Mungkin tak banyak yang tahu siapa sosok dr Moewardi. Dokter yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional ini merupakan salah satu korban dari penjajahan Jepang. Ia diculik dan tak pernah kembali, sehingga kematiannya dianggap misterius.
dr Moewardi lahir di Pati pada tahun 1907. Melalui SK Presiden RI No 190 tahun 1964, ia dianugerahi gelar pahlawan dan namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Solo, Jawa Tengah. Selain itu, namanya juga digunakan sebagai nama jalan di beberapa kota seperti Jakarta, Cianjur, Solo, dan Denpasar.
Perjalanan pendidikan dr Moewardi dimulai pada 1926, beliau tercatat sebagai mahasiswa tingkat III School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA). dr Moewardi kemudian melanjutkan belajar di Nederlandsch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter pada tahun 1931.
Setelah 5 tahun berpraktik sebagai dokter, dr Moewardi kembali memperdalam ilmunya dengan mengambil spesialisasi Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) di Geneeskundig Hoogeschool (GH) Salemba dan menjadi asisten pada rumah sakit CBZ, yang kini berubah nama menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia resmi menjadi dokter spesialis pada tahun 1939.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Yang patut dibanggakan, dr Moewardi tak hanya aktif sebagai dokter, namun ia juga dikenal pandai pencak silat dan aktif dalam bidang kepanduan. Dr Moewardi merupakan pemimpin di kepanduan Jong Java Padvinderij.
Pada era persiapan Proklamasi Kemerdekaan RI, dr Moewardi turut mempersiapkan pelaksanaan acara pembacaan teks proklamasi yang dilakukan di rumah Bung Karno.
Setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan, dr Moewardi ditunjuk sebagai Ketua Umum Barisan Pelopor (kemudian berubah nama menjadi Barisan Banteng), menggantikan Bung Karno yang diangkat menjadi presiden. Pada awal tahun 1946, dr Moewardi memindahkan Barisan Banteng dari Jakarta ke Solo akibat semakin memanasnya situasi politik dan keamanan di Jakarta saat itu.
dr Moewardi kemudian terjun ke dunia politik dengan membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada Agustus 1948 untuk melawan aksi-aksi anti pemerintah yang dilancarkan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). dr Moewardi diculik pada 13 September 1948, saat menjalankan praktik sebagai dokter di RS Jebres, Solo. Hingga kini ia tak pernah terlihat kembali dan hilang secara misterius.
“Jejak perjuangan dr Moewardi tersebut telah menarik perhatian kami untuk menyelenggarakan acara ini. Dengan mengenang perjuangan beliau, kami berharap dapat menginspirasi generasi muda, khususnya kalangan kedokteran, untuk selalu membangun kecintaan pada bangsa dan negara,” tutur Ketua ILUNI FK UI, Dr Doddy P. Partomihardjo, SpM.
Hal tersebut ia sampaikan dalam acara Sarasehan dan Pameran Foto: Jejak Langkah Pahlawan Nasional dr Moewardi, SpTHT, yang diselenggarakan di Aula FK UI, Jl Salemba Raya, Jakarta, Jumat (12/9/2013).
————–
Salah satu Pahlawan Kemerdekaan Nasional, dr Moewardi, diculik dan tak pernah kembali. Diduga, dia meninggal dalam penculikan misterius itu. Padahal kala itu usianya masih cukup muda, 41 tahun. Selama memegang profesi dokter, dr Moewardi benar-benar memgang erat sumpah mengutamakan pasien.
“Sumpah dokter yang beliau lakukan mengorbankan nyawanya, ini adalah harta tertinggi yang memberi hikmah bagi kita semua. Beliau pantas dikenang,” papar Prof. Dr Muhamad Sadikin, DSc, dalam acara Sarasehan dan Pameran Foto: Jejak Langkah Pahlawan Nasional dr Moewardi, SpTHT, yang diselenggarakan di Aula FK UI, Jl Salemba Raya, Jakarta, Jumat (12/9/2013).
Setelah memulai pendidikan dokter di tahun 1926, dr Moewardi tercatat sebagai mahasiswa tingkat III School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA). dr Moewardi kemudian melanjutkan belajar di Nederlandsch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter pada tahun 1931.
Setelah 5 tahun berpraktik sebagai dokter, dr Moewardi kembali memperdalam ilmunya dengan mengambil spesialisasi Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) di Geneeskundig Hoogeschool (GH) Salemba dan menjadi asisten pada rumah sakit CBZ, yang kini berubah nama menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia resmi menjadi dokter spesialis pada tahun 1939.
Sebagai murid STOVIA yang mendapat gemblengan nasionalisme tinggi, dr Moewardi selalu mengutamakan kepentingan rakyat kecil agar bisa mencapai kesejahteraannya. Ini yang membuat dia selalu berusaha untuk memenuhi kewajiban dan tugasnya sebagai seorang dokter.
dr Moewardi yang kemudian terjun ke dunia politik membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) bersama Maruto Nitimiradjo dan Rustam Efensi. Konflik antara GRR dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) saat itu tak terkendali dan sudah mulai terjadi kontak senjata. Saat Komandan Divisi Panembahan Senopati, Kolonel Soetarto, gugur terbunuh dengan penuh misteri, sementara dr Moewardi menjadi sasaran penculikan.
“Pada tanggal 12 September 1948, anak buah Mayor Djojosoegito mendesak agar dr Moewardi menetap di Kartasura agar mendapat perlindungan dari Resimen Barisan Benteng disana, namun beliau menolak. Keesokan paginya, staf Barisan Benteng, Mohamad Jusuf, datang dan menganjurkan agar dr Moewardi tetap tinggal di rumah,” ungkap DR. Dr. Rusdy Hoesein, M.Hum, dalam acara yang sama.
Dilanjutkan oleh DR Rusdy, meskipun sudah diberi peringatan namun dr Moewardi berkata bahwa dia harus ke rumah sakit untuk melakukan operasi seorang pasien yang sebelumnya sudah membuat perjanjian. dr Moewardi juga berkata bahwa tidak ada orang Indonesia yang akan membunuhnya, hanya orang Belanda saja yang akan membunuhnya.
“Ketika akan melakukan operasi itulah, dr Moewardi dijemput sejumlah orang dengan menggunakan kendaraan jip. Sejak saat itu, beliau tak pernah kembali dan hilang secara misterius sampai hari ini. Usaha yang dilakukan teman-temannya tidak pernah membawa hasil,” ungkap DR Rusdy.
Sikap dan pengorbanan dr Moewardi yang selalu mengutamakan kepentingan pasien dan memenuhi sumpahnya sebagai dokter, membuatnya dianugerahi gelar pahlawan dan namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Solo, Jawa Tengah. Selain itu, namanya juga digunakan sebagai nama jalan di beberapa kota seperti Jakarta, Cianjur, Solo, dan Denpasar.
Diharapkan calon dokter maupun dokter masa kini bisa banyak belajar dari perjuangan dan pengorbanan dr Moewardi, serta selalu menerapkan sumpah dokter agar tugas mulia untuk mengobati dan menyelamatkan nyawa pasien juga dapat terlaksana dengan baik.
(vit/vit)
Ajeng Annastasia Kinanti – detikHealth
Sumber: detik.com, Kamis, 12/09/2013 14:05 WIB