Jumlah guru yang cukup, dan berkualitas merupakan kunci untuk memajukan pendidikan. Pada awal tahun 1970-an, Malaysia mendatangkan guru-guru dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Yansen mengajar siswa kelas 1 di SD YPPK St. Agustinus di Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika, Papua, Senin (4/3/2019).
Sejak merdeka, Indonesia berkutat dengan masalah kekurangan guru, baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Kekurangan guru diatasi dengan program darurat, mulai dari memberdayakan lulusan SMA sebagai guru sukarelawan pada tahun 1970-an hingga merekrut guru honorer yang berlangsung hingga kini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun di tengah kondisi kekurangan guru pada awal 1970-an, Indonesia mengirimkan guru ke Malaysia. Guru-guru yang dikirim merupakan guru bidang sains, dan harus melalui seleksi. Minat guru mengajar ke Malaysia pun tinggi karena tawaran gajinya juga tinggi, yaitu sebesar 900 dollar Malaysia (Kompas, 30/3/1972) atau lebih tinggi dari gaji kepala sekolah di Malaysia yang sekitar 600 dollar Malaysia (ringgit Malaysia baru digunakan setelah Agustus 1975).
Pengiriman guru dari Indonesia ke Malaysia ini merupakan bentuk kerja sama bidang pendidikan dan kebudayan antara pemerintah Indonesia dan Malaysia. Saat itu Malaysia kekurangan guru bidang sains untuk memajukan pendidikan. Hingga pada 1977 jumlah guru dari Indonesia yang mengajar di Malaysia sebanyak 111 orang, dan masih terus ditambah.
Hal tersebut ironi dengan kondisi dalam negeri yang kekurangan guru. Pada pertengahan 1975 misalnya, Indonesia kekurangan guru biologi dan fisika yang memenuhi syarat. Waktu itu guru yang memenuhi kualifikasi itu hanya 13 orang, 5 di antaranya dikirim ke Malaysia untuk mengajar di sana (Kompas, 19/6/1975).
KOMPAS/YOVITA ARIKA –Arsip Kompas, 30 Maret 1972
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Soemantri Brodjonegoro pernah mengkhawatirkan jika pengiriman guru ke Malaysia tersebut terus berlangsung, bukan tidak mungkin di masa mendatang orang Indonesia yang harus belajar ke Malaysia. Karena itu, Soemantri akan meninjau ulang kerja sama tersebut.
“Kalau sekadar memberi bantuan, mereka (Malaysia) yang maju terus, kita (Indonesia) tidak hanya statis, tapi mundur terus,” kata dia (Kompas, 24/5/1973). Namun, menteri yang mulai menjabat pada 28 Maret 1973 ini meninggal pada 18 Desember 1973 karena sakit.
Dan memang, pendidikan di Indonesia kini tertinggal dibandingkan Malaysia. Salah satu tolok ukur, berdasarkan Program Asesmen Siswa Internasional (PISA) 2018 Indonesia berada di tangking 72 dari 77 negara yang disurvei, lebih rendah dibandingkan Malaysia yang berada di rangking 56. Jumlah mahasiswa Indonesia yang kuliah di Malaysia pun kini lebih banyak, hampir dua kali lipat, dibandingkan jumlah mahasiswa Malaysia yang kuliah di Indonesia.
Seperti halnya yang dilakukan Malaysia pada waktu itu, jumlah guru yang cukup, dan berkualitas menjadi kunci untuk memajukan pendidikan. Saat ini, selain kekurangan guru, sebanyak 1,07 juta guru merupakan guru honorer sekolah, Indonesia juga kekurangan guru unggul yang mampu menggerakkan pendidikan berkualitas (Kompas, 21/2/2020).
Oleh YOVITA ARIKA
Editor: ILHAM KHOIRI
Sumber: Kompas, 30 Maret 2020