Bentuk karapas atau cangkang hewan ini mirip kura-kura. Namun, ia juga memiliki kaki serupa sirip penyu. Karena itu, di Indonesia, satwa ini mendapat sebutan labi-labi. Dengan hidung panjang mirip moncong babi, jadilah hewan ini mendapat nama nasional: labi-labi moncong babi.
Bernama Latin Carettochelys insculpta, labi-labi moncong babi merupakan salah satu satwa asli Nusantara. Ia termasuk kelompok kura-kura air tawar, dengan habitat sungai, rawa-rawa, dan air payau. Daerah sebaran hewan itu di Papua, dari Merauke ke arah selatan. Namun, hewan itu juga ditemukan di alam liar Australia bagian utara.
Panjang cangkang pada labi-labi moncong babi dewasa berkisar 30-50 sentimeter (cm). Uniknya, karapas labi-labi lunak, tak seperti cangkang kura-kura yang keras. Keunikan lain, hewan itu berkaki empat, tapi berbentuk sirip, dan berekor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Labi-labi moncong babi tergolong pemakan segala atau omnivora. Makanannya antara lain tumbuhan air, ikan, dan moluska (contohnya, siput). Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di air. Labi-labi betina, misalnya, hanya merangkak ke darat saat akan bertelur.
Menurut peneliti herpetologi pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy, seperti kura-kura, labi-labi moncong babi berumur panjang, bisa hidup hingga usia 40-an atau 50-an tahun. Namun, usia kematangan seksualnya juga panjang. “Indukan labi-labi baru matang seksual pada usia 10-20 tahun,” ucapnya, Kamis (3/3).
Peneliti herpetologi LIPI, Evy Arida, menyebut labi-labi moncong babi sebagai kura-kura moncong babi. Sebab, dari perkembangan taksonomi, hewan itu keluar dari keluarga labi-labi. “Pada 1980-an dan 1990-an, hewan ini masuk labi-labi. Namun, saat ini orang-orang masih menyebutnya labi-labi,” ujarnya.
Carrettochelys insculpta–LIPI/AMIR HAMIDY
Labi-labi jantan dan betina bereproduksi dalam air. Setelah itu, menurut Amir, si betina bergerak ke daerah muara, lalu naik ke daratan di tepi sungai, bersiap menaruh telur-telurnya. Seperti penyu dalam proses bertelur di pantai, labi-labi moncong babi juga menggali pasir di tepi sungai, menjatuhkan telur- telurnya ke lubang galian, menutup lubang dengan pasir setelah bertelur, lalu meninggalkan begitu saja telur-telur yang terpendam.
Sekali bertelur, labi-labi betina mengeluarkan 10-20 butir. Labi-labi kembali ke darat dua- tiga kali pada musim bertelur dengan interval satu-dua minggu antar-kunjungan ke darat. Setelah menetas, anak labi-labi dari telur secara naluriah menuju sungai dan menghabiskan hidup di air seperti induknya.
Sejauh ini, populasi labi-labi moncong babi di alam belum diketahui. Tingkat bertahan hidup (survival rate) anak labi-labi juga belum jelas (pada penyu, hanya satu dari 100 tukik yang bertahan hidup hingga dewasa). Itu menunjukkan, hewan ini perlu dilindungi sebelum populasinya habis karena diburu.
Apalagi, dari survei yang pernah dilakukan Evy, hewan itu umum jadi santapan bagi warga di Papua. Namun, biasanya mereka menangkap untuk konsumsi pribadi dan keluarga. Lalu, mulai ada pendatang yang menangkapi labi-labi moncong babi sehingga memicu konflik karena menjadi isu perebutan hak masyarakat asli Papua.
Sebenarnya, labi-labi moncong babi termasuk satwa dilindungi dalam regulasi konservasi nasional. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, labi-labi tak boleh dimanfaatkan kecuali untuk riset dan penangkaran. Warga yang ingin memelihara hanya boleh mendapatkan dari penangkaran, bukan alam liar. Pengambilan secara ilegal berbuah hukuman pidana.
Namun, status hewan ini di ketentuan internasional lebih longgar. Labi-labi moncong babi dalam daftar Konvensi Perdagangan Internasional Terkait Spesies Terancam Punah dari Tanaman dan Hewan Liar (CITES) 12 Januari 2005 dimasukkan dalam Apendiks II. Itu berarti keberadaannya tak terancam di alam, tetapi perdagangannya harus dikendalikan.
Favorit penyelundup
Meski berstatus satwa dilindungi, eksistensi labi-labi moncong babi tak sepenuhnya terlindungi. Hewan itu jadi favorit para penyelundup untuk diperjualbelikan secara ilegal. “Sekali penyelundupan, jumlahnya mencapai 7.000 hingga 45.000 ekor,” ucap Amir.
Terakhir, penyelundupan labi-labi digagalkan aparat penegak hukum, Sabtu (20/2). Ada 3.737 kura-kura moncong babi atau labi-labi akan diselundupkan ke Hongkong bersama kura-kura leher panjang dan ikan clown loach atau ikan botia, melalui Bandara Soekarno-Hatta (Kompas, 23/2).
Dari semua labi-labi yang diekspor ke luar negeri, 80 persen dikirim ke Tiongkok, termasuk labi-labi selundupan. Hewan itu, antara lain, dijadikan menu santapan di negeri “Tirai Bambu”. Negara lain penerima ekspor labi-labi moncong babi, seperti Amerika Serikat, biasanya untuk hewan peliharaan.
Satu-satunya cara menjual labi-labi moncong babi secara legal ialah membangun penangkaran. Pengusaha penangkaran bisa mengambil indukan dari alam, asalkan untuk pengembangbiakan di penangkaran.
Namun, belum ada penangkaran labi-labi yang berhasil meski ada yang mengklaim sukses. Alasannya, pengusaha penangkaran hanya boleh menjual keturunan F2. Indukan dari alam dihitung sebagai F0. Artinya, “cucu” dari indukan di alam saja yang boleh dijual, sedangkan keturunan F1 atau anak indukan harus bereproduksi lagi dan tak boleh dijual.
Padahal, usia matang seksual labi-labi panjang, yakni 10-20 tahun. “Berarti, pengusaha butuh sekitar 20 tahun sebelum bisa menghasilkan keturunan yang sah dijual,” kata Amir.
Selain itu, labi-labi betina butuh tempat berkondisi seperti sungai dengan pinggir berupa tanah untuk tempat bersarang. Jadi, pengusaha perlu menyiapkan tempat mirip dengan habitat asli labi-labi.
Hal itu berarti, labi-labi yang dijual dan diekspor karena pengusaha mengantongi izin penangkaran kemungkinan ialah labi-labi dari alam, tetapi diklaim sebagai hasil penangkaran. Regulasi pun cenderung diabaikan, mengingat permintaan satwa itu terus mengalir.(J GALUH BIMANTARA)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul “Mengenal Labi-labi Moncong Babi”.