Ngengat adalah binatang tuli. Namun dia mengembangkan perangkat yang bisa menghasilkan suara keras dan bising agar terhindar dari incaran kelelawar pemangsa.
Saat serangga dari genus Yponomeuta itu terbang, mereka akan melenturkan bagian atas sayap belakangnya. Gerakan bagian atas sayap belakang itu seperti menghantam udara secara terus menerus hingga menghasilkan suara bising untuk menakuti kelelawar. Getaran ultrasonik yang dihasilkan ngengat itu jadi peringatan untuk kelelawar agar tidak memakan ngengat-ngengat itu.
CC/HECTONICHUS–Ngengat dari spesies Yponomeuta
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Studi Liam J O’Reilly dari Sekolah Ilmu Hayati, Universitas Bristol, Bristol, Inggris dan rekan yang dipublikasikan di jurnal Scientific Reports, Selasa (5/2/2019) menyebut, pola gerak sayap belakang bagian atas itu merupakan buah dari proses evolusi ngengat sejak 65 juta tahun yang lalu.
Di masa itu, sejumlah serangga ‘berlomba’ mengembangkan senjata diri untuk menakut-nakuti musuh dan melindungi diri.
Jika ngengat mengembangkan sayap yang menghasilkan bunyi bising, maka kelelawar membangun ekolokasi atau biosonar untuk menandai suatu tempat dengan memanfaatkan gema dari suara yang dipancarkan. Ekolokasi itulah yang digunakan kelelawar untuk berburu ngengat pada malam hari.
Selama ini, ngengat yang berukuran lebih besar menggunakan suara kerasnya untuk mengusir kelelawar. Namun, studi O’Reilly dan rekan itu menjadi bukti bahwa ngengat kecil, seperti spesies Yponomeuta yang tidak mendengar sama sekali, juga menggunakan suara untuk menghalau kelelawar. Cara yang digunakan itu sama seperti yang dipakai ngengat besar.
Dengan suara bising itu, Yponomeuta mengkomunikasikan kepada kelelawar bahwa ngengat itu beracun atau setidaknya tidak enak. Mekanisme ini sama seperti yang dipakai katak pohon dan binatang yang aktif di siang hari yang mengubah warna kulitnya untuk mengelabui pemangsanya.
Namun para ahli menyakini suara itu dikeluarkan ngengat itu bukan untuk mengagetkan kelelawar agar terbang menjauh. Penyebabnya, kepak sayap yang menghasilkan suara bising itu dilakukan ngengat setiap saat, bukan saat menghadapi musuh semata.
Ngengat juga mengeluarkan suara bising itu bukan untuk mengacaukan atau menghentikan biosonar kelelawar hingga mereka tidak dapat menemukan mangsa di udara. Hal itu karena frekuensi dari kepakan sayap ngengat itu tidak cukup cepat sehingga tidak efektif.
Para peneliti, seperti dikutip Livescience, Rabu (6/2/2019), meyakini bahwa sinyal Yponomeuta itu dimaksudkan agar suara yang dihasilkan ngengat kecil itu mirip dengan yang dihasilkan ngengat besar. Peniruan itu dilakukan karena kelelawar tidak memangsa ngengat besar.
Suara keras yang dihasilkan ngengat kecil itu hanya akan didengar oleh kelelawar saat keduanya berada pada jarak cukup dekat. Dengan demikian, ngengat itu bisa terhindar dari serangan kelelawar.
Suara keras dan bising itu adalah strategi menghindari musuh yang elegan. Kelelawar yang mendengar suara keras Yponomeuta akan membayangkan ngengat yang berbeda sama sekali dengan aslinya hingga menghindari ngengat dan mencari mangsa yang lain.
Meski demikian, suara keras dan bising yang dihasilkan ngengat itu diyakini bukan hanya trik untuk menghindari dimangsa predator. Ngengat memakan banyak tumbuhan yang berpotensi mengandung racun.
Sejumlah burung yang dipaksa memakan Yponomeuta cenderung mengantuk sesudahnya. Karena itu, dicurigai ada sesuatu di dalam tubuh ngengat kecil yang bisa mengganggu kelelawar.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 8 Februari 2019