksi Indonesia ini merupakan kehilangan besar bagi bangsa ini mengingat begitu besar jasanya, baik dalam bidang keilmuan, organisasi, maupun pembangunan konstruksi sejumlah bangunan penting di Indonesia.
Dalam kariernya sebagai konsultan, Wiratman telah menyelesaikan lebih dari 4.500 karya konstruksi. Sebelum akhir hayatnya, pria kelahiran Jakarta, 25 Februari 1935 ini masih tercatat sebagai Guru Besar (Emeritus) Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara, terdaftar sebagai Insinyur Profesional Utama di Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan ASEAN Chartered Professional Engineer.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA–Wiratman Wangsadinata
Menamatkan pendidikan S-1 hingga S-3 Teknik Sipil di ITB, Wiratman pernah mengajar dan menjadi Guru Besar Teknik Sipil di almamaternya itu. Selama 56 tahun berkarya, lebih dari 200 makalah teknik/ilmiah ditulisnya untuk forum nasional dan internasional.
Penghargaan Karya Konstruksi dari Kementerian Pekerjaan Umum pernah ia raih untuk Bangunan Pantai Underwater Sill di Pelabuhan Tuban, Jawa Timur, perencanaan Perkerasan Kaku Jalan Raya dengan Cara Dinamik, dan Solusi Inovatif Pembangunan Waduk Keuliling, Aceh.
Ia juga terlibat sebagai ketua penyusunan Peraturan Beton Bertulang Indonesia, Tata Cara Penghitungan Struktur Beton untuk Gedung, Tata Cara Penghitungan Struktur Beton untuk Gedung, dan Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung. Ia menjadi perintis dimasukkannya perhitungan soal gempa sebagai faktor mutlak dalam perencanaan pembangunan gedung tinggi.
Wiratman juga mendapat hak paten untuk Perencanaan dan Pembuatan Terowongan Metode Antareja, yaitu rangkaian kotak terowongan beton pracetak yang dapat menembus tanah secara mandiri. Ia juga turut terlibat dalam pemugaran Candi Borobudur 1973-1983, yang membuatnya meraih penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Menikah dengan Rohani Tamim, Wiratman memiliki dua putri, Melani dan Sofia, serta empat cucu. Pada 2011, ia mendapat tanda kehormatan Satyalancana Wira Karya dari Presiden RI pada 2011.(YUNI IKAWATI)
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 April 2017, di halaman 14 dengan judul “Memugar Borobudur hingga Impian Tri Nusa”.